Donor
Fatigue
Abdul
Mu’ti ; Sekretaris
PP Muhammadiyah
|
KORAN
SINDO, 22 Februari 2014
Dalam satu dasawarsa terakhir, Indonesia seakan tidak pernah
henti didera bencana. Sejak tsunami Aceh di pengujung 2004, banjir, tanah
longsor, gunung meletus, dan gempa bumi terjadi silih berganti. Beribu nyawa
terenggut. Triliunan harta benda ludes.
Para agamawan mengingatkan bahwa bencana alam adalah ujian,
musibah, azab, dan hukuman Tuhan atas dosa-dosa teologis dan ekologis
manusia. Karena itu bangsa Indonesia harus melakukan pertobatan nasional dan
meningkatkan kebajikan. Dengan merujuk beragam teori, para ilmuwan
berpendapat bencana alam adalah peristiwa alamiah yang bisa diamati,
diantisipasi dan dihindari. Peristiwa alam menjadi malapetaka karena
rendahnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Minimnya fasilitas penanggulangan
bencana membuat infrastruktur hancur. Analisis terhadap sebab terjadinya
bencana bersifat subjektif-spekulatif.
Mana yang benar? Wallahu ‘alam. Rasanya tidak terlalu perlu
menghabiskan energi memperdebatkan sebabmusabab bencana. Yang mati tidak akan
hidup lagi. Yang cacat tidak kembali sempurna. Bagaimana sesegera mungkin
melakukan rehabilitasi jiwa dan rekonstruksi kerusakan bangunan? Bagaimana
meningkatkan kemampuan mitigasi, penanganan dan penanggulangan bencana?
Bagaimana membangun karakter bangsa yang kuat menghadapi bencana?
Donor Fatigue
Penting mempertanyakan karakter bangsa menghadapi bencana.
Muncul reaksi dan perilaku negatif terhadap bencana. Pertama, karakter
melankolis. Bencana identik dengan air mata, kesedihan dan kemiskinan. Demi
mendapatkan perhatian dan bantuan, banyak yang sengaja menampilkan diri
sebagai korban (self-victimising)
dan belas kasihan (self-pity).Dengan
jerit tangis, pemimpin agama memanjatkan doa-doa fatalistis. Tidak tampak
karakter bangsa yang berjiwa besar menerima bencana dengan sabar. Bangsa
Indonesia memperingati tsunami dengan ratapan.
Jauh berbeda dengan bangsa Jepang yang memperingati tsunami
dengan nyanyian, tarian dan kegembiraan. Mereka berusaha menunjukkan dirinya
sebagai bangsa yang hebat. Kecenderungan negatif lainnya adalah donor
fatigue. Bencana yang datang bertubi-tubi membuat masyarakat mengalami donor fatigue (lelah bederma). Donor fatigue merupakan keletihan
psikologis dan spiritual di mana seseorang atau masyarakat mengalami defisit
energi dan stamina bederma. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, jiwa individualistis di mana seseorang mementingkan
diri sendiri dan tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Dalam perspektif
agama, seseorang menjadi individualistis karena lemah iman dan miskin
spiritualitas. Secara sosiologis, individualisme terjadi karena renggangnya
kohesivitas sosial.
Kedua, bystander apathy.
Bencana yang terus menerus membuat seseorang terbiasa dengan bencana. Keadaan
ini membuat seseorang apatis, kehilangan rasa empati dan simpati kepada orang
lain. Tidak ada lagi panggilan jiwa untuk berbagi karena merasa sudah banyak
memberi.
Ketiga, meningkatnya masalah ekonomi. Kondisi ekonomi negara
yang semakin sulit bagi sebagian besar masyarakat berdampak langsung terhadap
meluasnya kesulitan hidup dan tingginya kemiskinan. Dalam kondisi demikian,
masyarakat cenderung membantu ala kadarnya, terpaksa atau tidak memberi sama
sekali. Terkadang masyarakat yang dibantu memiliki kemampuan ekonomi yang
tinggi.
Keempat, birokratisasi lembaga penanggulangan bencana. Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana di
tingkat nasional (BNPB) dan daerah (BNPB) menimbulkan keengganan masyarakat
untuk menyumbang. Kewajiban penanggulangan bencana ada di tangan pemerintah.
Kelima, tidak adanya kesadaran masyarakat yang tertimpa bencana untuk
mengubah keadaan. Inilah salah satu penyebab berkurangnya kepedulian
masyarakat membantu korban banjir di Jakarta.
Ketahanan Bencana
Sebagai negara yang rawan bencana, Indonesia harus membangun
sistem ketahanan bencana. Sistem ini dibangun dengan dua kekuatan. Pertama,
kekuatan kelembagaan. Negara harus memperkuat lembaga penanggulangan bencana.
Peningkatan sumber daya manusia, sarana-prasarana, dan pendanaan. Peristiwa
alam biasa bisa menjadi tragedi kemanusiaan yang memilukan karena rendahnya
kemampuan insani tim SAR, anggota BNPB/BNPD, dan peralatan yang ketinggalan
jaman. Yang tidak kalah pentingnya adalah membangun kepercayaan masyarakat,
terutama akuntabilitas lembaga bencana.
Kekuatan lembaga bencana juga ditentukan kredibilitas
pemerintah. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menimbulkan
boikot dan pembangkangan sosial dalam penanggulangan bencana. Kedua, kekuatan
sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan tiga kekuatan budaya. Pertama,
kekuatan ilmu pengetahuan. Masyarakat harus semakin melek bencana. Memahamkan
masyarakat tentang habitat terdekatnya dan mampu melakukan penyelamatan dini
secara mandiri. Kurikulum pendidikan, terutama muatan lokal, perlu diperkaya
dengan materi tersebut.
Kedua, menghidupkan kembali tradisi gotong royong dan
lembaga-lembaga sosial. Ketiga, membangun karakter kedermawanan dan
mentalitas yang kuat. Sekarang ini sangat mendesak adanya penafsiran agama
tentang bencana yang lebih konstruktif. Masyarakat dininabobokan tidak boleh
dikerdilkan oleh fatalisme, pesimisme, dan mistisisme bencana. Berbagai
bencana bakal kembali terjadi. Dan bila benarbenar terjadi, bangsa yang besar
ini telah siap menghadapinya dengan jiwa besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar