Menata
Kembali Indonesia
Ivan Hadar ; Direktur
Institute for Democracy Education (IDE),
Koordinator Target MDG (2007-2010)
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Februari 2014
SAAT ini, mulai banyak orang
Indonesia yang optimistis bahwa Pilpres 2014 akan membawa harapan bagi masa
depan Indonesia. Jun Honna, pengamat Indonesia dari Universitas Ritsumeikan,
Jepang, menyebut optimisme tersebut sebagai ‘efek Jokowi’ yang dipercaya
setidaknya akan menyebabkan perubahan politik yang sangat penting terkait
dengan konsolidasi demokrasi di negeri ini (Kompas, 15/1/2014).
Fenomena munculnya Jokowi sebagai
seorang ‘nonelite’ yang memperoleh dukungan luas dan fanatik dari masyarakat
untuk menjadi presiden tentu saja dihadapkan pada tantangan untuk mengubah
konstelasi perpolitikan Indonesia yang selama era reformasi masih dikuasai
para elite (politik dan ekonomi) produk Orde Baru.
Selain itu, terdapat beberapa
tantangan besar yang berkaitan langsung dengan kecenderungan berupa
merebaknya privatisasi ekonomi, yang dalam beberapa bidang telah menyebabkan
lumpuhnya fungsi negara sebagai penyedia kesejahteraan dan pusat pelayanan
publik. Dalam bentuknya yang paling buruk, negara bahkan ditengarai telah
menjadi fasilitator kepentingan (neokolonialisme) asing.
Dalam membendung arus deras
globalisasi neoliberal dan konteks nasional yang melingkupinya, gagasan kese
jahteraan yang berarti penguatan kembali peran publik negara terasa perlu
kembali dimunculkan (Tim Triloka, 2011).
Perwujudan neoliberalisme yang
telah merambah ke hampir seluruh kehidupan ekonomi negeri ini sangat pantas
untuk ditinjau ulang. Sementara itu, langkah deprivatisasi dan nasionalisasi
beberapa aset nasional perlu dikaji kelayakannya. Secara umum pembangunan
ekonomi butuh reorientasi agar lebih berbasis kepada kedaulatan bangsa dan
keberlanjutan sumber daya alam.
Meraih kembali kedaulatan
Misi menata kembali Indonesia tentu
saja merupakan pekerjaan besar yang harus dipikul oleh seluruh kekuatan
bangsa. Untuk itu, dibutuhkan peta jalan dengan berbagai sasaran di antara yang ingin dicapai.
Sebagai pendekatan tematik, setidaknya perlu diprioritaskan enam sektor
berikut, yaitu pangan dan pertanian, energi, usaha mikro dan kecil,
pendidikan, kesehatan serta ketenagakerjaan.
Isu ketahanan pangan, yakni
kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dengan mutu dan jumlah
yang aman, merata, dan terjangkau, seperti tercantum dalam UU No 7/1996
tentang Pangan adalah bagian dari isu kedaulat an pangan. Selama rezim Orde
Baru, pendekatan pengembangan sektor pertanian mengikuti ‘revolusi hijau’
yang berbasiskan kepada pupuk dan pestisida kimia, bibit hibrida, serta
teknik budi daya monokultur telah menimbulkan banyak masalah. Selama ini,
dalam era reformasi persoalan ketergantungan input produksi dan kerusakan
lingkungan yang ditimbulkannya bukan saja belum teratasi, melainkan kebijakan
sektor pertanian kita menjadi semakin jauh untuk melayani kepentingan
industri besar dan pemilik modal.
Dampaknya, Indonesia masuk ke food
trap negara maju dan kapitalisme global. Selain beras, tujuh komoditas utama
nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor.
Ketergantungan lainnya, berkaitan
dengan energi, khususnya pada ener gi fosil. Harga minyak bumi yang terus
melambung, penggunaan energi yang boros, subsidi BBM dan listrik yang masih
berlanjut, pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan energi yang terus
meningkat, merupakan permasalahan energi nasional yang tak kunjung selesai.
Data dari Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa lebih dari separuh kebutuhan
energi Indonesia dipenuhi dari minyak bumi. Saat ini, Indonesia memiliki
cadangan total minyak bumi yang meliputi cadangan terbukti dan cadangan
potensial, sekitar 10 miliar barel. Jika tingkat produksi minyak rata-rata sebesar
450 juta barel per tahun, cadangan minyak kita akan kering dalam 20 tahun.
Dengan demikian, perlu upaya untuk
mengembangkan sumber energi terbarukan (mikro hidro, biomassa, biogas,
gambut, energi matahari, arus laut, dan tenaga angin) sehingga di masa
mendatang bangsa Indonesia tidak akan mengalami kekurangan pasokan energi.
Menurut catatan kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, negara
ini setidaknya memiliki 62 jenis tumbuhan penghasil minyak untuk energi.
Bagaimana dengan perdagangan?
Ternyata, porsi sektor informal dalam kegiatan perdagangan di Indonesia
mencapai di atas 95%. Upaya pengembangan kewirausahaan di Indonesia sangat
terkait dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), yang pada umumnya
merupakan pengisi sektor informal, dan bagian dari gerakan koperasi. Koperasi
dan UMKM merupakan representasi rakyat Indonesia dalam kehidupan ekonomi.
Karena itu, perlu diberikan prioritas yang tinggi dalam pembangunan nasional.
Terutama UMK (usaha mikro dan
kecil), memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dan komparatif terutama
dalam pemanfaatan sumber daya alam. Sektor tersier UMK, yaitu perdagangan,
pariwisata, dan industri boga, dengan investasi yang sama mampu menyerap tenaga
kerja yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan usaha menengah dan
besar. Oleh karena itu, secara prospektif, UMK dapat tumbuh lebih cepat asal
ada kebijakan yang efektif dan tepat guna dari pemerintah.
Meningkatkan sumber daya
Permasalahan lainnya berkaitan dengan
ketenagakerjaan adalah tingginya jumlah pengangguran, minimnya perlindungan
hukum, upah yang kurang layak, dan rendahnya pendidikan buruh. Data menunjukkan
secara jelas, bahwa lebih dari 75% pekerja Indonesia berpendidikan SLTP ke bawah, tanpa
keterampilan khusus. Bagi kalangan investor yang ingin menanamkan modalnya di
Indonesia sajian data ini akan menghadirkan suatu pengertian bahwa jenis
industri yang potensial dikembangkan di Indonesia adalah jenis industri
manufaktur padat karya (garmen, tekstil, sepatu, elektronik).
Selama lebih dari 35 tahun,
pemerintah Indonesia percaya dengan jenis investor ini, sampai kemudian
disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah jenis
industri yang paling gemar melakukan relokasi.
Dalam dua dekade terakhir kualitas
manusia Indonesia telah mengalami kemerosotan yang parah dan menjadi yang
paling rendah di Asia Tenggara. Selain kualitas, pendidikan kita juga
menghadapi masalah kuantitas. Tahun lalu, dari 118.108 siswa SD yang
mengikuti general test di Jakarta, misalnya, sebanyak 34.313 tidak diterima
di SLTP negeri. Bila ingin melanjutkan sekolah, mereka harus mendaftar ke
sekolah swasta yang lebih mahal. Padahal, bisa diduga, sebagian besar dari
mereka berasal dari keluarga paspasan, yang boleh jadi mengalami kesulitan
belajar karena kekurangan gizi, misalnya.
Kenyataannya, sekitar 27% balita
di Indonesia mengalami gizi buruk. Sementara itu, angka kematian balita (AKB)
dan ibu (AKI) di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN.
Tingginya kasus gizi buruk yang dialami calon generasi penerus bangsa ini
sangat berbahaya bagi peningkatan kualitas pembangunan negeri ini.
Menata kembali Indonesia, idealnya
berdasarkan jiwa, semangat, nilai dan konsensus dasar berdirinya Republik ini
seperti yang tersurat dalam Mukadimah dan Pasal 33 UUD ‘45. Pembangunan
berkeadilan ditorehkan sebagai arah besarnya dengan agenda dan program
pembangunan yang dicanangkan untuk mencapai keadaan masyarakat yang sejahtera
melalui kedaulatan pangan dan energi, penciptaan kesempatan kerja,
penghapusan kemiskinan, dan pengurangan berbagai bentuk ketimpangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar