Kamis, 06 Februari 2014

Gita Politik yang Tak Merdu

Gita Politik yang Tak Merdu

Umbu TW Pariangu   ;  Dosen Fisipol, Universitas Nusa Cendana, Kupang
MEDIA INDONESIA,  05 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Sikap terbesar Gita saat ini mestinya menuntaskan kontrak politik di kementeriannya sampai selesai.”

DI ujung berita pengunduran diri Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sebagai pembantu presiden dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, Jumat (31/1), yang disampaikannya langsung di Kantor Kementerian Perdagangan, di Gambir, Jakarta Pusat, bukan saja menuai aplaus terutama dari Komite Konvensi Demokrat, tetapi sebaliknya memantik pro-kontra.

Gita menyatakan alasan pengunduran dirinya lantaran ingin fokus mengikuti proses politik sebagai kandidat calon presiden dari Partai Demokrat yang kini tengah disaring dalam mekanisme konvensi. “Saya mengundurkan diri sebagai menteri perdagangan efektif 1 Februari 2014. Mengingat betapa pentingnya Partai Demokrat bagi kepentingan bangsa. Saya sudah saatnya menyukseskan konvensi,” demikian ucapan Gita di akhir pernyataan pengunduran dirinya.

Alasan pria penyuka musik jazz dan olahraga golf itu memusatkan konsentrasi untuk menjajal peruntungan politik di Pemilu 2014 tentu sah-sah saja sebagai bagian dari liabilitas etis dan moral seorang pejabat untuk menghindari benturan kepentingan. Dengan langkah seperti itu, Gita bisa memusatkan energi dan strategi politiknya untuk menggenjot kepopulerannya sekaligus elektabilitasnya di konvensi.

Memang, sampai kini elektabilitas intelek lulusan Harvard University itu belum semenonjol Dahlan Iskan atau Pramono Edhie, bahkan masih kalah dari politikus daerah, yakni Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang, yang menempati posisi ketiga di konvensi. Hanya, harus diakui, Gita memiliki keuntungan politik dari sisi akseptabilitasnya di lingkaran Cikeas. Konon--meskipun ia selalu membantahnya--Gita sering disebut-sebut sebagai ‘anak emas’ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya dalam konvensi.

Saat ulang tahun Demokrat pada 2011, SBY sempat mengutarakan kriteria capres versinya, yakni sosok muda yang cerdas, mampu memperjuangkan martabat ekonomi Indonesia di skala internasional, memiliki konsep kebijakan yang sinambung dengan kebijakan SBY, memiliki prestasi yang diakui di dalam negeri ataupun di internasional, serta sosok yang berintegritas dan bersih. Agaknya kita tak perlu berkerut kening untuk mengerti sosok yang dimaksud SBY, yang tidak lain tidak bukan adalah Gita Wirjawan.

Apalagi dua sosok tersebut memang selalu terlihat ‘nempel’ di berbagai forum pertemuan internasional. Gita yang lama meraup benih di ladang pemikiran neoliberal di luar negeri juga dinilai sebagai sosok kandidat presiden yang bisa menjadi ‘bumper’ bagi kepentingan ‘Negeri Paman Sam’.

Bahkan isyarat bakal mencuatnya ‘anak emas’ dalam pertarungan konvensi kelak mulai tercium dari pernyataan salah satu elite Demokrat baru-baru ini terkait dengan mekanisme penentuan pemenang konvensi. Bahwa pemenang konvensi akan ditentukan oleh suara Majelis Tinggi Demokrat--yang notabene diketuai SBY--jika survei yang dilakukan oleh tiga lembaga survei yang dikontrak oleh Demokrat memperlihatkan hasil yang saling berbeda.

Misteri Panas

Namun, burung pun tahu, kepergian Gita dari biduk kabinet juga meninggalkan misteri panas soal kisruh beras medium impor asal Vietnam--yang beredar di Pasar Induk Cipinang--yang bisa saja akan menghadang langkah jangkung politiknya terlebih jika hasil investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan mengindikasikan adanya keterlibatan dirinya. Bisa jadi ujung dari investigasi itu membuat Gita (nyanyian) politiknya di dapur konvensi tak lagi merdu.

Gita harus kerja ekstra di hari-hari ke depan untuk meyakinkan publik bahwa ia tidak terlibat dalam ‘konspirasi’ impor beras dan gula rafinasi. Ia harus bisa membuktikan dirinya bebas murni dari segala rumor tak sedap yang sudah menjadi rahasia umum terkait dengan adanya praktik hitam pengumpulan dana gelap oleh kelompok politik tertentu untuk pasokan politik jelang Pemilu 2014.

Pun tak kalah penting, Gita ‘minggat’ dari kabinet persis di tengah kritik masif masyarakat terkait dengan defisitnya neraca perdagangan hingga kebijakan lalu lintas perdagangan yang kian hari kian dikancing imperium pasar global. Tidak mengherankan, mengerasnya laju impor beras, jagung, kedelai, gula, bawang putih bahkan garam selalu dibumbui desas-desus maraknya bisnis oligopoli atau praktik kartel.

Kita memang memiliki UU Antimonopoli Indonesia (UU No 5 tahun 1999) sebagai instrumen melindungi mata rantai tata niaga pangan, tetapi aturan tersebut tetap masih ompong untuk mencegah mengguritanya kartelisasi pangan.

Bahkan Bulog yang diharapkan bisa menjadi pengimbang harga dan distribusi pasokan pangan saja konon sudah dikuasai perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Ketika muncul indikasi adanya kartel yang meliliti rantai distribusi pangan nasional, pemerintah khususnya kementerian perdagangan cenderung enggan mengakuinya, apalagi sungguh-sungguh mau mengungkap siap para mafia kartel tersebut.

Tunai kontrak

Kalau saja Gita memahami benar ungkapan Winnie the Pooh, You're bigger than what you think you are, sebuah ungkapan yang selalu menginspirasinya saat kuliah di Harvard University.

Sikap terbesar Gita saat ini mestinya menuntaskan kontrak politik di kementeriannya sampai selesai karena di dalam kontrak tersebut ada kepentingan dan persoalan vital rakyat yang belum utuh ditunaikan.

Tentu, pengunduran diri Gita secara etiket akan menjadi preseden sekaligus entropi politik bagi perilaku serupa tidak saja di kalangan peserta konvensi lainnya, tetapi juga bagi pejabat-pejabat bangsa ini termasuk para menteri yang tengah nyaleg. Namun, perilaku etis seorang pejabat juga harus berbasis pada rasionalitas dan prinsip tanggung jawab agar jabatan/kekuasaan yang dimilikinya tidak didikte atau dimanipulasi oleh tindakan populer semata yang tidak memberi kontribusi bagi kematangan berdemokrasi (Ian Shapiro, Asas Moral dalam Politik: 2006, 208-209).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar