Konstitusi,
MPR, dan GBHN
Sidarto
Danusubroto ; Ketua MPR
RI
|
KORAN
SINDO, 22 Februari 2014
Persoalan paling mendasar yang kita rasakan setelah Reformasi
1998 berjalan 15 tahun adalah implikasi yang ditimbulkan setelah empat kali
amendemen UUD NRI Tahun 1945.
Ketika otoritarianisme Orde Baru berkuasa, perhatian kaum
terpelajar dan kelompokkelompok kritis yang menginginkan demokrasi, fokusnya
tertuju pada pembatasan masa jabatan presiden. Amendemen konstitusi dinilai
merupakan satu-satunya solusi menuju sistem yang demokratis.
Pembatasan Jabatan
Presiden
Sebelum amendemen, ketentuan dalam konstitusi atas masa jabatan
presiden pada Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945: Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Ketentuan Pasal 7 (Amendemen Pertama): Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Apa yang terjadi pada masa Orde Baru yang membenarkan presiden
terpilih hingga tujuh kali melalui argumen bahwa sesudahnya dapat dipilih
kembali, sebenarnya mengandung kontradiksi. Kalau konsisten, seharusnya
selama berkali-kali terpilih kembali, presiden dan wakil presidennya adalah
orang yang persis sama: sebab aturan konstitusi menyatakan presiden dan wakil
presiden secara bersama-sama (satu paket). Setelah mengatur batasan masa
jabatan presiden (baca: juga wakil presiden karena keduanya selalu menjadi
satu paket), pada Amendemen Ketiga (Pasal 7 A dan B) disebutkan pula mengenai
penyebab dan mekanisme pemakzulan presiden (seperti pengkhianatan terhadap
negara, perbuatan tercela, atau korupsi).
Hal-hal yang menjadi penyebab pemakzulan tersebut tidak satu pun
yang secara langsung berkaitan dengan ketidakmampuan presiden dalam
melaksanakan kekuasaan negara yang merupakan tanggung jawabnya. Amendemen
terkait pembatasan masa jabatan presiden memiliki implikasi: Pertama,
presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu (sebelumnya dipilih oleh
dan melalui MPR); kedua, sehubungan dengan itu dapat didefinisikan bahwa
presiden merupakan mandataris rakyat langsung, yang semula mandataris MPR;
ketiga, pembatasan masa jabatan berkorelasi dengan pelucutan fungsi utama MPR
sebagai lembaga yang merepresentasikan kekuasaan rakyat.
Hilangnya fungsi ini menyebabkan MPR bukan lagi lembaga
tertinggi negara sesuai ketentuan yang telah berubah. Semula dalam Pasal 1
ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 sebelum amendemen isinya menyebutkan bahwa
kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Pasca Amendemen Ketiga menjadi kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan ini
mengindikasikan kemunduran berpikir, sebab bentuk kedaulatan rakyat yang
mulanya konkretpermanen (MPR) sehingga bisa menjalankan fungsinya sebagai
majelisnya rakyat berubah menjadi sesuatu yang abstrak insidentil.
Rumusan yang menyatakan dilaksanakan menurut UUD jelas tidak
mengindikasi hadirnya kelembagaan tertentu yang dapat menggantikan fungsi MPR
sebagai lembaga pemberi mandat. Konsekuensi dari ketentuan pasca amandemen
bahwa keterpilihan presiden melalui pemilu bukan melalui MPR menghapuskan
definisi presiden mandataris MPR. Tetapi, yang dilupakan adalah tidak
serta-merta ketentuan tersebut berarti meniadakan fungsi MPR sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat.
Sebab sekalipun presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR
(secara teknis presiden terpilih melalui pemilu), tetap bisa menjalankan
fungsinya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat (secara substansial masih
merupakan majelisnya rakyat). Agar fungsi MPR yang dimaksudkan itu (pelaksana
kedaulatan rakyat) tidak hilang caranya mengembalikan posisi Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai arah kebijakan jangka panjang yang menjadi
rujukan presiden.
Horizontal dan Vertikal
Keberadaan GBHN akan menyadarkan kita bahwa bangsa dan negara
ini didirikan, seperti yang dengan jernih disampaikan Bung Karno dalam pidato
1 Juni 1945, sebagai negara oleh semua buat semua. Karena itu siapa pun
presiden yang menjalankan kekuasaan negara semuanya definitif menjalankan
blueprint yang sama secara berkesinambungan. Sehingga cita-cita negara ini
didirikan tidak akan pernah dibajak oleh penyelenggara kekuasaan negara dalam
satu atau dua periode masa jabatan yang notabene tidak perlu dipertanggungjawabkan
kepada majelisnya rakyat (MPR).
GBHN sebagai acuan arah kebijakan merupakan desain kita bersama
yang memiliki fungsi horizontal dan vertikal. GBHN bersifat horizontal sebab
mendeskripsikan seperti apa negara-bangsa kita, misalnya, pada 100 tahun ke
depan. Ia mendeskripsikan capaiancapaian yang akan diraih pada
periode-periode tertentu 25, 50, dan 75 tahun mendatang. Karenanya, tiap-tiap
presiden yang mendapatkan amanat melalui pemilu memiliki gambaran mengenai
apa yang harus dikerjakan berkaitan dengan semua bidang, seperti: ekonomi,
politik, hukum, pendidikan, pertanian, pertahanan dan keamanan, hubungan
internasional.
Sifat horizontal GBHN memandu presiden mengenai tahapan-tahapan
pembangunan yang telah dilalui dan sekaligus untuk menentukan skala prioritas
yang harus dikerjakan. Fungsi vertikal GBHN mengingatkan para penyelenggara
kekuasaan negara pusatdaerah merupakan satu kesatuan yang terintegrasikan.
Sebagai negara kesatuan secara operasional implementasinya senantiasa
berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi yang mengikat semua daerah kepada
pusat. Selain itu, GBHN sebagai arah kebijakan pembangunan, tentunya mencakup
pembangunan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional secara
keseluruhan.
Berkaitan dengan otonomi, seharusnya praktik otonomi daerah
selalu dalam pengertian sebagai mekanisme untuk memudahkan pengelolaan
kekuasaan negara sehingga tidak dapat dibenarkan bila kekuasaan daerah
menegasikan kekuasaan pusat. Realitas yang kita hadapi dalam banyak kasus
sejumlah bupati dan wali kota sama sekali tidak merasa bersalah ketika
mengabaikan instruksi gubernur. Peraturan-peraturan daerah dibuat dengan
menista keselarasan dengan aturan yang berlaku di pusat: menyimpangi
nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi.
Terhadap penyelenggaraan otonomi daerah yang nyata-nyata telah
menciderai konsep negara kesatuan harus dilakukan tindakan korektif. Otonomi
daerah yang kita jalankan merupakan derivasi dan implementasi dari konsep
kesatuan: jangan lupa negara kita adalah NKRI. Kalau kita antusias untuk
mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara agar terbuka
forum bagi presiden mempertanggungjawabkan kekuasaannya, menjadi janggal
apabila kita membiarkan kepala-kepala daerah (kabupaten, wali kota, dan
gubernur) tidak bisa dikoordinasikan secara tertib.
Kunci dari semua persoalan yang kita hadapi dalam penyelenggara
kekuasaan negara adalah taat konstitusi. Kita dalam waktu dengan mempunyai
kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Kita tentu sepakat bahwa Pemilu 2014
adalah momentum yang tepat dan konstitusional bagi bangsa ini untuk melakukan
evaluasi yang komprehensif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar