Jumat, 21 November 2014

Catatan Terbuka untuk Mendikbud

                          Catatan Terbuka untuk Mendikbud

St Kartono  ;   Guru SMA De Britto Yogyakarta
KOMPAS,  20 November 2014

                                                                                                                       
                                                                                                                       

BAPAK Anies Baswedan yang saya hormati.

Ketika Presiden Joko Widodo menyebut nama Anda sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah (26/10), sebagai guru saya gembira dan antusias. Berharap pendidikan di negeri ini lebih baik sekaligus tidak menyesakkan dada mereka yang terlibat. Sembari menonton televisi, saya mengingat kalimat pertama Anda, ”Saya prinsipnya begini, syukuri, perbaiki, dan siap turun tangan untuk memajukan pendidikan.”

Semangat itu semakna dengan tulisan Anda dalam prolog buku Indonesia Mengajar (2013). ”Menjadi guru itu mulia. Menjadi guru di pelosok itu wajar. Datangi desa-desa terpencil dengan kerendah-hatian dan kasih sayang. Sambut kehadiran anak-anak SD itu dengan rasa cinta, berikan yang terbaik untuk mereka. Izinkan anak-anak SD di desa-desa terpencil itu belajar untuk maju. Tumbuhkan pengetahuan, dan tanamkan ketangguhan berjuang di dada mereka.”

Itulah upaya memajukan dan memperbaiki yang Anda lakukan, ketika instansi yang mestinya bertanggung jawab justru disibukkan oleh urusan ujian nasional dan gonta-ganti kurikulum. Ketika Anda bergelut dengan gerakan Indonesia Mengajar dan kini menjadi menteri yang mengurusi bidang pendidikan dasar dan menengah, saya meyakini Anda akan menjadi menteri andal.

Anda tentu telah mendengar dan mendapatkan laporan orisinal dari para guru muda yang kembali dari sudut-sudut Indonesia.

Izinkan saya mengingatkan bahwa Indonesia ini bukan hanya Jawa, dan Jawa bukan hanya Jakarta. Artinya, cek dan terus periksa apakah kebijakan pendidikan yang dirumuskan di Jakarta benar-benar telah sampai di seluruh wilayah Indonesia.

Tiga tahun lampau saya berada di tengah sesama pendidik selama sepekan di pedalaman Kalimantan Tengah. Ketika blusukan ke sekolah dasar, penulis menjumpai foto wakil presiden di ruang-ruang kelas dan ruang guru masih Jusuf Kalla. Bukankah seharusnya foto Boediono? Betapa jauh jarak Jakarta ke pedalaman Kalimantan, sampai membutuhkan waktu tiga tahun lebih untuk mengantarkan foto Wapres Boediono.

Untunglah masih ada tiga gambar Garuda Pancasila di satu dinding kelas, artinya sekolah dasar itu masih dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada juga foto presiden dari zaman ke zaman, Soekarno, Soeharto, dan SBY. Mengapa foto Gus Dur, Habibie dan Megawati tidak ada? Jawabnya, mereka bertiga menjabat dalam waktu relatif singkat sehingga sebelum fotonya sampai sudah berakhir tugasnya.

Lebih jauh, para guru di sana masih menggunakan dokumen kurikulum bertahun-tahun lampau. Ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan belum sampai di semua wilayah negeri ini, Kurikulum 2013 telah digulirkan.

Di sekolah-sekolah yang penulis jumpai di pedalaman seolah pemerintah absen sehingga berbicara tentang kebijakan pendidikan mutakhir ibarat menyeret para pendidik di sana melompat masuk dunia asing.

Pak Anies yang menteri.

Ada tiga hal penting dalam pendidikan, yakni guru, murid, dan pemerataan kesempatan. Dengan semangat memperbaiki, hal pertama yang patut mendapat perhatian adalah guru.

Hingga kini, guru di negeri ini tetap mengalami tiga ketidakmapanan, yakni finansial, status sosial, dan intelektual. Tunjangan profesi guru telah digulirkan lebih dari tujuh tahun lampau, tetapi hingga kini masih saja ada masalah yang bisa dilihat dari keluhan di media ihwal tunjangan sertifikasi guru.

Di samping terus berharap agar semakin banyak guru mendapat tunjangan profesi dengan persyaratan yang adil, guru yang sudah mendapatkan pun berharap tunjangan profesi ajek dan teratur penyampaiannya.

Dengan demikian, saya, misalnya, bisa mengembangkan diri sampai studi S-3. Seperti gaya Presiden Jokowi, kiranya Anda berkenan terus cek ulang dan mengawasi penyaluran tunjangan profesi guru. Tunjangan profesi membantu menciptakan kemapanan finansial, sekaligus menuntut para guru membangun intelektualitasnya.

Pak Menteri yang optimistik.

Saya yakin, ketika Anda menggulirkan gerakan Indonesia Mengajar, Anda menempatkan betapa anak-anak kita atau murid menjadi hal yang paling penting dalam pelayanan pendidikan.

Untuk itu, kiranya kebijakan perubahan kurikulum mesti memperhitungkan anak-anak Indonesia. Memperhitungkan murid pasti memperhitungkan guru juga. Guru bukanlah buruh pabrik yang dihitung dengan jam kerja layaknya target produksi.

Penting Anda mendorong penyediaan sarana fisik dan sarana pendukung teknologi terlebih dahulu. Jika mengingat bahwa pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas sama, pemerintah mestinya bukanlah mendirikan sekolah unggul, tetapi membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas yang sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa perbedaan.

Penyediaan sarana fisik, gedung, misalnya, mestinya dipahami sebagai pelayanan pendidikan yang konkret dinikmati murid secara langsung. Kesadaran ini pula yang mesti ditumbuhkan kepada penyelenggara pendidikan swasta.
Menarik dana yang relatif besar dari masyarakat mestinya konkret dibelanjakan untuk sarana yang langsung dinikmati murid, seperti kelas yang representatif, buku-buku koleksi perpustakaan, dan pelayanan untuk pengembangan murid.

Akhirulkalam Pak Menteri,

Ungkapan hati ini bisa tersurat karena saya merasakan mendapatkan menteri yang berhati pendidik. Anda pun perlu mendidik para pendidik terus-menerus, bukan menyakiti hati atau merendahkan martabat para pendidik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar