Rekrutmen
Hakim Agung Amburadul
Benjamin
Mangkoedilaga ; Mantan
Hakim Agung
|
KOMPAS,
20 Februari 2014
Penolakan DPR terhadap pencalonan hakim agung, beberapa
waktu lalu, sangat memprihatinkan.
Memprihatinkan karena
para hakim tinggi dari ketua pengadilan tinggi yang dicalonkan itu tentu
sudah menempuh perjalanan dan jam terbang sebagai hakim lebih dari 25 tahun.
Tugas penempatan pun di beberapa daerah yang kadang-kadang tempatnya tidak
tertera dalam peta. Pelaksanaan tugas melalui putusan-putusan yang diambil
(istilah mahkota menurut Bismar Siregar terhadap putusan yang dikeluarkan
oleh seorang hakim) tentunya terkadang lengkap melalui fase-fase eksepsi,
intervensi, dismissal proses, konvensi, rekonvensi, dan pemeriksaan
persiapan.
Semua itu belum tentu dapat dihasilkan oleh siapa pun dan lembaga
mana pun yang melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung.
Selain itu, para calon
hakim agung itu juga telah banyak mengalami kegalauan menghadapi kewajiban
mempertimbangkan berat-ringannya hukuman, menolak atau mengabulkan
gugatan-gugatan menghadapi godaan suap, dan sebagainya. Dan, sekali lagi,
semua itu tentunya tidak pernah dialami oleh siapa pun dan dari lembaga mana
pun yang melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan terhadap para calon hakim
agung tersebut.
Amat memprihatinkan
lagi membaca dan mendengar penilaian para anggota DPR terhadap para calon
hakim agung. Ada yang menyatakan para calon hakim agung tersebut tak bermutu,
tak punya integritas, kualitas tidak memadai, di bawah standar, lemah dalam
kemampuan berargumentasi, dan sebagainya.
Sudah kebablasan
Semua penilaian itu
seolah menggambarkan kualitas para hakim Indonesia. Di sisi lain, kita pun
dapat memberikan penilaian yang sama terkait dengan kualitas para sahabat
kami itu (baca: para anggota DPR) meski banyak di antara mereka ada juga yang
bagus dan prima.
Kami sangat menghargai
bahwa dalam rangka uji kelayakan dan kepatutan para calon hakim agung
tersebut diikutsertakan para ahli, guru besar, dan tokoh masyarakat. Namun,
sayang, dalam rangka kegiatan tersebut para mantan hakim yang tergabung dalam
organisasi PERPAHI, KKPHA (para hakim agung), dan KKMHTUN (para hakim tata
usaha negara) tidak dilibatkan. Kami tentu banyak mengenal dan tahu kinerja,
kualitas, dan integritas para calon hakim agung tersebut.
Kami mengetahui dan
menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan
pencalonan seorang calon hakim agung. Kami juga berpendapat, pencalonan
seorang hakim agung mutlak kewenangan Mahkamah Agung secara profesional
seperti yang telah berjalan berpuluh-puluh tahun sejak republik ini berdiri.
MA justru yang paling mengetahui kinerja dan kualitas para calon hakim agung
melalui putusan-putusan dan integritasnya.
Kiranya
lembaga-lembaga yang sekarang diberikan kewenangan untuk melaksanakan uji
kelayakan dan kepatutan para calon hakim agung tersebut tujuannya memang
bagus, tetapi dalam pelaksanaannya sudah kebablasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar