“3
Ton Emas”
Budiarto Shambazy ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
01 Februaru 2014
SUNGGUH mencengangkan
tiba-tiba muncul inisiatif, entah dari siapa, agar APBN membiayai honor saksi partai politik saat
pencoblosan di tempat pemungutan suara pada Pemilu 2014. Jumlahnya tidak
tanggung-tanggung, yakni Rp 700 miliar.
Jika dihitung ada 12 saksi
di setiap tempat pemungutan suara (TPS) yang mewakili partai politik (parpol)
peserta pemilu, yang dibayar Rp 100.000, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp
660 miliar untuk saksi di sekitar setengah juta TPS. Lalu dengan enaknya
disebutkan, jumlah anggaran itu ”dibulatkan” saja menjadi Rp 700 miliar.
Seolah-olah dana puluhan
miliar kecil bisa ”dibulatkan” dan tak perlu dipersoalkan penggunaannya. Dan,
inisiatif konyol itu muncul saat rakyat mengalami bencana di mana-mana.
Lebih konyol lagi, sampai
kini belum ada yang mengetahui siapa gerangan yang mengusulkan anggaran saksi
parpol tersebut. Terdapat kesan, pihak pemerintah/kementerian, Bawaslu, dan
DPR/parpol malah saling membantah.
Jadi, Anda bisa
membayangkan, di TPS nanti total ada 14 saksi/mitra, terdiri dari 12 saksi
parpol dan 2 lagi mitra dari Bawaslu. Tugas mereka jelas, mengawasi pencoblosan,
penghitungan suara, sampai pengesahan formulir C1 di TPS.
Pembiayaan mitra yang
ditugaskan Bawaslu tidak ada persoalan karena anggarannya telah disepakati
pemerintah dan DPR. Tinggal bagaimana Bawaslu merekrut minimal sejuta mitra
untuk semua TPS dengan honor Rp 100.000 per orang.
Jika fungsi Bawaslu
diperkuat mitra, itu sama sekali bukanlah masalah. Apalagi, Bawaslu memang
memiliki daya paksa untuk setidaknya memeriksa keabsahan hasil pemilu/pilpres
di TPS, kalau memang diduga terjadi pelanggaran.
Akan tetapi, akan menjadi
lain jika saksi parpol harus dibiayai negara. Sebelum ini saksi dikerahkan
parpol, yang mungkin berasal dari partainya sendiri ataupun relawan-relawati.
Di mana pun di dunia ini,
tak ada saksi parpol yang dibayar negara. Salah satu tugas mulia saksi,
seperti saksi nikah atau saksi di pengadilan, pada dasarnya bersifat
kesukarelaan.
Juga menjadi preseden
buruk jika parpol diberikan kenyamanan berupa pendanaan untuk saksi di TPS.
Semestinya merekalah yang bertanggung jawab tidak hanya menyediakan saksi,
tetapi juga pembiayaannya—jika memang diperlukan.
Mungkin kita sering
mendengar keluhan parpol yang sukar merekrut saksi karena ketiadaan sumber
daya manusia (SDM). Ini dalih kurang masuk akal karena sejatinya parpol
idealnya berbasiskan SDM yang dapat dimobilisasi dalam skala masif.
Ada juga keluhan mereka
kekurangan biaya untuk merekrut saksi. Di sisi lain, mereka toh mampu
menghamburkan dana besar untuk pasang iklan di media massa, baliho, spanduk,
atau membuat aneka aksesori untuk kampanye.
Dan, kita tahu,
kredibilitas pemilu-pilpres yang luber dan jurdil tidak semata-mata
tergantung dari saksi. Pencoblosan sampai pengesahan formulir C1 cuma salah
satu tahap, masih banyak lagi tahap sebelum dan setelah itu yang rawan
dicurangi.
Misalnya tahap mobilisasi
saat kampanye, yang antara lain berbentuk politik uang atau intimidasi. Juga
ada lagi tahap pasca-pencoblosan, yakni tahap manipulasi, yang melibatkan
manipulasi teknologi informasi penghitungan suara.
Kalau dalam bahasa Sunda,
gagasan saksi parpol yang dibayari negara ini aya-aya
waé. Kita juga sempat dikejutkan oleh gagasan konyol beberapa waktu lalu,
yakni pelibatan Lembaga Sandi Negara dalam pengamanan data hasil
pemilu/pilpres.
Suka atau tidak,
kekonyolan demi kekonyolan ini menimbulkan syak wasangka. Sepertinya selalu
saja ada pihak-pihak yang siap menghalalkan segala cara untuk menang.
Memang betul
pemilu/pilpres memerlukan biaya yang ekstrabesar, tetapi bukan berarti kita
harus jorjoran. Pemilu/pilpres yang luber dan jurdil tidak semata-mata
dihasilkan dana raksasa, tetapi juga oleh pemaknaan lebih mendalam lagi bagi
pemilih mengenai hakikat demokrasi.
Saya heran, misalnya,
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan target 75 persen pemilih akan
menggunakan hak suara. KPU, sebagai penyelenggara, seperti salesman penjual barang.
Contoh lain, mengapa ngotot penyelenggaraan pemilu/pilpres
diselenggarakan pada ”tanggal keramat”, yakni 9 April, 9 Juli, dan 9
September? Pemaknaan sejenis inilah yang memperlihatkan KPU memandang
demokrasi secara prosedural saja.
Apalagi kini berkembang
budaya ”wani piro”. Telah terungkap
hasil pilkada yang disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK), ternyata bisa
diatur dengan, menurut eks Ketua MK Akil Mochtar, ”3 ton emas” (Rp 3 miliar).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar