Sabtu, 01 Februari 2014

Mangga

Mangga

Bagja Hidayat  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  01 Februaru 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Cinta seringkali tak masuk akal. Ibu saya mengirim SMS, memberi tahu bahwa pohon mangga di depan dan belakang rumah di kampung sedang berbuah. Ia menyisakan lima butir. "Kalau-kalau kamu pulang," tulisnya.

Saya tertawa membacanya. Tentu saya tak akan pulang dalam waktu dekat, setelah kemarin menjemput anak yang liburan tengah semester sekolahnya. Selain itu, saya pulang biasanya saat Lebaran. Dan, dengan telepon seluler, rencana mudik bisa dengan cepat dikabarkan. Jadi, menyimpan lima mangga untuk saya terdengar aneh, karena mereka bakal membusuk karena hari raya masih setengah tahun lagi.

Tapi, itulah cinta, yang sering tak masuk akal.

Ibu saya selalu saja menganggap ini tahun 1996. Pada tahun itu saya meninggalkan rumah untuk sekolah. Komunikasi kami hanya melalui surat. Kalau liburan semester, saya bisa tiba-tiba nongol di depan pintu. Dan ibu kerap menyesal, jika saat libur itu, musim mangga sudah habis dan ia tak menyisakan satu pun untuk saya. Sejak itu, ia menyimpan mangga saat berbuah karena takut saya pulang sewaktu-waktu, sedangkan musim sudah habis.

Mungkin cinta memang tak masuk akal.

Barangkali karena setiap orang punya memori tentang peristiwa yang paling membekas dalam hidupnya. Bagaimanapun, sejak anak-anaknya sekolah di luar kampung, hidup ibu dan bapak jadi berat karena kebutuhan bertambah. Sampai sekarang, hampir setiap hari menelepon atau ditelepon, nasihatnya selalu sama: jangan telat makan, jaga kesehatan, berhenti merokok, dan selalu bersyukur. Untung ia tak menambah satu nasihat yang dulu wajib ia katakan: rajin belajar!

Dan memori itu melahirkan cinta yang tak masuk akal, bagi saya. Bagi ibu, semua itu muncul dari bawah sadarnya. Cinta itu lahir dari fitrahnya sebagai ibu yang protektif terhadap anak-anaknya. Sebab, bapak selalu mengingatkan dengan nalarnya, agar tak usah terlalu pusing memikirkan hidup anak-anak yang sudah memisahkan diri. 

Setelah punya anak sekarang, saya jadi paham kenapa larangan kepada anak lebih banyak keluar dari ibu. Mungkin karena ibu punya hubungan jauh lebih dekat kepada anak-anaknya. Sebab, setiap anak akan mengikatkan dan mengukuhkan batinnya kepada ibu saat menyusu. Ketika anak-anaknya susah, benteng proteksi yang dibangunnya selama kita tumbuh itu akan ambyar. 

Maka, jika ibu melarang minum es di musim hujan karena bisa flu, bapak akan mengizinkannya karena flu toh ada obatnya dan bisa sembuh segera. Jika ibu melarang main pisau karena ia cemas kita akan terluka, bapak akan membiarkan karena anak-anak suka mencoba banyak hal. Ibu banyak melarang karena ia akan bekerja lebih keras jika anak-anaknya sakit: menjaga, merawat, dan menyembuhkan.

Dari situlah mungkin tumbuh cinta protektif yang kerap tak masuk akal.

Seorang teman mengingatkan momen mangga itu akan membuat saya kangen suatu saat nanti. Ibu teman ini meninggal dua tahun lalu. Berbahagialah, kata dia, yang masih punya ibu dengan cinta yang luar biasa, betapapun tak masuk akal dan nalar kita yang suka berpikir selintas dan enteng-entengan.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar