Minggu, 23 November 2014

Upaya Memberantas Mafia Migas

                             Upaya Memberantas Mafia Migas

Joko Riyanto  ;   Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
KORAN TEMPO,  20 November 2014

                                                                                                                       


Pemerintah berupaya memutus mata rantai mafia pada sektor minyak dan gas bumi yang menguasai perdagangan dan industri migas. Upaya tersebut dilakukan dengan membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri.

Negeri ini nyaris tidak memiliki kuasa atas kandungan minyak di buminya sendiri. Dalam buku Mafia Migas Vs Pertamina buah pena Ismantoro Dwi Yuwono (2004: 153), disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan asing menguasai migas dari hulu sampai hilir. Mereka antara lain Caltex, Chevron, Unocal, BP, Exxon, dan Shell. Perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki oleh negara-negara yang sejak dulu menguasai migas di Indonesia, seperti Belanda, Inggris, dan Amerika. Bahkan, untuk mengirim produk minyak mentah yang masih perlu diolah lagi, banyak perusahaan asing yang berkantor di Singapura juga mendapat jatah pekerjaan.

Dalam buku Selamatkan Indonesia! karya Amien Rais (2008), dipaparkan bahwa Kwik Kian Gie, seorang ekonom tangguh, tidak bisa memahami keanehan tata niaga minyak Indonesia. Menurut Kwik, angka-angka yang berhubungan dengan minyak dalam APBN cukup membingungkan. Pemasukan minyak setelah dikurangi pos “subsidi” dalam APBN, menurut Kwik, tidak pernah minus. Ketika harga BBM bersubsidi belum dinaikkan, angka tersebut juga tidak pernah minus. Namun dikatakan pemerintah nombok. Kwik mengajukan pertanyaan teknis: apakah semua angka yang berhubungan dengan minyak ada dalam pembukuan PT Pertamina? Ataukah Pertamina hanya boleh mengetahui sebagian saja, sedangkan sisanya tercecer di Departemen Keuangan, BP Migas, Petral Singapura, dan berbagai instansi lainnya?

Ketidakpercayaan kita dalam mengelola kekayaan migas secara mandiri akan menciptakan peluang bagi ekonomi rente dan korupsi besar-besaran. Keengganan kita membangun kilang-kilang minyak sendiri menyebabkan minyak mentah kita harus dijual ke Singapura untuk diolah di sana. Muncullah perusahaan-perusahan trader minyak mentah dan produk minyak bumi yang berebut tender. Tak jarang, supaya menang tender, perusahaan asing itu menyuap pejabat kita.

Selama ini, Kementerian ESDM seolah membiarkan tata kelola dalam bidang energi menjadi amburadul dan tidak jelas. Ketidakjelasan itu terlihat dari banyaknya perbedaan angka penerimaan negara pada sektor energi. Kementerian ESDM sengaja tidak memperjelas dan menyatukan data publik agar kebocoran anggaran dapat dinikmati pihak-pihak tertentu. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kajiannya menemukan potensi pendapatan yang hilang hingga Rp 24 triliun lebih pada sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba). Bahkan, ada potensi pendapatan yang hilang sebesar Rp 2 triliun lebih per tahun hanya dari setoran satu perusahaan tambang.

Praktek mafia migas terjadi sejak proses pembuatan UU sampai produksi dan ekspor-impor migas. Karena itu, Tim Reformasi Tata Kelola Migas perlu bekerja sama dengan KPK, kepolisian, kejaksaan, BPK, dan PPATK untuk membongkar tuntas semua praktek kotor dalam sektor migas nasional, baik yang terkait dengan izin konsesi, penghitungan cost recovery, permainan dalam penunjukan trader yang menjual migas jatah negara, serta permainan dalam rangka persetujuan atas pembayaran cost recovery, dengan pusat masalah di Kementerian ESDM dan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar