Pelajaran
Pahit bagi Semua
Eko
Budihardjo ; Guru
Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro dan Universitas
Trisakti; Ketua Komisi Budaya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
|
KOMPAS,
20 Februari 2014
Banyak ruang, banyak AC
Banyak uang, banyak ACC
Akibatnya rakyat kebanjiran air dan longsoran
Pejabat kebanjiran uang dan sogokan
Puisi Mbeling Remy Silado
Menyimak musibah banjir bandang yang menimpa kota-kota
megapolitan seperti Jakarta, metropolitan seperti Semarang, kota besar
seperti Manado, hingga kota sedang dan kecil di berbagai pelosok Nusantara,
segenap pihak mesti mawas diri.
Tidak hanya para
pejabatnya yang mesti merasa malu, tetapi juga para pengembang, wakil rakyat,
ilmuwan dan peneliti dari kampus, serta para arsitek dan planolog yang
berkontribusi dalam pembangunan wilayah dan kota yang tidak ramah lingkungan.
Perencanaan kota selama ini cenderung mengabaikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan serta menafikan kajian jejak ekologis (ecological
footprint).
Jakarta sebagai ibu
kota negara kita merupakan contoh paling jelek. Dari sumber resmi kita
memperoleh data ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta saat ini tersisa 9,8
persen. Padahal, dalam UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 secara eksplisit
sudah diamanatkan setiap kota harus menyisihkan 20 persen RTH publik dan 10
persen RTH privat. Total jenderal 30 persen. Jadi, kita bisa mengatakan bahwa
Jakarta sudah melanggar UU.
Jabodetabekjur yang mandul
Predikat Jakarta
sebagai kota seribu mal yang kapitalistik sungguh sangat memalukan dan
memilukan mengingat masih banyak warga kotanya berada di bawah garis
kemiskinan. Rakyat kecil pun lantas mengartikan RTH bukan ruang terbuka
hijau, melainkan rumah, toko, dan hotel. Dalam kategori rumah itu termasuk
apartemen mewah pencakar langit yang beberapa di antaranya nekat menggusur
taman kota, bahkan kuburan. Padahal, kuburan termasuk salah satu jenis ruang
terbuka hijau yang mestinya dilestarikan.
Perencanaan tata ruang
subregional antardaerah yang dikenal dengan akronim Jabotabek (Jakarta,
Bogor, Tangerang, Bekasi), yang berkembang menjadi Jabodetabek (ditambah
Depok) dan kemudian menjadi Jabodetabekjur (ditambah lagi Cianjur),
sesungguhnya merupakan titik awal keterpaduan pembangunan yang baik. Namun,
sebagaimana halnya dengan ideologi Pancasila, kelemahannya terletak pada
implementasi atau pelaksanaannya.
Kawasan Puncak di
Bogor, misalnya, jelas-jelas telah ditetapkan sebagai kawasan
konservasi, daerah resapan air, antara lain guna menahan air hujan supaya tak
langsung menggelontor membanjiri Jakarta. Namun, kenyataan di lapangan
menunjukkan perbukitan di Puncak ”ditanami” vila, restoran, kafe, pertokoan,
hotel, dan minimarket. Penjarahan RTH berlangsung tanpa kendali aparat
pengawasan pembangunan (development control). Ada dugaan aparat justru ikut
bermain seperti disiratkan secara menohok oleh Remy dalam
puisi mbeling-nya.
Begitu 2013 dan 2014
berturut-turut terjadi musibah banjir bandang yang dahsyat di Ibu Kota
barulah dengan tergopoh-gopoh para pejabat melakukan upaya pembongkaran
vila-vila yang tak berizin di kawasan Puncak, Bogor. Ironisnya, yang
membangun dan memiliki vila-vila ilegal itu orang-orang kaya dari Jakarta.
Untuk mengoreksi
kesalahan yang sudah terjadi bertahun-tahun semacam itu, seyogianya lembaga
kerja sama antardaerah seperti Jabodetabekjur, Gerbang Kertasusila
(Gresik-Bangkalan-Kertosono-Surabaya-Sidoardjo-Lamongan), Kedungsepur
(Kendal-Demak-Ungaran-Semarang-Purwodadi), dan Barlingmascakeb (Purbalingga,
Banyumas, Cilacap, Kebumen) diberi posisi, kewenangan, dan otoritas yang
cukup kuat untuk mengelola kawasan subregional masing-masing. Banjir bandang
yang menimpa Ibu Kota kita tercinta akan kian dahsyat apabila pengelolaannya
tetap seperti yang sudah-sudah (business
as usual), sedangkan seharusnya berubah secara progresif, berani, dan
inovatif (business unusual).
Kerja sama antardaerah dengan kabupaten/ kota seperti Bogor, Tangerang,
Bekasi, dan dalam skala provinsi dengan Jawa Barat dan Banten, mesti
digalakkan kembali dengan sistem amang-amang dan iming-iming atau stick and carrot.
Di Jakarta sendiri,
untuk kawasan kota yang muka tanahnya berada di bawah permukaan laut, kenapa
tak dirintis pembangunan permukiman terapung ataupun perumahan yang fleksibel
bertumpu pada pilar-pilar. Sistem transportasinya juga tak sekadar
mengandalkan transportasi darat, tetapi juga transportasi air. Kita bisa
belajar dari kota yang berorientasi air seperti Venesia, Amsterdam, Paris,
dan Brisbane. Di kawasan permukiman yang berada di atas dan bebas banjir,
warganya diwajibkan membuat sumur resapan, wahana tadah hujan, dan biopori
untuk menyimpan cadangan air.
Perlu dipikirkan pula
moratorium pembangunan gedung komersial pencakar langit baru seperti
mal, supermal, perkantoran, dan perhotelan. Gedung bertingkat tinggi hanya
diperbolehkan untuk rumah susun sewa (rusunawa) dan rumah susun milik
(rusunami) bagi masyarakat berpenghasilan rendah guna merealisasikan program
Seribu Menara yang pernah digaungkan Jusuf Kalla. Hal ini tentu mesti
dilengkapi sarana dan prasarana umum serta fasilitas sosial yang dibutuhkan
warga kelas akar rumput. Rusunawa dan rusunami yang murah sekalipun harus
nyaman huni (livable). Secara
simultan juga perlu ditekankan pentingnya moratorium penyedotan air
bawah tanah yang jelas-jelas mengakibatkan penurunan muka air tanah (land subsidence).
Gerakan Biru
Sebagai perencana
kota, saya mesti mengaku dosa, selama ini orientasi pembangunan wilayah dan
kota kita lebih berorientasi ke arah daratan. Istilah yang lazim
dipakai land-use alias
tata guna lahan. Pemandangan alam pun lazim disebut landscape. Dalam perencanaan wilayah dan kota jarang sekali kita
dengar istilah water-use atau waterscape. Padahal,
Nusantara ini kita sebut dengan Tanah Air, bukan Fatherland. Bahkan,
isinya pun 70 persen air dan 30 persen daratan.
Beberapa waktu belakangan,
santer terdengar Gerakan Hijau atau Green Movement, mulai dari green planet, green country, green city,
green architecture, green interior, sampai green company, green bank. Dengan adanya musibah banjir-cum-rob
di kota-kota pantai kita, kiranya sudah saatnya dikumandangkan Gerakan Biru
dalam perencanaan wilayah dan kota. Jika dalam ketentuan rencana kota sesuai
UU
Penataan Ruang sudah diamanatkan 30 persen untuk RTH, semestinya ke depan
ditetapkan pula agar untuk kota-kota yang memiliki sungai mesti menyisihkan
area minimal 5 persen untuk ruang terbuka biru (RTB). Jakarta yang notabene
memiliki 13 sungai, ternyata hanya memiliki RTB yang tak lebih dari 1,5
persen. Berarti ketentuan mengenai garis sempadan sungai yang kini banyak
dilanggar mesti kembali ditegakkan. Tidak hanya di daerah hilir saja, tetapi
juga sepanjang tepi sungai sampai ke hulunya sesuai kaidah yang kita
kenal one river, one plan, one
management.
Pemikiran progresif
tentang pembangunan sabuk pantai di sepanjang pantai Jakarta juga layak dapat
dukungan untuk dikaji dan dilaksanakan. Memang biayanya cukup mahal, tetapi
jauh lebih murah dan rasional ketimbang pembangunan dam lepas pantai. Selain
itu, lebih ramah lingkungan, tak merusak bibir pantai, tak mengganggu
aktivitas pelabuhan dan kegiatan para nelayan, dan ikut menjaga keseimbangan
fungsi ekologis. Keuntungan lain, sabuk pantai juga akan berfungsi jamak,
antara lain untuk kegiatan pertambakan ikan, menambah jalur jalan, dan sarana
rekreasi air.
Memang banyak yang
dapat dan harus segera dilakukan, khususnya untuk mencegah banjir bandang
yang lebih mengerikan di masa mendatang, terutama akibat perubahan iklim dan
pemanasan global. Banjir yang dahsyat kali ini seyogianya dianggap pelajaran
pahit kita bersama dan perlu diambil hikmahnya.
Yang pertama kita harapkan
dari pemerintah (pusat dan daerah) adalah kehendak politik yang kuat untuk
sesegera mungkin melaksanakannya sesuai rencana. Konsep dan rencana tanpa
tindakan sama saja dengan mimpi di siang bolong, sedangkan tindakan tanpa
konsep dan rencana yang matang serupa saja dengan mimpi buruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar