CSR
: Komitmen, Bukan Kewajiban
B Natalia Sari Pujiastuti ; Ketua Prodi Komunikasi Fakultas Hukum dan
Komunikasi Unika Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 05 Februari 2014
"Bila tidak berlandaskan komitmen pengusaha, perda CSR juga
dikhawatirkan memengaruhi iklim investasi"
SUSANTO melalui Reputation-Driven Corporate Social
Responsibility, Pendekatan Strategic
Management dalam CSR (2009:14) menyebutkan praktik corporate social responsibility (CSR) berawal dari tahap paling
sederhana, yakni sifat kedermawanan para pemilik perusahaan. Bermula dari
motif filantropis perusahaan yang kerap bersifat spontan dan belum terkelola
baik. Secara sukarela, mereka menyisihkan sebagian kekayaan untuk membantu
masyarakat.
Itulah yang disebut Wibisono
(Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, 2007:4) sebagai konsep paling primitif
CSR: kedermawanan yang bersifat karitatif, sampai ada dorongan eksternal
berupa tuntutan masyarakat, dan dorongan internal supaya perusahaan lebih
peduli dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya.
Kebiasaan berderma, baik
didorong keyakinan keagamaan maupun oleh motif lain, menurut Solihin (Corporate Social Responsibility: from
Charity to Sustainability, 2009:18) disebut charity principle. Kondisi
itu diyakini sebagai salah satu pendorong utama kelahiran tanggung jawab
sosial saat wacana tentang kepedulian lingkungan dan kedermawanan perusahaan
terus berkembang dalam kemasan filantropi dan community development.
Saat ini, Pemprov Jateng c.q.
Dinas Sosial sedang menggodok Raperda tentang CSR. Perdebatan masih
berputar-putar pada pertanyaan apakah CSR merupakan kewajiban atau
kesukarelaan perusahaan. Ada yang bersikukuh bahwa itu merupakan kewajiban
perusahaan berdasar argumentasi pada peraturan, terutama Pasal 74 UU Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Masalah Komunikasi
Ayat 1 UU itu menyebutkan,’’
Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan’’. Ayat 2 menyebutkan,’’Tanggung jawab sosial dan lingkungan
sebagaimana dimaksud Ayat 1 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan
dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan
dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran’’.
Adapun Ayat 3 menyebutkan,’’
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud Ayat 1
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat 4
mengamanatkan,’’ Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan
lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah’’.
Sekilas argumentasi itu tak
terbantahkan, kendati Pasal 1 Ayat 3 menyebutkan,
’’Tanggung jawab sosial dan
lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan
yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun
masyarakat pada umumnya’’.
Kata ”wajib” pada Pasal 74 Ayat
1 bertentangan dengan kata ”komitmen” pada Pasal 1 Ayat 3. Komitmen adalah
perjanjian melaksanakan sesuatu (Badudu, Zain, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, 2001). Komitmen adalah janji, tidak ada unsur kewajiban. Jadi,
sebenarnya CSR lebih pada persoalan komitmen ketimbang kewajiban. Karena itu,
tanggung jawab sosial perusahaan sesungguhnya masalah komunikasi, bukan
sekadar persoalan wajib atau sukarela, apalagi intervensi pemerintah terhadap
perusahaan.
Kalau pendekatan CSR dilandasi
komunikasi maka pembahasan raperda tersebut akan lebih mulus. Artinya,
rancangan tersebut diawali dengan komunikasi baik antara pemerintah
provinsi/kabupaten/kota dan para pengusaha, agar muncul komitmen seperti
diamanatkan Pasal 1 Ayat 3 UU Nomor 40 Tahun 2007. Sebaliknya, kalau
dilandasi semangat ”kewajiban”, pasti akan memunculkan resistensi karena
pengusaha merasa diintervensi oleh kekuasaan.
Argumentasi bahwa CSR bukan
kewajiban juga dapat dilihat pada PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Regulasi tersebut tidak menyebut
perseroan harus memasukkan dana CSR dalam anggaran tapi justru memberikan
otonomi penganggaran itu kepada internal perseroan.
Pasal 4 PP Nomor 47 Tahun 2012
misalnya menyebutkan,’’ Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan
oleh direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat
persetujuan dewan komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar perseroan,
kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Disebutkan pula,’’ Rencana
kerja tahunan perseroan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 memuat rencana
kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan’’. Pasal 6 menyebutkan,’’ Pelaksanaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan
kepada RUPS’’. Jadi, rencana kerja tahunan, yang di dalamnya memuat
penganggaran CSR, bergantung pada dewan komisaris atau RUPS perseroan. Hal
ini menutup kemungkinan intervensi pihak luar untuk ikut menentukan atau
mewajibkan suatu perusahaan mengalokasikan anggaran CSR.
Pihak luar
(pemerintah atau lembaga lain) juga tidak dapat mewajibkan suatu perusahaan
melaporkan rencana tahunan ke pihak lain, selain RUPS.
Bila tidak berlandaskan
komitmen pengusaha, perda juga dikhawatirkan memengaruhi iklim investasi.
Pengusaha sudah dikenai berbagai peraturan, semisal UU Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Andai ditambah UU tentang
Perseroan Terbatas, PP tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan
Terbatas, dan Perda tentang Tanggung Jawab Sosial, minimal secara psilogis
pengusaha merasakan beban yang terus bertambah atau ada tumpang-tindih
peraturan.
Belum lagi bila kita mencermati
bahwa dana CSR dimasukkan sebagai anggaran perseroan dan diperhitungkan
sebagai biaya (seperti amanat Pasal 74 Ayat 2). Pengusaha akan membebankan
kepada konsumen berkait kenaikan harga sehingga tanggung jawab pun bergeser ke
konsumen. Perlu pertimbangan matang sebelum mengesahkan raperda itu menjadi
perda. Termasuk mempertimbangkan ketidakpercayaan pengusaha terhadap
pemerintah berkait penyalahgunaan bansos yang dikelola melalui regulasi CSR,
demi keuntungan partai tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar