Kamis, 06 Februari 2014

CSR : Komitmen, Bukan Kewajiban

CSR : Komitmen, Bukan Kewajiban

B Natalia Sari Pujiastuti   ;  Ketua Prodi Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata Semarang
SUARA MERDEKA,  05 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
"Bila tidak berlandaskan komitmen pengusaha, perda CSR juga dikhawatirkan memengaruhi iklim investasi"

SUSANTO melalui Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Pendekatan Strategic Management dalam CSR (2009:14) menyebutkan praktik corporate social responsibility (CSR) berawal dari tahap paling sederhana, yakni sifat kedermawanan para pemilik perusahaan. Bermula dari motif filantropis perusahaan yang kerap bersifat spontan dan belum terkelola baik. Secara sukarela, mereka menyisihkan sebagian kekayaan untuk membantu masyarakat.

Itulah yang disebut Wibisono (Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, 2007:4) sebagai konsep paling primitif CSR: kedermawanan yang bersifat karitatif, sampai ada dorongan eksternal berupa tuntutan masyarakat, dan dorongan internal supaya perusahaan lebih peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya.

Kebiasaan berderma, baik didorong keyakinan keagamaan maupun oleh motif lain, menurut Solihin (Corporate Social Responsibility: from Charity to Sustainability, 2009:18) disebut charity principle. Kondisi itu diyakini sebagai salah satu pendorong utama kelahiran tanggung jawab sosial saat wacana tentang kepedulian lingkungan dan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan filantropi dan community development.

Saat ini, Pemprov Jateng c.q. Dinas Sosial sedang menggodok Raperda tentang CSR. Perdebatan masih berputar-putar pada pertanyaan apakah CSR merupakan kewajiban atau kesukarelaan perusahaan. Ada yang bersikukuh bahwa itu merupakan kewajiban perusahaan berdasar argumentasi pada peraturan, terutama Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Masalah Komunikasi

Ayat 1 UU itu menyebutkan,’’ Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan’’. Ayat 2 menyebutkan,’’Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud Ayat 1 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran’’.

Adapun Ayat 3 menyebutkan,’’ Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud Ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4 mengamanatkan,’’ Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah’’.

Sekilas argumentasi itu tak terbantahkan, kendati Pasal 1 Ayat 3 menyebutkan,          
’’Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya’’.

Kata ”wajib” pada Pasal 74 Ayat 1 bertentangan dengan kata ”komitmen” pada Pasal 1 Ayat 3. Komitmen adalah perjanjian melaksanakan sesuatu (Badudu, Zain, Kamus Umum  Bahasa Indonesia, 2001). Komitmen adalah janji, tidak ada unsur kewajiban. Jadi, sebenarnya CSR lebih pada persoalan komitmen ketimbang kewajiban. Karena itu, tanggung jawab sosial perusahaan sesungguhnya masalah komunikasi, bukan sekadar persoalan wajib atau sukarela, apalagi intervensi pemerintah terhadap perusahaan.

Kalau pendekatan CSR dilandasi komunikasi maka pembahasan raperda tersebut akan lebih mulus. Artinya, rancangan tersebut diawali dengan komunikasi baik antara pemerintah provinsi/kabupaten/kota dan para pengusaha, agar muncul komitmen seperti diamanatkan Pasal 1 Ayat 3 UU Nomor 40 Tahun 2007. Sebaliknya, kalau dilandasi semangat ”kewajiban”, pasti akan memunculkan resistensi karena pengusaha merasa diintervensi oleh kekuasaan.

Argumentasi bahwa CSR bukan kewajiban juga dapat dilihat pada PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Regulasi tersebut tidak menyebut perseroan harus memasukkan dana CSR dalam anggaran tapi justru memberikan otonomi penganggaran itu kepada internal perseroan.

Pasal 4 PP Nomor 47 Tahun 2012 misalnya menyebutkan,’’ Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan dewan komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar perseroan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.

Disebutkan pula,’’ Rencana kerja tahunan perseroan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan’’. Pasal 6 menyebutkan,’’ Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS’’. Jadi, rencana kerja tahunan, yang di dalamnya memuat penganggaran CSR, bergantung pada dewan komisaris atau RUPS perseroan. Hal ini menutup kemungkinan intervensi pihak luar untuk ikut menentukan atau mewajibkan suatu perusahaan mengalokasikan anggaran CSR. 
Pihak luar (pemerintah atau lembaga lain) juga tidak dapat mewajibkan suatu perusahaan melaporkan rencana tahunan ke pihak lain, selain RUPS.

Bila tidak berlandaskan komitmen pengusaha, perda juga dikhawatirkan memengaruhi iklim investasi. Pengusaha sudah dikenai berbagai peraturan, semisal UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Andai ditambah UU tentang Perseroan Terbatas, PP tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, dan Perda tentang Tanggung Jawab Sosial, minimal secara psilogis pengusaha  merasakan beban yang terus bertambah atau ada tumpang-tindih peraturan.

Belum lagi bila kita mencermati bahwa dana CSR dimasukkan sebagai anggaran perseroan dan diperhitungkan sebagai biaya (seperti amanat Pasal 74 Ayat 2). Pengusaha akan membebankan kepada konsumen berkait kenaikan harga sehingga tanggung jawab pun bergeser ke konsumen. Perlu pertimbangan matang sebelum mengesahkan raperda itu menjadi perda. Termasuk mempertimbangkan ketidakpercayaan pengusaha terhadap pemerintah berkait penyalahgunaan bansos yang dikelola melalui regulasi CSR, demi keuntungan partai tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar