Selasa, 04 November 2014

Ristek dan Pendidikan Tinggi

Ristek dan Pendidikan Tinggi

Tulus Santoso  ;  Tenaga Ahli; Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Komisi X DPR
KOMPAS, 04 Desember 2014
                                                
                                                                                                                       


PERJUANGAN Forum Rektor Indonesia untuk memisahkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya terwujud. Kementerian ini sejatinya telah lama digadang-gadang Forum Rektor Indonesia (FRI). Alasannya, riset-riset yang dilakukan perguruan tinggi tidak bersinergi dengan lembaga riset lainnya. Selain itu, selama ini perguruan tinggi juga dianggap tidak fokus mengembangkan riset dan teknologi.

Justifikasi lain untuk memisahkan perguruan tinggi dari domain Kemendikbud adalah karena negara lain, seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan India, sudah mempraktikkannya. Di Indonesia, semasa pemerintahan Bung Karno pernah ada Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Namun, apakah argumentasi yang dibangun FRI ini mampu menjawab permasalahan di bidang pendidikan, riset, dan teknologi? Ada apa pula rektor ramai-ramai menelepon pemimpin DPR?

Pada hemat kami, argumentasi yang dibangun FRI untuk mengeluarkan pendidikan tinggi dari Kemendikbud sangat lemah. Terkait sinergi lembaga riset, sejatinya hal itu tanggung jawab Kementerian Riset dan Teknologi, yakni dengan mengoordinasikan lembaga pemerintah nirkementerian, seperti LIPI, Lapan, BPPT, Batan, Bapeten, BIG, dan BSN. Faktanya, Kemenristek gagal menjadi dirigen bagi lembaga-lembaga tersebut.

Minimnya kemauan politik

Kemudian, kemauan politik dari pemerintah untuk menggunakan hasil riset yang dihasilkan lembaga-lembaga penelitian juga masih minim. Sebagai contoh, apakah pemerintah pusat dan daerah mendukung e-voting yang telah dibuat BPPT? Apakah gagasan pengembangan energi panas bumi mendapat respons yang positif? Saat ini hasil riset lembaga  penelitian masih sebatas menjadi benda koleksi perpustakaan dan museum.

Selanjutnya, tudingan bahwa kampus tidak fokus dalam pengembangan riset dan teknologi  juga patut dicermati. Segenap civitas academica tentu tahu bahwa kampus tidak hanya mengembangkan riset, tetapi juga pendidikan dan pengabdian untuk masyarakat. Hasil risetnya pun tidak melulu terapan karena memang didasarkan dalam kerangka pengembangan ilmu.

Meskipun begitu, perdebatan ini telah selesai ketika Presiden Joko Widodo memutuskan tetap membentuk Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Hanya saja, pemerintah perlu merinci lagi factual problem yang dihadapi dunia riset dan pendidikan tinggi serta memperhatikan beberapa implikasi akibat pembentukan kementerian baru tersebut.

Permasalahan yang masih menjadi musuh besar pengembangan riset adalah rendahnya alokasi dana yang tersedia untuk riset: masih di bawah 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Inilah yang belum tampak dari latar kehadiran Kemenristek Dikti. Padahal, Amerika Serikat saja langsung menaikkan anggaran risetnya guna menandingi Uni Soviet yang mampu meluncurkan satelit pada era 1950-an. Negara-negara yang dijadikan kiblat untuk membentuk Kementerian Pendidikan Tinggi, seperti Tiongkok dan India, juga memiliki anggaran riset yang berkisar di atas 1,2-2 persen dari PDB.

Tantangan Jokowi

Kemudian yang menjadi tantangan pemerintahan Jokowi ke depan setelah hadirnya Kemenristek Dikti adalah mengenai nasib lembaga pemerintahan nirkementerian yang sebelumnya berada di bawah koordinasi Kemenristek. Apabila masih menggunakan pola lama, yaitu menempatkan lembaga-lembaga itu sebagai lembaga pemerintahan nirkementerian, kehadiran Kemenristek Dikti telah keluar dari spirit yang digaungkan FRI, yakni sinergi lembaga-lembaga riset.

Oleh karena itu, kami menganjurkan agar lembaga-lembaga itu dimasukkan ke dalam direktorat di Kemenristek Dikti sehingga rentang kendali, baik koordinasi maupun pengawasan, lebih jelas. Dengan begitu, harapan agar lembaga riset yang ada terarah dan terkoordinasi bisa menjadi kenyataan.

Pemerintah juga perlu mempertanggungjawabkan keluarnya pendidikan tinggi dari Kemendikbud, yaitu dengan melakukan revisi atas UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi karena dalam UU tentang pendidikan Tinggi disebutkan bahwa menteri yang dimaksudkan untuk mengelola pendidikan tinggi adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

Kemenristek Dikti memiliki dua urusan: riset dan pendidikan. Urusan pendidikan masih berada di tangan Mendikbud. Kemudian, hadirnya Kemenristek Dikti juga harus memperjelas posisi pendidikan tinggi keagamaan. Apakah akan tetap memberikan kewenangan mengatur pendidikan tinggi keagamaan oleh Kementerian Agama atau berada di bawah Kemenristek Dikti?

Keputusan ada di tangan pemerintah. Apakah telah matang mengonsepkan pendidikan tinggi yang kini bersanding dengan riset dan teknologi. Atau, hanya sekadar mencari sensasi dengan nomenklatur baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar