Kenali Dirimu, Kenali Musuhmu
Iqra Anugrah ; Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik, Northern Illinois University,
AS
|
INDOPROGRESS,
06 Febuari 2014
SEJENAK mari kita menengok sejumlah
kabar di negeri orang. Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Inggris,
meninggal dunia April tahun lalu. Kemudian, belum lama ini, di bulan Januari
Ariel Sharon, mantan Perdana Menteri Israel, meninggal dunia setelah koma
selama delapan tahun. Dua-duanya berhaluan konservatif mentok. Dua-duanya
dikenal sebagai contoh tipikal musuh utama gerakan Kiri. Pertanyaannya,
bagaimana kita harus menyikapi kabar kematian mereka?
Tanpa bermaksud menggurui dan menjadi
pendakwa, tidak ada salahnya untuk melihat warisan politik mereka, terutama
dikala mereka berkuasa. Upaya ini bukan bermaksud untuk membuat semacam
‘daftar dosa’ sejumlah kesalahan dan langkah-langkah politik anti-Kiri dari
dua tokoh tersebut. Tentu, sejumlah implikasi fatal dari taktik politik
mereka akan kita kemukakan di sini. Namun, hal tersebut kita lakukan sebagai
sebuah upaya refleksi – karena untuk mengetahui kawan kita dan strategi kita
ke depan, kita juga perlu mengetahui lawan kita dan pergerakan mereka.
Mari kita mulai dari Thatcher. Film
biografis tentang dirinya The Iron Lady
(2011) mungkin bisa memberikan gambaran umum mengenai perkembangan karir
politik seorang Thatcher. Lahir dari keluarga kelas menengah bawah, sedari
kecil Thatcher terinspirasi oleh ayahnya, seorang Liberal klasik yang
berpegang pada prinsip-prinsip kemandirian individual dan pengaturan
keuangan. Dalam konteks inilah, seorang Thatcher tumbuh dan berkembang dan
mematangkan posisi politiknya sebagai seorang Konservatif. Memasuki bangku
kuliah, ia mendapatkan beasiswa untuk belajar di jurusan kimia di Universitas
Oxford. Sisanya adalah cerita klasik mengenai seorang Thatcher: bergabung
dengan Partai Konservatif Inggris, menikahi seorang pebisnis yang juga kader
konservatif, Denis, dan kemudian bergumul dalam dunia politik yang mencapai
puncaknya dengan menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris untuk periode
1979-1990.
Kaum sayap Kanan dari bermacam-macam
haluan – diantaranya Konservatif, Liberal dan Libertarian – menganggap
Thatcher sebagai salah satu pahlawan terkemuka bagi mereka. Thatcher menjadi
semacam representasi terbaik atas politik sayap Kanan modern. Nigel Lawson
(1992), seorang politisi Konservatif, mengidentifikasi sejumlah ide utama
‘Thatcherisme,’ antara lain ‘pasar bebas, disiplin finansial, kontrol ketat
atas belanja publik, pemotongan pajak, nasionalisme, nilai-nilai Victorian,
privatisasi, dan sedikit populisme.’ Tak lupa, semua itu didukung oleh
kesempatan merebut negara dan dikemas dalam pencitraan tegas khas Sang Wanita
Besi. Namun mereka lupa bahwa di tiap-tiap upaya glorifikasi dan
narasi-narasi kepahlawanan, terdapat sisi-sisi kelam yang biasanya terlupakan
– atau mungkin lebih tepatnya dilupakan.
Dari tiap-tiap ‘prestasi’ yang
disebut-sebut itu, ada ‘dosa-dosa’ yang disapu dari pandangan untuk kemudian
ditutupi oleh karpet yang berisi puja-puji. Gaya pemerintahannya bisa
dirangkum dalam frase yang digunakan oleh Tariq Ali: neoliberalisme di dalam
negeri dan perang di luar negeri. Di dalam negeri, berbagai subsidi dicabut,
serikat buruh dan aksi-aksi independen kelas pekerja dihadang-hadang, dan
yang lebih parahnya lagi, resep kebijakan seperti itu juga menjangkiti Partai
Buruh Inggris sebagaimana dapat kita lihat dalam tendensi ‘Jalan ketiga’ ala
Tony Blair dan konco-konconya. Tak heran apabila di masa jabatannya,
kesenjangan ekonomi dan sosial meningkat. Thatcher juga menyiapkan landasan
yang kokoh bagi lepas landasnya ekspansi neoliberalisme di Inggris dan
berbagai penjuru dunia, satu hal yang tidak mengejutkan dari seseorang yang
mengadvokasi ide negara minimal dan berpendapat ‘tidak ada yang namanya
masyarakat.’ Seakan belum cukup, di luar negeri, Thatcher memiliki hobi yang
ajaib: memusuhi berbagai gerakan rakyat – sampai-sampai menjuluki Mandela dan ANC sebagai
‘teroris’ – dan berkawan dengan sejumlah diktator terkemuka dan mungkin juga
terkeji – Pinochet di Chile (yang dinilainya ‘membawa demokrasi di Chile’),
Suharto di Indonesia (yang disebutnya sebagai ‘salah satu sahabat kita’), Zia
ul-Haq di Pakistan, rejim Apartheid di Afrika Selatan, hingga Pol Pot dan
Khmer Merah di Kamboja. Yang terakhir saya tidak mengada-ngada: laporan
jurnalis investigatif John Pilger menguak keterlibatan badan intelijen
Inggris, SAS, dalam mendukung pemberontak Khmer Merah melalui pelatihan
intelijen yang dilakukan di masa administrasi Thatcher. Bahkan, baru-baru ini
laporanIshaan Tharoor, editor senior majalah TIME, juga menyinggung mengenai
‘pakta Fausian’ antara administrasi Thatcher dan Khmer Merah. Jikalau masih
tidak percaya, mungkin Anda bisa lihat sendiri rekaman wawancara Thatcher
mengenai hal tersebut dan silahkan menilai sendiri.
Dan jangan lupa, semua ini dilakukan
atas nama ‘kebebasan.’
Bagaimana dengan Ariel Sharon?
Meskipun warisannya mungkin tidak seheboh Thatcher, kiprahnya juga akan
membuat kita menggelengkan kepala. Sharon lahir dari sebuah keluarga Yahudi
yang memutuskan untuk bermigrasi ke Israel – atau lebih tepatnya Mandat
Britania atas Palestina, pada waktu itu. Di usia 14 tahun, dia sudah
bergabung dengan sejumlah kelompok paramiliter Gadna dan Haganah yang
merupakan cikal bakal militer Israel modern. Tahun 1953, catatan hitam
militernya dimulai. Sebuah unit militer yang dipimpin oleh Sharon membantai
setidaknya 69 warga Arab Palestina di desa Qibya, yang sebagian besar
diantaranya adalah perempuan dan anak-anak. Peristiwa yang dikenal sebagai
Pembantaian Qibya ini adalah ‘dosa asal’ Sharon. ‘Neraca’ korbannya belum
selesai di situ. Dalam jabatannya sebagai menteri pertahanan, di tahun 1982,
ia memerintahkan sebuah invasi ke Lebanon untuk memburu unsur-unsur
Organisasi Pembebasan Palestina, PLO, di negara tersebut. Dalam aksi
jingoismenya, Sharon tanpa ragu memburu PLO hingga ke pemukiman di daerah
Sabra dan kamp pengungsian Shatila yang terletak tidak jauh dari situ.
Hasilnya? Sekitar lebih dari 3000 warga sipil, kebanyakan kaum Syi’ah
Palestina dan Lebanon, meregang nyawa – dan Sharon mendapatkan julukan baru
yaitu ‘Tukang Jagal dari Beirut.’ Tahun 2001, ia kemudian menjadi Perdana
Menteri Israel, jabatan yang dipegangnya sampai dengan 2006. Memang, di tahun
2005, ia memerintahkan penarikan mundur pasukan Israel dari Jalur Gaza dan
pembubaran pemukiman Yahudi di daerah tersebut. Namun, perlu diingat bahwa
Sharon juga sempat memberlakukan tahanan rumah bagi mendiang Yasser Arafat,
mantan pemimpin terkemuka Palestina. Bagi Barat dan konco-konconya, Sharon
mungkin adalah sesosok politisi ‘moderat’ yang telah berkontribusi banyak
bagi negara Israel dalam karir militer dan politiknya dan mampu berkompromi,
meskipun dikenal sebagai pemimpin hawkish yang tegas. Namun, rakyat Palestina
dan orang-orang Arab tidak akan pernah lupa: semasa karirnya sampai dengan
terkena serangan stroke dan kemudian koma di tahun 2006, Sharon
berpartisipasi secara aktif dalam operasi-operasi militer yang memakan banyak
korban jiwa dan penindasan atas rakyat Palestina dalam konteks yang lebih
luas.
Mungkin saya berlebihan. Bagaimanapun,
‘merayakan’ kematian seorang perempuan sepuh yang mulai pikun, atau seorang
kakek yang koma selama delapan tahun, mungkin bukan hal yang pantas dilakukan
dari kacamata kemanusiaan, sekalipun mereka adalah lawan-lawan terbesar kita.
Tetapi, saya tidak bermaksud untuk melakukan hal tersebut. Bagi saya,
kematian Thatcher dan Sharon justru memberikan sejumlah bahan refleksi dan
pelajaran yang berharga, terutama bagi gerakan Rakyat di berbagai belahan
dunia.
Pertama, apabila ada satu hal yang
perlu kita contoh dari Thatcher dan Sharon, maka itu adalah keteguhan,
konsistensi dan perencanaan jangka panjang mereka. Terkadang kita lupa bahwa
musuh bekerja secara jangka panjang. Begitupun Thatcher dan Sharon, yang
memulai proses konsolidasi politik sayap Kanan mereka sedari dulu. Ini baru
di level agensi – bisa kita bayangkan bagaimana hasil agregasinya di tataran
struktural. Tak heran apabila Gramsci jauh-jauh hari mengingatkan bagaimana
kelas yang berkuasa selalu lebih unggul dalam berbagai lini – istilahnya
mulai dari fondasi ‘basis’ (uang, organisasi dan gudang senjata) hingga
pemanfaatan ‘superstruktur’-nya (politik, diplomasi, media dan dukungan ‘intelektual’).
Thatcher dan Sharon, dan tentunya kapitalisme neoliberal dan apartheid baru,
bekerja secara matang dan penuh perencanaan. Gerakan Rakyat harusnya lebih
sadar mengenai hal itu dan ‘mencuri’ ilmu mereka. Toh, keeping-keping
kebenaran terkadang bisa ditemukan di mana saja, termasuk di kubu lawan.
Kedua, warisan Thatcher dan Sharon
adalah kesempatan bagi gerakan Rakyat untuk bermuhasabahbaik dalam ranah
teoretik maupun praksis perjuangan. Strategi ‘banting harga’ ala
partai-partai Kiri-tengah melalui jualan ‘jalan ketiga’nya yang beresonansi
dengan perlawanan nanggung ala ‘Gerakan Sosial Baru’ sesungguhnya mengamini
dan mengafirmasi logika neoliberal ala kaum Kanan ekstrim seperti Thatcher.
Ini juga diperparah dengan dukungan sejumlah elemen kelompok Kiri, atau
mantan eksponen gerakan Kiri, dalam aksi-aksi jingoisme baru yang dicetuskan
oleh kaum Kanan akhir-akhir ini. Di Indonesia, strategi akomodasionis ini
bahkan mengambil bentuk yang lebih vulgar: sejumlah mantan ‘aktivis’
bergabung dengan partai-partai asuhan sejumlah tokoh militer pelanggar HAM
dan kapitalis, dengan alasan membentuk ‘front bersama’ – sebuah justifikasi
yang tidak kalah absurd dan keblinger.
Ketiga, dan yang terakhir,
keberpulangan Thatcher dan Sharon juga menjadi momentum yang tepat bagi
gerakan Kiri untuk segera menyudahi kecenderungan ‘melankolis’nya. Penyakit
‘Melankolia Kiri’ (Left Melancholy) yang dicirikan dengan perasaan kalah
melulu, akomodasionis, tidak percaya diri, dan lain sebagainya, mengutip
Walter Benjamin dan Wendy Brown, haruslah segera disembuhkan dengan sebuah
penegasan: bahwa posisi teoretik dan politik gerakan Kiri masih menawarkan
alternatif yang paling mungkin dan mumpuni atas sejumlah persoalan yang
disebabkan oleh warisan Thatcher dan Sharon.
Lagipula, bukan tanpa alasan banyak
orang Inggris dan Palestina ‘merayakan’ kematian Thatcher dan Sharon. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar