Produktivitas
Riil dan Imbalan Riil Buruh
Mohamad Zaki Hussein ; Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
|
INDOPROGRESS,
29 Januari 2014
TULISAN ini berangkat dari beberapa kritik
atas tulisan saya sebelumnya, ‘Produktivitas Buruh Meningkat, Upah Riil
Stagnan.’[1] Dalam tulisan itu, saya membandingkan produktivitas tenaga-kerja
dan upah riil dengan menggunakan data BPS. Beberapa kritik tersebut
menyatakan bahwa angka produktivitas yang saya gunakan adalah angka
nominalnya, bukan angka riilnya. Dan produktivitas nominal tidak bisa
dibandingkan dengan upah riil, karena produktivitas nominal belum dikoreksi
oleh inflasi, sementara upah riil sudah dikoreksi oleh inflasi. Yang bisa
dibandingkan dengan upah riil adalah produktivitas riil.
Saya berterima kasih terhadap beberapa
kritik ini. Tulisan itu memang dibuat terburu-buru. Perlu dicatat juga bahwa
kelemahan lain dalam tulisan itu adalah perbandingan data produktivitas yang
dihitung tahunan, dengan data upah riil yang dihitung 1 bulan sebanyak 4
bulan dalam 1 tahun. Di sini kita akan mencoba mengkoreksi hal itu. Untuk
meminimalisir kekeliruan seperti dalam tulisan sebelumnya, diperlukan
klarifikasi terhadap konsep-konsep yang akan digunakan. Namun, konsep-konsep
apa yang akan digunakan bergantung pada ada yang sebenarnya mau kita ketahui.
Yang hendak diketahui di sini adalah
perbandingan antara produktivitas riil tenaga-kerja dengan imbalan riil yang
diterima oleh buruh. Karenanya, pertama-tama, kita perlu mengklarifikasi
konsep (1) produktivitas tenaga-kerja, dan (2) imbalan untuk buruh. Adapun
tulisan ini hanya akan membatasi diri pada sektor industri pengolahan
(manufaktur) besar dan sedang di Indonesia 2008-2012.
Produktivitas tenaga-kerja dan imbalan buruh
Secara umum poduktivitas tenaga-kerja
adalah kapasitas tenaga-kerja untuk memproduksi sejumlah hasil produksi
tertentu dalam waktu kerja tertentu. Ukurannya adalah hasil produksi
berbanding waktu kerja. Produktivitas tenaga-kerja dikatakan meningkat, jika
hasil yang diproduksi dalam waktu kerja yang sama juga meningkat. Sebaliknya,
produktivitas tenaga-kerja dikatakan menurun jika hasil yang diproduksi dalam
waktu kerja yang sama menurun.
Masalahnya, ada perbedaan ukuran hasil
produksi di antara mazhab ekonomi yang berbeda. Dalam konteks produktivitas,
ekonomi Marxis mengukur hasil produksi dengan ‘nilai-pakai,’ sedangkan
ekonomi konvensional mengukur hasil produksi dengan ‘nilai-tukar.’
Nilai-pakai adalah nilai sebuah komoditas sebagai pemenuh kebutuhan manusia,
sementara nilai-tukar adalah nilai sebuah komoditas untuk ditukar dengan
komoditas lain secara umum. Satuan nilai-pakai adalah satuan fisik dari
komoditas, seperti 2 buah piring, 5 meter kain, dan sebagainya. Sementara,
satuan nilai-tukar adalah satuan mata uang, seperti Rp100, 50 dollar AS, dan
lain-lain.
Karena ukuran hasil produksinya
berbeda, maka penilaian terhadap suatu situasi produktivitas juga bisa
berbeda. Pasalnya, perubahan nilai-tukar hasil produksi tidak selalu
berbanding lurus dengan perubahan nilai-pakainya. Misalnya, pada tahun 2000,
8 jam kerja bisa memproduksi 10 komoditas X dengan nilai-tukar per 1
komoditas X sebesar Rp 20, sehingga total nilai-tukar X adalah Rp 200. Pada
tahun 2001, 8 jam kerja bisa memproduksi 13 komoditas X, tapi nilai-tukar per
1 komoditas X turun menjadi Rp 14, sehingga total nilai-tukar X adalah Rp
182. Ekonomi Marxis menilai situasi ini sebagai peningkatan produktivitas,
karena jumlah komoditasnya meningkat. Tetapi, ekonomi konvensional menilai
situasi ini sebagai penurunan produktivitas, karena nilai-tukarnya turun.
Jika tujuan aktivitas ekonomi adalah
pemenuhan kebutuhan manusia dan bukan ekspansi nilai-tukar, maka konsep
produktivitas Marxis lebih masuk akal. Dalam contoh di atas, Rp 182 memang
lebih kecil dari Rp 200, tetapi 13 komoditas X bisa memenuhi kebutuhan 13
orang, sementara 10 komoditas X hanya bisa memenuhi kebutuhan 10 orang.
Masalahnya, sebagian besar data ekonomi yang tersedia menggunakan satuan mata
uang. Karena keterbatasan ini, tulisan ini akan menggunakan nilai-tukar
dengan satuan mata uang sebagai ukuran hasil produksi.
BPS menghitung produktivitas
tenaga-kerja dengan cara membagi output dengan jumlah pekerja. Jika waktu
kerja tiap pekerja itu bisa dirata-ratakan, maka penggunaan jumlah pekerja
sebagai penyebut dalam penghitungan itu cukup valid, karena jumlah pekerja
merepresentasikan jumlah waktu kerja. Jika waktu kerja 1 orang pekerja adalah
8 jam, maka waktu kerja 2 orang pekerja adalah 16 jam. Dengan demikian,
menggunakan jumlah pekerja sebagai penyebut adalah sama dengan menggunakan
waktu kerja sebagai penyebut.
Namun, tidak demikian dengan
penggunaan output sebagai pembilang. Dari sudut pandang nilai-tukar, ‘hasil
produksi’ seharusnya tidak sama dengan keseluruhan nilai-tukar output, tetapi
hanya bagian dari nilai-tukar output yang diciptakan oleh kerja. Pasalnya,
dalam output sudah tercakup pula pengeluaran untuk alat-alat produksi,
seperti bahan mentah, penyusutan mesin-mesin, dan sebagainya. Jika output
bertambah dari Rp 100 menjadi Rp 120, tetapi penambahan output tersebut
disebabkan penambahan porsi alat-alat produksi dari Rp50 menjadi Rp70,
sementara nilai-tukaroutput yang diciptakan oleh kerja tetap Rp 50, maka kita
tidak bisa mengatakan ada peningkatan produktivitas tenaga-kerja, meski
output-nya bertambah.
Dalam ekonomi Marxis, nilai-tukar atau
nilai sebuah komoditas bisa dibagi menjadi tiga komponen, yaitu alat-alat
produksi + imbalan buruh + nilai surplus. Porsi alat-alat produksi adalah
nilai ‘kerja lampau’ yang pindah dari alat-alat produksi ke komoditas yang
diproduksi, sementara porsi imbalan buruh dan nilai surplus adalah nilai yang
diciptakan oleh kerja aktual ke dalam komoditas. Porsi alat-alat produksi
dalam komoditas selalu sama dengan nilai yang pindah dari alat-alat produksi.
Karenanya, nilainya bersifat konstan dan modal yang dikeluarkan untuk porsi
ini disebut ‘kapital konstan.’
Tetapi, pembagian antara imbalan buruh
dan nilai surplus dalam nilai yang diciptakan oleh kerja, tidak bersifat
konstan. Kuantitas porsi imbalan buruh dan nilai surplus dalam nilai yang
diciptakan oleh kerja, dipengaruhi oleh perjuangan kelas buruh-kapitalis.
Karenanya, kuantitas porsi itu bisa berubah-ubah tergantung dari perimbangan
kekuatan buruh-kapitalis. Itu kenapa modal yang dikeluarkan untuk imbalan
buruh disebut ‘kapital variabel.’ Adalah lebih tepat untuk menggunakan nilai
yang diciptakan oleh kerja, yang merupakan gabungan dari imbalan buruh +
nilai surplus, sebagai pembilang dalam penghitungan produktivitas. Dengan
demikian, produktivitas tenaga-kerja adalah nilai yang diciptakan oleh kerja
dibagi dengan jumlah pekerja.
Transposisi konsep-konsep
Untuk bisa mengetahui kuantitas
produktivitas dan imbalan buruh, diperlukan transposisi konsep-konsep yang kita
gunakan ke kategori-kategori industri BPS. Mari kita mulai dari yang mudah,
yakni imbalan buruh. Konsep imbalan buruh memang tidak banyak dibahas di
atas, karena konsep ini sudah cukup jelas dengan sendirinya. Di tulisan
sebelumnya, saya menggunakan data upah riil untuk menggambarkan imbalan
buruh. Namun, data upah riil sebenarnya kurang tepat dalam menggambarkan
imbalan buruh, karena yang diterima buruh sebagai imbalan bisa bukan hanya
upah, tetapi juga bonus, tunjangan sosial, dan lain-lain.
Menurut hemat saya, data labor costs
dalam statistik industri BPS secara aproksimatif lebih tepat dalam
menggambarkan imbalan buruh. Pasalnya, labor costs mencakup bukan hanya upah,
tetapi juga bonus, upah lembur, iuran dana pensiun, tunjangan kecelakaan, dan
lain-lain. Begitu pula, datalabor costs dihitung tahunan sehingga lebih bisa
diperbandingkan dengan data produktivitas yang juga bersifat tahunan. Untuk
mendapatkan kuantitas imbalan buruh, kita tinggal membagi data labor costs
dengan jumlah pekerja.
Sekarang, mari kita transposisikan
konsep produktivitas. Seperti yang sudah dinyatakan di atas, konsep
produktivitas yang akan kita gunakan adalah perbandingan antara nilai yang
diciptakan oleh kerja dengan jumlah pekerja. Dan nilai yang diciptakan oleh
kerja bisa didapatkan dengan mengeluarkan porsi alat-alat produksi dari
keseluruhan nilai output. Pertanyaannya, komponen apa dalam data industri BPS
yang merepresentasikan porsi alat-alat produksi?
Nilai output BPS secara aproksimatif
mencerminkan nilai total komoditas yang diproduksi. Jika dataoutput diurai
menjadi komponen-komponen pembentuknya, maka didapatkan lima komponen
pembentuk output, yakni (1) input; (2) penyusutan modal tetap; (3) labor
costs; (4) pajak tidak langsung, dan (5) keuntungan bersih. Data ‘keuntungan
bersih’ atau yang biasa disebut sebagai imbalan untuk kapital (return to
capital) bisa didapatkan dengan cara: nilai tambah (biaya faktor produksi)
dikurangi penyusutan modal tetap dan labor costs.
Porsi nilai alat-alat produksi secara
aproksimatif dicerminkan oleh (1) input dan (2) pengurangan atau penyusutan
modal tetap. Input (seperti bahan baku) ‘habis dipakai’ dalam setahun
produksi, sementara modal tetap (seperti mesin-mesin) tidak habis dipakai
dalam setahun, sehingga yang dihitung hanyalah ‘penyusutan nilainya’ saja.
Jika kedua komponen itu kita keluarkan, maka kita dapatkan (a) labor costs;
(b) pajak tidak langsung, dan (c) keuntungan bersih. Gabungan ketiga komponen
itulah aproksimasi dari nilai yang diciptakan oleh kerja.
Dari perspektif Marxis, keuntungan
bersih merupakan bagian dari nilai surplus, sementara pajak tidak langsung
adalah bagian dari nilai yang diciptakan oleh kerja, yang diambil oleh
Negara. Untuk menghitung nilai yang diciptakan oleh kerja, kita bisa terlebih
dahulu mengurai output menjadi semua komponen pembentuknya, baru kemudian
menambahkan labor costs dengan pajak tidak langsung dan keuntungan bersih.
Atau cara yang lebih singkat adalah dengan mengurangi nilai tambah (harga
pasar) dengan penyusutan modal tetap.
Nilai nominal dan nilai riil komoditas
Seperti yang sudah disebutkan di atas,
tulisan ini berangkat dari kritik atas tulisan saya sebelumnya yang
membandingkan produktivitas nominal dengan upah riil. Apa yang dimaksud
dengan nilai nominal dan nilai riil? Dalam ekonomi konvensional, nilai
nominal sebuah komoditas adalah angka uang komoditas tersebut, sementara
nilai riilnya adalah kemampuan komoditas tersebut untuk ditukar dengan
komoditas lain secara umum. Dengan demikian, nilai riil adalah sama dengan
nilai-tukar. Adapun nilai nominal suatu komoditas bisa berbeda dengan nilai
riilnya. Bahkan nilai nominal suatu komoditas bisa naik, tetapi nilai riilnya
turun.
Sebagai contoh, pada tahun 2000,
komoditas X memiliki nilai nominal Rp1.000.000. Pada tahun 2001, terjadi
inflasi 10%. Karena situasi khusus tertentu, nilai nominal komoditas X hanya
naik 5% menjadi Rp1.050.000. Meski nilai nominal komoditas X naik 5%, tetapi
ia tidak bisa lagi dipertukarkan dengan komoditas lain yang di tahun 2000
harganya Rp1.000.000. Pasalnya, komoditas lain tersebut harganya sudah naik
10% menjadi Rp1.100.000. Di sini, meski nilai nominal komoditas X naik,
tetapi nilai riilnya turun.
Lantas, berapa nilai riil komoditas X
di tahun 2001? Karena nilai riil adalah nilai sebuah komoditas dibandingkan
dengan nilai komoditas secara umum, maka nilai riil sebuah komoditas bisa
dihitung jika kita mengetahui nilai komoditas secara umum.
Dalam contoh di
atas, kita tahu bahwa terjadi inflasi 10% di tahun 2001. Data ini cukup untuk
menetapkan sebuah ‘angka penunjuk’ atau angka indeks yang merepresentasikan
nilai per Rp100 tahun dasar dari komoditas secara umum. Jika nilai per Rp100
tahun dasar dari komoditas secara umum di tahun 2000 adalah 100, maka nilai
per Rp100 tahun dasar dari komoditas secara umum di tahun 2001 naik 10%
menjadi 110. Indeks yang merepresentasikan nilai per Rp100 tahun dasar dari
komoditas secara umum ini disebut dengan indeks harga.
Indeks harga hanya bisa ditetapkan
jika ada tahun tertentu yang menjadi ‘tahun dasarnya.’ Tahun dasar adalah
tahun dimana nilai per Rp100 tahun dasar dari komoditas secara umum
ditetapkan sebagai 100. Dalam contoh di atas, tahun dasarnya adalah tahun
2000. Jika tahun dasarnya kita ubah, maka angka indeks harganya juga berubah.
Katakanlah, harga komoditas secara umum di tahun 2000 naik 5% dari tahun
1999. Kemudian, tahun 1999 ditetapkan sebagai tahun dasarnya. Berarti indeks
harga di tahun 1999 adalah 100, sementara indeks harga di tahun 2000 tidak
lagi 100, tetapi 105, dan indeks harga di tahun 2001 tidak lagi 110, tetapi
(10% x 105) + 105 = 115,5 yang bisa digenapkan menjadi 116.
Jika kita sudah mendapatkan angka
indeks harga, maka kita bisa menghitung nilai riil dari suatu komoditas.
Kembali ke contoh di atas, dengan tahun dasar 2000, inflasi 10% di tahun 2001,
dan indeks harga di tahun 2001 adalah 110, maka untuk mendapatkan nilai riil
komoditas X di tahun 2001, kita tinggal membagi nilai nominal komoditas X di
tahun 2001 dengan indeks harganya dan mengkalikannya dengan 100. Hasilnya,
(Rp1.050.000 ÷ 110) x 100 = Rp954.545. Jadi, meskipun nilai nominal komoditas
X naik 5%, tetapi nilai riil komoditas X turun sekitar 4,5%.
Dalam statistik ekonomi, ada beberapa
macam indeks harga, seperti Indeks Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga
Produsen (IHP) dan Deflator Produksi Domestik Bruto (PDB). Indeks harga mana
yang akan digunakan tergantung dari nilai riil apa yang hendak kita hitung.
Ketika digunakan sebagai penyebut untuk menghitung nilai riil, indeks harga
biasa disebut juga sebagai ‘deflator’ atau ‘pengurang.’ Disebut demikian,
karena fungsinya adalah mengeluarkan fluktuasi harga jangka pendek dari nilai
nominal komoditas, sehingga nilai riilnya dapat diketahui. Adapun rumus umum
nilai riil adalah: Nilai Nominal ÷ Deflator x 100.
Dalam tulisan ini, nilai riil yang
hendak kita ketahui adalah nilai riil dari produktivitas dan imbalan buruh.
Karena penghitungan produktivitas kita menggunakan nilai yang diciptakan oleh
kerja, maka deflator yang digunakan seharusnya adalah indeks harga dari nilai
yang diciptakan oleh kerja. Tetapi, karena indeks yang seperti itu tidak
tersedia, maka saya akan menggunakan deflator PDB Industri Bukan Migas
(selanjutnya disebut ‘PDB industri’), karena itulah indeks harga yang bisa
dihitung dan secara konseptual paling dekat dengan nilai yang diciptakan oleh
kerja. Apabila nilai yang diciptakan oleh kerja = nilai tambah (harga pasar)
– penyusutan modal tetap, PDB industri biasanya bisa diurai menjadi nilai
tambah (harga pasar) + pajak – subsidi.
Kemudian, terkait imbalan buruh.
Imbalan buruh biasanya dihitung untuk melihat daya beli buruh terhadap
barang-barang konsumsi. Jika daya beli buruh terhadap barang-barang konsumsi
memadai, maka kehidupan buruh bisa dikatakan layak. Deflator yang biasanya
digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Namun, di sini saya akan
menggunakan deflator PDB industri untuk menghitunglabor costs riil. Pasalnya,
yang hendak diketahui di sini adalah bagaimana proporsi imbalan buruh dari
nilai yang diciptakannya sendiri.
Kenapa aproksimasi?
Di atas, disebutkan bahwa beberapa
data yang digunakan hanyalah aproksimasi (bukan ‘cerminan persis’) dari
konsep yang digunakan. Misalnya, gabungan komponen labor costs, pajak tidak
langsung dan keuntungan bersih hanyalah aproksimasi dari nilai yang
diciptakan oleh kerja. Kemudian, outputhanyalah aproksimasi dari nilai total
komoditas. Lalu, gabungan input dan penyusutan modal juga hanya aproksimasi
dari nilai alat-alat produksi. Bahkan labor costs pun hanya secara
aproksimatif mencerminkan imbalan buruh. Kenapa aproksimatif?
Pertama-tama, pertimbangan saya
didasarkan atas perdebatan yang ada di sebagian ekonom Marxis mengenai ‘kerja
produktif’ dan ‘kerja tidak produktif.’ Sebagian ekonom Marxis menganggap
hanya kerja produktif yang menciptakan nilai. Dan yang mereka maksud dengan
kerja produktif adalah kerja yang menciptakan nilai-pakai.
Dalam produksi
baju, misalnya, ada penciptaan nilai-pakai baru, yaitu nilai-pakai baju yang
berbeda dari nilai-pakai kain, benang, dan berbagai komponen pembentuknya.
Karenanya, produksi baju menciptakan nilai baru.
Setelah sebuah komoditas selesai
diproduksi, ia harus mencapai konsumen agar bisa dipertukarkan dengan uang.
Sementara untuk mencapai konsumen, ia harus melalui rantai distribusi sampai
pengecer. Ketika sampai di konsumen, nilai sebuah komoditas tidak lagi sama
dengan nilai ketika ia baru selesai diproduksi. Tapi, distributor tidak
menciptakan nilai-pakai baru dalam komoditas yang didistribusikan. Baju X
yang ada di hadapan konsumen tetap sama dengan baju X saat baru keluar dari
pabrik. Karenanya, distributor tidak menciptakan nilai baru. Lantas, kenapa
terjadi peningkatan nilai saat komoditas melalui rantai distribusi?
Sebagian ekonom Marxis menganggap
penambahan nilai itu tidak berasal dari proses distribusi. Nilai tambah
tersebut berasal dari nilai surplus yang diciptakan sektor produksi dan
di-share dengan sektor distribusi. Jadi, distributor mendapatkan bagian dari
nilai surplus yang dihasilkan oleh produksi. Jika logika ini kita pakai, maka
data output BPS sebenarnya belum mencerminkan nilai komoditas sepenuhnya.
Pasalnya, data output BPS hanyalah nilai komoditas pasca-produksi dan belum
mencakup nilai yang di-share dengan distributor. Dan karena data output BPS
belum mencerminkan nilai komoditas sepenuhnya, maka gabungan komponen labor
costs, pajak tidak langsung dan keuntungan bersih, juga belum mencerminkan
total nilai yang diciptakan oleh kerja.
Produksi juga tidak hanya men-share
nilai surplusnya dengan distribusi. Ketika perusahaan X meminjam modal ke
bank, bunga yang ia bayarkan adalah juga bagian dari nilai surplus yang
tercipta di produksi. Artinya, produksi juga men-share nilai surplusnya
dengan sektor keuangan. Situasinya akan semakin rumit jika kita melihat
komponen-komponen pembentuk input. Misalnya, salah satu komponen input bisa
berupa ‘sewa mesin.’ Ketika perusahaan X menyewa mesin dari perusahaan Y,
maka uang sewa itu bisa terdiri dari dua komponen. Pertama, penyusutan nilai
dari mesin yang disewa. Kedua, jika perusahaan Y mengambil untung dari sewa
mesinnya, maka keuntungan perusahaan Y bisa dikatakan sebagai nilai surplus
perusahaan X yang di-share dengan Y. Itu kenapa gabungan input dan penyusutan
modal hanya bisa dikatakan sebagai aproksimasi dari nilai alat-alat produksi.
Sekarang, mari kita beralih ke
persoalan labor costs. Kita lihat bahwa salah satu komponen outputadalah
‘pajak tidak langsung.’ Dan dalam pajak tidak langsung tercakup Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang dibebankan kepada konsumen.
Sebagian dari
konsumen adalah kelas buruh sendiri. Dengan demikian, beban pembayaran
sebagian pajak tidak langsung ada pada labor costs. Berapa jumlahnya, kita
tidak tahu. Kita hanya bisa menyatakan bahwa data labor costs BPS tidak
mencerminkan secara persis imbalan buruh. Ini belum menyebutkan hal-hal lain
yang mungkin ada, seperti bagian dari pajak yang kembali ke buruh melalui
subsidi negara. Dengan demikian, labor costs hanyalah aproksimasi dari
imbalan buruh.
Perbandingan produktivitas riil dan imbalan riil buruh
Setelah memaparkan konsep-konsep,
mentransposisikan konsep-konsep ke kategori-kategori industri BPS, dan
mengklarifikasi beberapa keterbatasan, sekarang saatnya kita hitung
perbandingan antara produktivitas riil dengan labor costs riil. Ada empat
langkah penghitungan yang akan kita lalui:
1. Kita
harus mencari dahulu nilai nominal yang diciptakan oleh kerja. Caranya, nilai
tambah (harga pasar) – penyusutan modal tetap. Adapun labor costs nominal
bisa langsung diambil dari data BPS. Sumber data yang akan kita gunakan adalah
statistik industri dalam Statistik Indonesia 2011 dan 2013.[2]
2. Kemudian,
kita harus mencari deflator PDB industri. Caranya, PDB industri atas dasar
harga berlaku (nominal) ÷ PDB industri atas dasar harga konstan (riil) x 100.
Sumber data yang akan kita gunakan adalah data PDB BPS yang tersedia secara
online.[3] Karena data PDB riil yang kita gunakan didasarkan pada harga
konstan tahun 2000, maka deflator PDB industri yang dihasilkan dari
penghitungan di atas adalah deflator PDB industri dengan tahun dasar 2000.
Sementara, penghitungan kita dimulai dari tahun 2008. Karenanya, kita perlu
mengkonversi deflator PDB industri tersebut agar menjadi deflator PDB
industri dengan tahun dasar 2008. Caranya, angka-angka deflator PDB industri
÷ deflator PDB industri tahun 2008 x 100.
3. Lalu,
kita harus mendeflasi nilai nominal yang diciptakan oleh kerja dan labor
costs nominal untuk mendapatkan nilai riil yang diciptakan oleh kerja dan
labor costs riil. Caranya, nilai riil yang diciptakan oleh kerja = nilai
nominal yang diciptakan oleh kerja ÷ deflator PDB industri x 100, sementara
labor costs riil = labor costs nominal ÷ deflator PDB industri x 100.
4. Setelah
nilai riil yang diciptakan kerja dan labor costs riil didapatkan, kita bisa
mencari produktivitas riil dan imbalan riil buruh. Caranya, produktivitas
riil = nilai riil yang diciptakan oleh kerja ÷ jumlah pekerja, sementara
imbalan riil buruh = labor costs riil ÷ jumlah pekerja.
Berdasarkan data di Tabel 1, selama
2008-2012, kenaikan produktivitas riil tenaga-kerja adalah 37%, sementara
peningkatan imbalan riil buruh adalah 66%. Artinya, kenaikan imbalan buruh
lebih besar dari peningkatan nilai yang diciptakan oleh mereka. Tetapi, ini
bukan berarti jumlah porsi imbalan riil buruh dalam produktivitas riil itu besar.
Jika selisih antara produktivitas riil tenaga-kerja dan imbalan riil buruh
bisa dianggap sebagai aproksimasi dari nilai surplus per pekerja, maka
rata-rata proporsi imbalan buruh dari produktivitas riil adalah 15%,
sementara rata-rata proporsi nilai surplus per pekerja adalah 85%.
Kenapa kita perlu mempelajari marxisme?
Jika dilihat dari sudut pandang
ekonomi konvensional, mungkin tidak ada yang salah dalam data proporsi
imbalan riil buruh dan nilai surplus per pekerja dalam produktivitas riil
tenaga-kerja. Tetapi tidak demikian jika kita melihat dari sudut pandang
ekonomi Marxis. Dalam ekonomi Marxis, nilai sebuah komoditas ditentukan oleh
jumlah kerja yang secara sosial diperlukan untuk memproduksi komoditas
tersebut. Dalam produksi komoditas X, nilai alat-alat produksi yang pindah ke
komoditas X adalah sejumlah kerja yang dicurahkan oleh para buruh yang
membuat alat-alat produksi tersebut, sementara nilai yang diciptakan oleh
kerja ke komoditas X adalah sejumlah kerja yang dicurahkan oleh para buruh yang
memproduksi komoditas X.
Pengusaha tidak menciptakan nilai,
karena mereka tidak terlibat dalam proses kerja. Yang dilakukan pengusaha
sebenarnya hanyalah mengkonversi modal ke alat-alat produksi dan
tenaga-kerja. Buruhlah yang mengoperasikan instrumen kerja dan mengubah bahan
mentah menjadi komoditas. Karenanya, nilai surplus, termasuk keuntungan
bersih pengusaha, adalah nilai yang diciptakan oleh kerja buruh, tetapi tidak
dibayarkan kembali kepada buruh. Buruh hanya dibayar sejumlah imbalan yang
mencerminkan biaya reproduksi tenaga-kerja mereka. ‘Perampasan kerja’ ini
dimungkinkan karena adanya kepemilikan pribadi pengusaha atas kapital,
termasuk alat-alat produksi, yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Mungkin para ekonom konvensional akan membantah
teori di atas dan mengatakan bahwa keuntungan pengusaha itu tercipta melalui
pertukaran. Marx sudah membantah hal ini lebih dari 100 tahun yang lalu. Jika
A memproduksi komoditas dengan ongkos produksi Rp1 juta, tetapi mendapatkan
keuntungan dengan menukarkannya ke B sebesar Rp1,5 juta, maka B pun bisa
menukar komoditas senilai Rp1 juta dengan harga Rp1,5 juta ke C. Selanjutnya,
C pun bisa menukar komoditas senilai Rp1 juta dengan harga Rp1,5 juta ke A.
Akhirnya, tidak ada satupun di antara A, B dan C yang mendapatkan keuntungan.
‘Transfer nilai’ seperti itu bukan tidak mungkin terjadi di kenyataan aktual,
tetapi sifatnya hanya ‘aksidental.’ Transfer nilai mustahil menjadi sumber
keuntungan pengusaha secara umum.
Para ekonom konvensional mungkin juga
akan mengajukan argumen lain. Keuntungan tidak tercipta melalui pertukaran,
tetapi merupakan ‘imbalan sah’ pengusaha atas resiko kerugian bisnis yang
mungkin terjadi. Argumen yang secara vulgar melihat dari sudut pandang
pengusaha ini, lupa bahwa jika sebuah perusahaan bangkrut, bukan cuma
pengusaha yang menanggung resiko, tetapi juga para buruhnya—dan resiko yang
ditanggung buruh cenderung lebih besar. Pasalnya, kaum buruh biasanya
menggantungkan hidupnya pada penjualan tenaga-kerjanya ke perusahaan, sementara
pengusaha biasanya masih memiliki aset lain, seperti aset pribadi yang
dipisahkan dari aset perusahaan.
Menurut hemat saya, teori ekonomi
Marxis lebih masuk akal dari teori-teori ekonomi konvensional dalam
menjelaskan sumber nilai dan keuntungan. Teori ekonomi Marxis juga bisa
menjelaskan akar masalah dari berbagai persoalan yang kita hadapi, seperti
upah murah dan kemiskinan. Inilah mengapa penting bagi kita untuk mempelajari
Marxisme. Paparan di atas sebenarnya masih bersifat ‘eklektik,’ karena ada
berbagai keterbatasan yang sebagian besar sudah disebutkan di atas.
Keterbatasan lainnya adalah kesulitan untuk menghitung nilai yang di dalam
Marxisme, bersumber dari waktu-kerja, sementara data yang tersedia di hadapan
kita adalah data harga. Di atas, saya hanya mampu membedakan apa yang dalam
ekonomi konvensional disebut ‘nilai nominal’ dengan ‘nilai riil,’ tetapi
tidak sampai kepada nilai seperti yang dimaksud dalam teori ekonomi Marxis.
Keterbatasan lain dari tulisan ini, penghitungan di atas bersifat agregat dan
belum mempertimbangkan keragaman antar-sektor industri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar