Sabtu, 01 November 2014

Entry Point Pengentasan Kemiskinan

Entry Point Pengentasan Kemiskinan

Ali Khomsan  ;  Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB
KORAN SINDO, 30 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Kriteria miskin yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) (pendapatan sekitar Rp300.000 per kapita per bulan) didasarkan pada besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan minimum pangan dan nonpangan.

Kriteria BPS inilah yang dipakai untuk dijadikan tolok ukur penetapan jumlah penduduk miskin. Baru-baru ini dirilis data orang miskin di Indonesia yang jumlahnya sekitar 28 juta atau 11,25 persen penduduk. Ironisnya, target raskin (beras untuk orang miskin) adalah 80 juta penduduk miskin. Jadi, yang benar jumlah orang miskin 28 juta atau 80 juta? Apabila digunakan standar Bank Dunia yang menetapkan batas miskin adalah penghasilan setara USD2 per kapita per hari, maka jumlah orang miskin di negeri kita niscaya melebihi 100 juta orang. Inilah PR untuk pemerintahan baru Jokowi-JK.

Secara filosofis, seseorang dikatakan miskin bila “keadaannya” menyebabkan dia tidak mampu berdiri sederajat dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, kemiskinan mempunyai rentang dimensi dan kerelatifan yang lebar. Namun demikian, sebenarnya bukan kemiskinan relatif yang perlu dipersoalkan, melainkan kemiskinan absolut yang dapat membuat seseorang tidak mempunyai kemampuan untuk mengakses segala kebutuhan pokok hidupnya.

Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia yang rendah sehingga peluang produksi menjadi kecil. Kalau toh terjadi kegiatan produksi, hal itu dilakukan dengan efisiensi yang rendah sehingga hasilnya tidak optimal. Dalam lingkup pertanian, sumber daya yang memengaruhi munculnya kemiskinan adalah rendahnya pemilikan lahan, kualitas lahan, dan iklim.

Sensus Pertanian terakhir baru-baru ini mengungkapkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian turun 5,04 juta dari 31,17 juta (2003) menjadi 26,13 juta (2013). Jadi dalam satu dekade, terjadi kemerosotan jumlah petani cukup signifikan yang dapat berdampak pada aspek ketersediaan pangan di negeri ini.

Dunia pertanian yang semakin tidak diminati, tidak terlepas dari politik kurang berpihaknya negara untuk menyejahterakan para petaninya. Petani kita dibiarkan bertarung dengan produk-produk impor yang padat subsidi. Petani gurem kita berhadapan langsung dengan petani konglomerat dari negara lain yang memiliki lahan ratusan hektar.

Sektor pertanian dianggap kurang menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan. Populasi petani kita lebih banyak didominasi oleh petani gurem dengan pemilikan lahan sangat sempit. Sekitar 14,5 juta rumah tangga petani memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Persentase penduduk miskin terbesar hampir di seluruh kabupaten/ provinsi adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian. Pertanian menjadi tidak menarik bagi generasi muda karena bertani berarti mengungkung diri dalam kemiskinan.

Hanya, orang-orang tua dan lanjut usia yang masih mau menggeluti bidang yang nyaris tidak menguntungkan ini. Sementara orang-orang muda lebih suka menjadi buruh industri dengan gaji setara UMR. Inilah dilema negara kita. Upaya untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia harus dibarengi terlebih dahulu dengan memahami kemiskinan secara holistis (menyeluruh). Kita harus mengetahui tentang sulitnya orang miskin mengakses pangan berkualitas, kita perlu memahami rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin, dan demikian pula kita perlu paham kendala akses pendidikan serta kendala daya beli.

Pemahaman mengenai karakteristik orang miskin dapat merupakan entry point (pintu masuk) untuk memecahkan masalah kemiskinan. Kemiskinan adalah fenomena yang kompleks. Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata: Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku telah membunuhnya. Riwayat ini saja sudah bisa menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan hal yang sulit untuk digambarkan sehingga juga sulit untuk diatasi. Dalam penanggulangan kemiskinan diperlukan penanaman nilai-nilai moral yang dapat meningkatkan rasa tanggung jawab sosial. Bila tanggung jawab ini dipikul bersama oleh masyarakat, semua pihak mempunyai kewajiban yang sama untuk mengatasi kemiskinan.

Untuk mengatasi kemiskinan diperlukan intervensi-intervensi dengan memanfaatkan segala jalur entry point. Faktor sebab- akibat kemiskinan itu sendiri sudah merupakan lingkaran setan, sehingga diperlukan berbagai pintu masuk untuk memutuskan rantai kemiskinan. Sebagai gambaran, salah satu masalah gizi yang sampai saat ini masih diupayakan penanggulangannya adalah kekurangan energi protein (KEP).

KEP adalah fenomena kemiskinan yaitu terbatasnya akses makanan secara cukup baik kualitas maupun kuantitas, korbannya terutama adalah anak-anak balita. Jadi, upaya perbaikan gizi yang dilakukan melalui pemberian makanan tambahan untuk anak balita adalah wujud pengentasan kemiskinan melalui entry point gizi masyarakat. Perbaikan layanan posyandu juga dapat menjadi pintu masuk mengatasi dampak buruk kemiskinan.

Program revitalisasi posyandu yang kini sedang dilaksanakan oleh Tim Penggerak PKK Pusat bekerja sama dengan PT Nestle Indonesia di 19 provinsi adalah upaya meningkatkan layanan posyandu. Posyandu versi revitalisasi yang dikenal sebagai posyandu tumbuh-aktif tanggap (TAT) kegiatannya tidak bertumpu pada penimbangan anak balita semata, tetapi juga pengukuran tinggi badan, lingkar kepala, dan pemantauan perkembangan (aktif dan tanggap) anak balita.

Pendidikan diyakini sebagai faktor penentu kualitas sumber daya manusia. Penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dimungkinkan karena peran serta sektor pendidikan. Tanpa pendidikan hanya akan dihasilkan manusia- manusia yang akan menjadi beban pembangunan bukan modal dasar pembangunan. Di era globalisasi, manusia tanpa pendidikan akan semakin sulit memperoleh akses pekerjaan. Saat ini pun sudah banyak dijumpai sarjana-sarjana yang kesulitan mencari pekerjaan. Masa tunggu seorang sarjana sampai memperoleh pekerjaan semakin lama.

Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan adalah komoditi yang akan diperebutkan dengan semakin kompetitif. Tanpa pekerjaan maka seseorang akan mudah jatuh ke dalam jurang kemiskinan, sehingga dia tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya yang paling pokok yaitu makanan. Ketahanan pangan individu maupun rumah tangga menjadi terancam dan akhirnya termanifestasikan dalam bentuk gizi kurang maupun gizi buruk.

Orang-orang miskin juga akan mempunyai akses terbatas untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang maksimal, muncullah berbagai penyakit yang menyebabkan tingginya angka morbiditas yang pada batas-batas tertentu dapat menjadi penyebab mortalitas (kematian). Dampak kemiskinan yang sedemikian luas tentunya menuntut upaya-upaya penanggulangan yang sifatnya multiapproach.

Sinergi berbagai kementerian untuk pengentasan kemiskinan memerlukan koordinasi yang baik. Diharapkan pemerintahan baru bisa merumuskan kebijakan-kebijakan propoor yang lebih nyata dan dapat dirasakan masyarakat, sehingga laju pengurangan penduduk miskin dapat dipercepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar