Minggu, 02 November 2014

Kisruh DPR dan Harapan yang Hilang

Kisruh DPR dan Harapan yang Hilang

Mohammad Nasih  ;  Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru di Rumah Perkaderan Monash Institute
KORAN SINDO, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki tiga fungsi dasar, yaitu: legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Tiga fungsi tersebut sangat penting untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang berorientasi kepada pembangunan negara yang baik. Jika fungsifungsi tersebut dijalankan secara optimal, maka cita-cita kenegaraan juga akan bisa dicapai secara akseleratif. Dan untuk itu, diperlukan suasana politik yang “kondusif”.

Konflik politik harus dikelola secara dewasa, sehingga konflik politik yang bisa dikatakan menjadi sebuah keniscayaan dalam negara demokrasi bisa membuat lembaga negara tetap produktif menghasilkan kebijakan dan program yang positif untuk menyejahterakan rakyat. Jika suasana politik tidak kondusif, maka yang akan terjadi justru sebaliknya. Capaian-capaian yang sudah ada, bisa mengalami degradasi. Negara akan mengalami kerugian, dan ujung-ujungnya rakyatlah yang akan menjadi korban.

Karena itu, kekisruhan yang terjadi di DPR dengan adanya pimpinan DPR “tandingan” oleh kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH) merupakan sebuah insiden politik yang sangat disayangkan. Sebagian rakyat yang sebelumnya cemas karena dihantui oleh wacana bahwa akan terjadi pergantian kekuasaan dalam suasana tidak normal bahkan kekisruhan, telah lega karena menyaksikan kenyataan bahwa proses politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ternyata terjadi dengan sangat mulus, dalam suasana kekeluargaan.

Bahkan disebut sebagai prosesi politik yang paling baik sepanjang sejarah Republik ini. Pihak- pihak yang sebelumnya terlibat dalam kompetisi sangat sengit dan dianggap berseteru ternyata hadir dalam acara serah terima jabatan tertinggi negeri ini dalam satu majelis. Bahkan, Prabowo yang sering disebut tidak legawa dengan kekalahannya dalam Pilpres, tidak seperti dugaan banyak orang, hadir dalam Sidang Paripurna MPR pada 20 Oktober 2014 dan menunjukkan sikap kesatrianya.

Setidaknya, itulah yang terlihat di permukaan. Sebaliknya, yang kemudian membuat suasana kembali kisruh adalah kelompok KIH. KIH yang sebelumnya dengan sangat intens membangun wacana bahwa Koalisi Merah Putih (KMP) tidak siap menerima kekalahan, justru bagai menepuk air di dulang, tepercik di muka sendiri. Justru merekalah yang kemudian menghambat proses-proses politik di DPR dengan tidak mengirimkan nama-nama untuk mengisi keanggotaan di alatalat kelengkapan DPR, sehingga menyebabkan kinerja DPR tidak berjalan optimal, bahkan bisa dikatakan mandek.

Sikap KIH ini dipicu oleh KMP yang mengambil secara total posisi-posisi kepemimpinan di DPR maupun MPR. Dan dengan mekanisme yang ada, berdasarkan kalkulasi hal yang sama akan terjadi pada perebutan pimpinan di alat kelengkapan DPR. Nampaknya, KIH mengidap kekhawatiran bahwa jika KMP berkuasa secara dominan, apalagi total, maka hal itu akan mengganggu kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Kekhawatiran ini, dalam konteks suasana politik yang sangat terbuka sekarang ini, bisa dikatakan berlebihan. Justru dengan eksistensi KMP yang kuat, ada harapan bahwa pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Jokowi-JK akan berjalan dengan kontrol yang ketat dari DPR.

Kekuatan KMP yang relatifsolid untuk menjadi kekuatan penyeimbang, sesungguhnya layak dianggap sebagai berkah politik tersendiri. Karena, baru terjadi pada periode politik ini terdapat partai politik dalam jumlah besar tetap bertahan di luar kekuasaan eksekutif yang biasanya dianggap sangat menggiurkan. Sejarah politik sebelumnya mencatat bahwa partai-partai politik yang kalah dalam pilpres, terutama Partai Golkar, ikut bergabung dalam kekuasaan eksekutif.

Bahkan, KMP telah diprediksi oleh banyak pihak hanya akan permanen jika menang pilpres. Jika kalah, maka akan bubar jalan. Namun ternyata, pasca-Pilpres 2014, Partai Golkar sebagai kekuatan politik terbesar kedua di DPR menyatakan dengan tegas, walaupun tentu saja dengan bahasa retorik, akan membantu pemerintah dari DPR. Hanya PPP, yang karena ketua umumnya mengalami masalah hukum, maka konflik internalnya tidak bisa terkelola dengan baik dan berimplikasi kepada sikap politik yang dalam momentummomentum tertentu mendua.

Dengan KMP menjadi kekuatan politik dominan di DPR, praktik-praktik korupsi yang selama ini terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan bisa ditekan. Sebagai kekuatan penyeimbangdiDPR, makafraksi- fraksi yang tergabung dalam KMP akan bertindak secara ekstra hati-hati dengan menjauhi praktik-praktik penyelewengan kekuasaan, terutama korupsi. Sebab, jika mereka melakukan penyelewengan kekuasaan, maka mereka akan kehilangan “taji” untuk melakukan kontrol atas pemerintah.

Dalam konteks ini, peluang korupsi berjamaah antara pihak pemerintah dengan DPR akan bisa ditekan. Sebab, DPR secara umum tidak akan bisa korupsi jika hanya sendirian. Secara umum, korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum di DPR hanya bisa terjadi apabila ada kesepakatan dengan oknumoknum yang ada di rumpun kekuasaan eksekutif. Jika pun terdapat peluang korupsi yang ada di DPR, maka dengan adanya dua kubu di DPR, keduanya akan “saling intai”. Dengan demikian, peluang korupsi di DPR akan menjadi semakin kecil.

Dua periode politik sebelumnya yang di dalamnya penguasa eksekutif mendapatkan dukungan sangat dominan dari kekuatan politik di DPR seharusnya menjadi pelajaran berharga. Dengan dukungan dominan itu, justru yang terjadi adalah penyelewengan kekuasaan yang terbilang besar.

Tidak sedikit anggota DPR dan juga pejabat eksekutif yang berurusan dengan aparat penegak hukum karena mereka berkomplot untuk korupsi. Dalam konteks ini, harmoni yang terjadi antara rumpun kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak menghasilkan sesuatu yang positif. Justru sebaliknya, harmoni di antara dua rumpun kekuasaan ini lebih banyak melahirkan penyelewengan kekuasaan. Karenaitu, mestinya dominasi KMP di DPR tidak perlu dikhawatirkan.

Bahkan, walaupun seandainya KMP membangun kebijakan-kebijakan politik yang tidak objektif kepada pemerintah, semisal dengan menghambat program-program pemerintah. Situasi yang sangat terbuka sekarang ini, dengan keberadaan media yang sangat kuat, juga dengan media sosial yang memungkinkan cukup banyak masyarakat bisa mengakses informasi secara cepat dari sumbersumber yang akurat, maka tindakan politik yang menghambat program-program politik pemerintah justru akan merugikan pihak yang melakukannya.

Akibat lainnya, Pemerintahan Jokowi-JK dalam situasi tersebut tidak memiliki pilihan lain selain menjalankan kekuasaan dengan benar untuk rakyat. Jika pemerintah Jokowi-JK benarbenar secara konsisten membuat dan berusaha menjalankan program-program yang menguntungkan rakyat, tetapi dihalang- halangi oleh KMP melalui lembaga DPR, maka partai-partai yang tergabung dalam KMP akan mendapatkan resistensi dari masyarakat. Asumsi sederhananya, dalam pemilu selanjutnya partai-partai tersebut tidak akan didukung oleh rakyat.

Jokowi dan JK juga tidak perlu dikhawatirkan akan digulingkan di tengah jalan. Sebab, untuk bisa memakzulkan presiden di tengah jalan bukanlah perkara mudah, bahkan dengan konstitusi yang ada sekarang bisa dikatakan hampir mustahil. Hanya jika presiden dan/ atau wakil presiden melakukan tindakan-tindakan tertentu yang membuatnya tidak layak lagi menjadi presiden sajalah, salah satu atau keduanya bisa dimakzulkan.

Mestinya kubu KIH di DPR membangun politik yang kondusif untuk keberhasilan pemerintahan yang mereka dukung. Sebab, tanpa dukungan DPR secara institusional, pemerintahan tidak akan bisa berjalan. Dominasi KMP di DPR saat ini mesti dianggap sebagai sebuah dinamika politik yang biasa saja. Posisi yang sama juga bisa dialami oleh partai-partai yang tergabung dalam KIH dalam periode politik yang lain. Apalagi secara faktual, tidak ada aturan main yang dilanggar. Dengan sikap dewasa, pemerintahan akan bisa berjalan.

DPR juga akan menjadi lembaga yang mampu memberikan harapan baru bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kekuasaan eksekutif yang memiliki peluang korupsi secara mandiri. Jika di dalam DPR terdapat sikap yang tidak dewasa, maka masyarakat akan semakin membangun generalisasi untuk bersikap antipati kepada DPR.

Dan jika DPR sibuk dengan dirinya sendiri, maka fungsi-fungsinya, terutama untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintahan, akan tidak bisa dijalankan. Di sinilah peluang korupsi akan menjadi semakin besar. Wallaahu aWallaahu alam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar