Kegalauan
Feminisme di Hadapan Neoliberalisme
Amin Mudzakkir ; Peneliti
PSDR-LIPI, Jakarta
|
INDOPROGRESS,
10 Febuari 2014
AKHIR- akhir ini, paling tidak, ada
dua peristiwa yang bagi saya masih seperti teka-teki. Peristiwapertama
terkait dengan kontroversi acara Miss World di Bali, bulan September kemarin;
lalu peristiwa kedua, apalagi kalau bukan kasus pelecehan seksual yang
melibatkan penyair Sitok Srengenge. Dalam kedua peristiwa tersebut, terlihat
adanya kegalauan dan bahkan perpecahan di kalangan aktivis perempuan dan
pemerhati isu-isu gender. Bagaimana feminisme sesungguhnya menanggapi isu-isu
tersebut?
Mungkin bukan kebetulan jika Nancy
Fraser, seorang feminis terkemuka, menulis sebuah artikel—yang kemudian
menimbulkan debat panjang—berjudul ‘How feminism became capitalism’s
handmaiden – and how to reclaim it’ di The Guardian (14 Oktober 2013).[1]
Dalam artikel ini dengan tajam Fraser memperlihatkan dilema feminisme gelombang
kedua di tengah gelombang kapitalisme kontemporer dan bagaimana cara
mengatasinya. Artikel ini merupakan versi super singkat dan populer dari
karya baru Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Manged Capitalism and
Neoliberal Crises, yang memuat butir-butir argumen yang sama.[2] Pandangan
Fraser ini hampir senada dengan pendapat sosiolog Manuel Castells dalam The
Power of Identity, khususnya bab The End of Patriarchalism, yang menunjukkan
problematika yang muncul di sekitar isu perempuan, anak, dan keluarga di
dunia pasca-patriarkhi.[3] Kedua penulis ini mengakui keberhasilan feminisme
dalam menghancurkan belenggu yang membatasi ruang gerak perempuan di dunia
modern yang patriarkhis, tetapi belakangan daya tersebut harus diakui menemui
keterbatasannya. Masalah terbesarnya datang dari bentuk kapitalisme yang
berubah.
Sementara kapitalisme-negara berguguran, gelombang baru kapitalisme
yang nanti kita akan sebut sebagai neoliberalisme justru semakin dominan. Di
hadapan mode baru kapitalisme ini, feminisme seolah hanya menjadi pelayan
(hanmaiden) belaka.
Kita semua mengerti bahwa feminisme
adalah gagasan dan gerakan yang merujuk pada individu dan kelompok yang
beragam, merentang dari kiri hingga kanan. Kritik Fraser dan Castells
tampaknya diarahkan terutama kepada kaum feminis liberal (lalu neoliberal),
yang mengusahakan terciptanya pasar bebas. Tetapi saya melihatnya sebagai
oto-kritik yang mempunyai relevansi yang sangat luas, termasuk bagi kalangan
feminis Marxis. Berangkat dari gagasan kedua penulis tersebut, saya mencoba
melihat problematika gender dalam kerangka pembacaan ekonomi politik.
Khususnya di Indonesia, dalam hal ini saya menyaksikan semacam kegagapan
feminisme dalam mencerna transisi politik dari Orde Baru ke orde setelahnya,
yang tak lain merupakan refleksi dari perubahan mode kapitalisme. Sementara
isu-isu seputar politik identitas berbasis agama dicurigai secara seksama,
seperti dampak ‘perda syariah’ terhadap tubuh perempuan, problematika gender
yang berasal dari karut-marut ekonomi politik sering lolos dari
perhatian. Kondisi ini tentu tidak
terjadi begitu saja, tetapi disituasikan oleh apa yang nanti kita bahas
sebagai rezim neoliberalisme.
Dari kapitalisme-negara ke neoliberalisme
Terlebih dulu kita akan mengikuti
penjelasan Nancy Fraser mengenai dilema feminisme gelombang kedua yang lahir
pasca-Perang. Dipengaruhi oleh gagasan new-left yang sedang mekar pada tahun
1960-an, kaum feminis gelombang kedua memposisikan kapitalisme-negara sebagai
sasaran tembaknya. Fraser memaksudkan kapitalisme-negara sebagai ‘the
hegemonic social formation in the postwar era, a social formation in which
states played an active role in steering their national economies.’[4] Dengan
menggunakan pendekatan Keynesian, negara pada periode ini mengelola
kapitalisme sedemikian rupa agar terhindar dari krisis. Para teknokrat telah
belajar dari pengalaman depresi 1930 dan perencanaan ekonomi selama masa
Perang. Beberapa negara bahkan mempraktikkan ‘dirigisme’ dalam bentuk
investasi infrastruktur, kebijakan industrial, redistribusi perpajakan,
provisi sosial, regulasi bisnis, nasionalisasi beberapa industri strategis,
hingga dekomodifikasi barang publik.
Meski demikian, di mata kaum feminis,
negara Keynesian ini mengabaikan aspek keadilan gender. Lebih lanjut Fraser
menguraikan empat elemen pokok kapitalisme-negara yang menjadi sasaran kritik
feminisme, yaitu ekonomisme, androsentrisme, etatisme, dan Westphalianisme.
Perlu diberi penekanan bahwa khususnya di negara-negara pasca-kolonial,
keempat elemen tersebut ini sering berhimpun bersama di bawah laras senjata
rezim otoriter.[5] Tidak jarang penindasan terhadap kekuatan-kekuatan yang
mengancam kapitalisme-negara diselesaikan dengan cara brutal.
Dalam situasi
yang lebih moderat, negara menggunakan aparatus ideologisnya untuk
menghegemoni kesadaran rakyat agar tunduk di bawah kendalinya. Menghadapi
situasi represif ini, para feminis dan kalangan aktivis penentang rezim
lainnya berdiri di garis terdepan menyuarakan kebebasan. Dengan mempolitisasi
konsep ‘personal’ (personal is political), para feminis mengekspansi konsep
emansipasi hingga ke ruang-ruang keluarga. Bagi kaum feminis, penindasan atas
perempuan tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga di ruang privat.
Masalahnya, sejak tahun 1980-an,
kapitalisme-negara dan apalagi yang bercorak dirigismeberguguran. Model
negara kesejahteraan (welfare state) tidak mampu lagi dipertahankan karena
biayanya sangat mahal. Sementara isu keterbatasan energi dan kerusakan lingkungan
semakin mengemuka, piramida terbalik demografi di negara-negara Barat, ageing
society, membuat negara kelimpungan. Di tengah situasi ini, pemerintah
dipaksa membuka sektor perekonomian kepada pasar seluas-luasnya. Privatisasi
dan deregulasi digulirkan di mana-mana. Tentu saja proses ini dipayungi oleh
gagasan demokrasi dan hak asasi manusia yang telah menjadi narasi agung dalam
percaturan politik global.
Dalam konteks Indonesia, kita bisa
menyaksikan orientasi rezim Orde Baru sejak akhir 1980-an berubah cukup
drastis. Dilatarbelakangi oleh rekonfigurasi kekuasaan di sekitar lingkaran
inti Jenderal Soeharto, proses privatisasi dan deregulasi berjalan mulus
seiring dengan menguatnya peranan komunitas epistemis (neo)liberal, pada satu
sisi, dan kelompok Islam politik, pada sisi yang lain. Meskipun kedua pihak
yang disebut terakhir ini kelihatannya sering berseberangan, cukup pasti
sejak itu era neoliberalisme di Indonesia dimulai. Di era pasca-Soeharto,
proses neoliberalisasi semakin intensif mengikuti perkembangan desentralisasi
pemerintahan di bawah kebijakan otonomi daerah. Apa yang dibayangkan sebagai
‘negara’ sekarang telah mengalami transformasi.
Lalu, binatang apakah neoliberalisme
itu? David Harvey menulis bahwa ‘… Neoliberalism is in the first instance a
theory of political economic practices that proposes that human well-being
can best be advanced by liberating individual entrepreneurial freedoms and
skills within an institutional framework characterized by strong private
property rights, free markets, and free trade.’[6] Di bawah panji
neoliberalisme, proyek kesejahteraan diajukan sebagai bentuk rekonsiliasi
antara komitmen pada pasar bebas dan politik inklusi. Berpijak pada konsepsi
liberal tentang otonomi individual, negara neoliberal mengembangkan wawasan
bahwa semua orang, tanpa terkecuali, mempunyai kemampuan dalam mengembangkan
diri.
Kewirausahaan warga dipupuk sebagai pengganti negara yang telah
kehilangan peranannya dalam perekonomian. Pada tataran politik, tidak sedikit
rezim neoliberal mengambil corak populis (atau neopopulis).[7]
Di hadapan rezim neoliberal, feminisme
menjadi galau karena kritiknya atas empat elemen kapitalisme-negara,
sebagaimana disebut di atas, ternyata diambil alih oleh neoliberalisme. Nancy
Fraser mencatat paling tidak empat hal mengenai hal ini.
Pertama, kritik
feminisme atas ekonomisme kapitalisme-negara, di mana ‘pembangunan’
dimengerti hanya dalam kerangka pertumbuhan ekonomi, justru digunakan oleh
neoliberalisme yang berusaha mengalihkan perjuangan sosial-ekonomi menjadi
perjuangan identitas. Kedua, kritik feminisme atas androsentrisme
kapitalisme-negara, yang ditanggapi dengan pembukaan kesempatan kerja
besar-besaran bagi buruh perempuan upahan, justru dimanfaatkan oleh
neoliberalisme sebagai legitimasi bagi akumulasi modal mereka. Ketiga, kritik
feminisme atas etatisme atau paternalism negara-kesejahteraan justru dipakai
balik oleh kritik neoliberalisme atas ‘negara pembantu’ (nanny state) yang
menguatkan argumen mereka tentang pentingnya kewirausahaan dan proyek-proyek
kredit keuangan mikro. Terakhir, keempat, kritik feminisme atas
Westphalianisme pada kenyataannya satu nafas dengan proyek kosmopolitanisme
neoliberal yang sedang berusaha mendelegitimasi kepentingan nasional yang
terkait dengan negara-bangsa tertentu.
Dari redistribusi ke rekognisi
Pada tahun 1980-an, hampir bersamaan
dengan keruntuhan corak kapitalisme-negara, terjadi ‘belokan budaya’
(cultural turn) yang cukup tajam dalam sejarah pemikiran sosial dan politik.
Dipengaruhi, terutama, oleh pasca-modernisme yang telah berkembang kurang
lebih satu dekade sebelumnya, banyak pemikir mengalihkan perhatiannya dari
isu ‘redistribusi’ ke ‘rekognisi.’ Sementara gagasan tentang keadilan dinilai
telah terakomodasi ke dalam proyek pembangunan ekonomi yang berdimensi
universal, narasi-narasi kecil justru dirayakan sebagai bentuk pembebasan
dari universalitas tersebut.
Pengaruh ‘belokan budaya’ yang
disuarakan oleh pasca-modernisme terhadap feminisme sangat kuat. Sejak itu
isu keadilan gender diletakkan tidak lagi dalam pengertian ‘redistribusi,’
tetapi terutama pada pengertian ‘rekognisi.’ Kata kunci pada periode ini
adalah perbedaan (difference). Bahkan terkadang melebihi kesetaraan,
perbedaan ditekankan sebagai bahasa moral yang harus dihormati. Gagasan tentang
perbedaan menghantam tidak hanya kemapanan patriarkhis yang bersemayam dalam
model kapitalisme-negara, tetapi juga feminisme itu sendiri yang bias
Barat-kulit putih-sekuler.
Akan tetapi, Seyla Benhabib
menunjukkan pernikahan yang tak bahagia antara feminisme dan
pasca-modernisme. Berangkat dari kerangka Teori Kritis, Benhabib mengemukakan
bahwa suatu versi tertentu postmodernisme tidak hanya tidak cocok, tetapi
juga akan menggerogoti kemungkinan feminisme sebagai artikulasi teoritis
perjuangan perempuan. Penggerogotan terjadi karena versi kuat
pasca-modernisme bertolak dari tiga tesis berikut: ‘kematian manusia,’
‘kematian sejarah,’ dan ‘kematian metafisika.’ Memang pasca-modernisme
berhasil mencungkil esensialisme dari teori-teori feminisme, sehingga menjadi
lebih peka terhadap dimensi-dimensi perbedaan perempuan, tetapi pada saat
yang sama ia juga membawa feminisme ‘mundur dari utopia.’ Menurut Benhabib,
hilangnya utopia dalam teori feminis adalah hilangnya harapan bagi
emansipasi.[8]
Lebih lanjut, perayaan identitas yang
berusaha mengarusutamakan politik rekognisi bisa saja mengambil jalan agama,
etnisitas, dan juga identitas gender. Kelompok-kelompok agama, khususnya
Islam, sejak dekade-dekade terakhir abad ke-20 telah giat menggemakan kembali
kebaharuan Islam. Ekspresinya bermacam-macam; ada yang mengambil jalan
sekuler, tetapi tidak sedikit yang kembali kepada gambaran kejayaan Islam di
masa lalu. Dua kubu ini, yang sering disederhanakan antara ‘Islam liberal’
dan ‘Islam fundamentalis’ sama-sama ingin mendapat pengakuan di tengah dunia
kontemporer. Bentuk pengakuannya bisa diperdebatkan lebih lanjut, tetapi
mereka sama-sama ingin mendapat tempat—setelah sekian lama terabaikan dalam
diskursus kemoderenan—dalam arus perubahan. Sementara itu, isu-isu seputar
etnisitas, kita tahu, semakin marak akhir-akhir ini. Di berbagai penjuru
dunia, revitalisasi masyarakat berbasis ‘adat’ gencar dilakukan. Melebihi
bentuk-bentuk perjuangan sebelumnya, aspirasi masyarakat adat pada masa
sekarang sangat bernuansa politis. Akan tetapi, sama seperti
kelompok-kelompok agama, dasar perjuangan berbasis etnisitas ini pada awalnya
adalah politik rekognisi atau pengakuan. Mereka sama-sama hendak menolak
penyeragaman politik kebudayaan—seringkali bahkan dengan cara-cara
represif—yang sebelumnya dijalankan oleh rezim negara nasional.
Bagaimana dengan kaum feminis? Menurut
saya, beberapa kalangan dari mereka cukup jelas merupakan bagian dari gerakan
politik rekognisi. Penekanannya adalah pada pengakuan terhadap identitas
mereka sebagai perempuan, bukan pada persoalan redistribusi kekayaan atau
kesejahteraan yang diandaikan telah diintegrasikan dalam berbagai program
pembangunan (ingat program Women in Development). Belakangan gerakan politik
rekognisi ini mendapatkan nama yang lebih populer, yaitu ‘multikulturalisme.’
Dengan cepat proyek baru ini menyebar dan mendapat tanggapan positif sebagai
bentuk revisi terhadap politik kebudayaan di era kapitalisme-negara yang
bercorak asimiliasionis. Di negara-negara yang baru lepas dari rezim otoriter,
seperti Indonesia, multikulturalisme diterima ramai-ramai, hampir tanpa
perdebatan berarti, sebagai cara pandang baru dalam memahami isu-isu
perbedaan di tengah masyarakat.
Di Indonesia, pada tataran akademis,
sebagian besar teks feminisme yang terbit sejak tahun 1980-an hingga sekarang
lahir dari kerangka politik rekognisi. Di antaranya yang sangat berpengaruh
adalah karya Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara.[9] Dengan lugas Suryakusuma
menjelaskan bagaimana negara Orde Baru mengkonstruksikan ideologi gender di
tengah gerak pembangunan. Berdasarkan konstruksi tersebut, aparat negara
mengarahkan perempuan Indonesia agar menjadi istri tetapi juga sekaligus ibu
yang baik (‘peran ganda wanita’). Dari penjelasan tersebut, sasaran tembak
Suryakusuma cukup jelas, yaitu otoritarianisme dalam bentuknya yang sangat
halus. Alih-alih menghancurkan, seperti yang dilakukannya terhadap Gerwani,
pemerintah Orde Baru dalam perkembangannya lebih banyak menggunakan metode
penjinakan dalam menghadapi gerakan perempuan.
Satu teks lagi yang menarik diulas di
sini adalah karya Ani W. Soetjipto dan Shelly Adelia, Suara Dari Desa: Menuju
Revitalisasi PKK.[10] Dengan menekankan keagenan perempuan di tingkat desa,
kedua penulis ini mengamati peranan perempuan di empat kabupaten dalam
program PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Meskipun dibentuk pada masa
Orde Baru, sehingga sering dikritik karena melanggengkan patriarkhisme, PKK
yang dijalankan pada masa sekarang (pasca-Orde Baru), sebagaimana diamati
oleh kedua penulis, justru digunakan secara baik oleh perempuan dalam
memberdayakan kehidupan mereka. Selain itu, berangkat dari gagasan desa
sebagai ‘self government community’ yang harus dipertahankan dari kooptasi
negara, kedua penulis mendukung revitalisasi PKK agar tidak dibajak oleh
elit-elit partai politik di era demokrasi elektoral ini.
Kedua buku di atas ditulis berdasarkan
suatu cara pandang feminisme tertentu yang membayangkan negara yang
ekonomistis, androsentris, etatis, dan Westhpalianis. Masalahnya, sosok
negara tersebut telah tergantikan oleh sosok negara neoliberal yang lebih
inklusif. Setelah diperkenalkannya pembangunan berbasis perempuan yang
dikawal oleh dana-dana dan organisasi-organisasi internasional melalui
wakil-wakil mereka di Indonesia, negara terpusat pada kenyataannya telah
kehilangan sebagian besar kontrolnya. Ini telah berlangsung sejak periode
akhir pemerintahan Jenderal Soeharto hingga sekarang. Kekurangpekaan terhadap
pergeseran moda kapitalisme ini, membuat Suryakusuma dengan gampang
menyatakan bahwa sekarang konsepsi ibuisme negara tetap relevan, hanya
berganti mejadi ‘Islamist state ibuism.’[11] Hal sama terlihat dalam karya
Soetjipto dan Adelina. Menekankan desa dan perempuan sebagai sesuatu yang
sifatnya lokal, lalu menerima begitu saja perubahan dari pola ‘pembinaan’ ke
‘pemberdayaan,’ memperlihatkan kekurangkritisan kedua penulis tersebut dalam
melihat persoalan gender dalam bingkai besar yang lebih struktural.
Politik rekognisi sering menjebak dan
menjauhkan perdebatan dari akar permasalahnnya. Ini persis terlihat dalam
kontroversi di seputar Miss World yang diselenggarakan di Bali, September
2013 kemarin. Gadis Arivia, pemimpin Jurnal Perempuan, mendukung sepenuhnya
acara tersebut dengan alasan kebebasan, tentu dalam pengertian kebebasan
liberal. Meskipun menyadari bahwa kontes kecantikan adalah isu yang
mengundang perdebatan di kalangan feminis sendiri, Arivia tetap berkesimpulan
bahwa acara Miss World layak diaprsesiasi sebagai bagian dari keberhasilan
perjuangan feminisme. Baginya, siapa yang menyelenggarakan acara itu dan
untuk kepentingan ekonomi-politik apa mungkin tidak penting lagi, apalagi
mengingat pada saat yang sama terdapat kelompok-kelompok Islam yang mengancam
akan membubarkan cara tersebut—dan tidak terbukti.
Pada akhirnya apa yang diributkan FUI
dan Hisbut Tahrir tidak lah terlalu penting-penting amat. Percayalah Miss World tidak berbahaya dan
‘senjata’ pantat, paha serta payudara tidak akan mematikan umat manusia. Payudara justeru menghidupkan manusia, air
susu ibu tidak jatuh dari langit, dia datang dari sumber yang hanya dimiliki
perempuan. Mengapa tidak merayakan
tubuh perempuan? Tubuh perempuan
sungguh sempurna.[12]
Bagaimana dengan nasib anak dan keluarga?
Dalam buku Soetjipto dan Adelina, Ruth
Indiah Rahayu mempertanyakan mengapa kedua penulis melulu mengarahkan
orientasi perempuan hanya pada soal politik, tetapi melalaikan kenyataan
bahwa mereka mempunyai anak dan keluarga.[13] Bagaimana feminisme menanggapi
kedua masalah yang krusial ini? Di sini saya akan membantu mencari jawab
pertanyaan Rahayu itu dengan melihat tawaran Manuel Castells mengenai
runtuhnya patriarkhisme. Meskipun konteksnya adalah negara-negara maju
(OECD), riset yang dilakukan oleh Castells menarik karena selain
kecenderungan empirisnya sudah bisa disaksikan dengan mudah di kota-kota
besar di Indonesia, juga memberikan tantangan berarti bagi teori-teori
feminisme.
Dalam The Power of Identity, Manuel
Castells menjelaskan proses berakhirnya zaman patriarkhi. Proses ini
dikondisikan oleh restrukturasi kapital yang secara sosial dan kultural
berdampak pada munculnya resistensi terhadap lembaga dan nilai patriarkhi.
Gerakan anti-patriarkhi semakin berkembang sejak akhir tahun 1960-an di
berbagai negara. Di Prancis, gerakan ini menjadi sangat fenomenal ketika para
mahasiwa secara radikal menentang represi seksualitas oleh rezim moral yang
berkuasa.
Secara umum, gerakan ini menyerang keberadaan patriarkhisme yang
membentuk banyak aspek dalam struktur masyarakat kontemporer. Patriarkhisme
sendiri dicirikan oleh penegakan otoritas laki-laki terhadap perempuan dan
anak-anaknya dalam keluarga. Dalam kenyataannya, patriarkhi tidak hanya
membentuk keluarga, tetapi juga politik dan kebudayaan masyarakat secara
lebih luas.
Pada ‘zaman informasional’ sekarang
ini, kelurga patriarkhal mendapat tantangan serius berkait dengan
transformasi pekerjaan dan kesadaran perempuan. Melengkapi apa yang sudah
dibahas oleh Fraser di atas, Castells menjelaskan lebih lanjut bahwa proses
ini didorong oleh beberapa faktor berikut: (1) transformasi ekonomi dan pasar
tenaga kerja yang berkaitan dengan pembukaan kesempatan pendidikan kepada
perempuan. Dengan ini semakin banyak perempuan bekerja upahan di luar rumah,
tidak lagi tergantung secara ekonomi dan sosial kepada suami dan keluarganya;
(2) perkembangan teknologi di bidang biologi, parmakologi, dan obat-obatan
yang meningkatkan kontrol terhadap kelahiran dan fungsi-fungsi reproduksi
pada umumnya. Ini memicu revolusi seksual yang luar biasa. Kehamilan yang
tidak dikehendaki bisa dicegah dengan penggunaan alat kontrasepsi yang bisa
diperoleh secara mudah dan murah; (3) perkembangan gerakan feminisme yang
semakin meluas sejak penghujung tahun 1960-an. Gerakan ini mendorong kaum
perempuan—juga nantinya kaum homoseksual—menuntut haknya; dan (4) perluasan
secara cepat ide-ide dan budaya yang terglobalisasi dalam dunia yang semakin
saling terkoneksi, sehingga suara-suara tentang hak perempuan bisa menyebar
ke seluruh dunia.
Di antara gerakan-gerakan tersebut,
gay dan lesbianisme adalah gerakan yang paling menyerang patriarkhisme persis
di jantung pertahanannya, yaitu heteroseksualisme. Bagi laki-laki gay,
pertanyaan-pertanyaan tentang keluarga tradisional, juga hubungan rumit
antara laki-laki dan perempuan, membuat mereka mencari bentuk-bentuk hubungan
interpersonal lainnya, termasuk membentuk keluarga gay. Sementara bagi
perempuan lesbian, pilihan mereka untuk membangun relasi seksual dengan
sesama perempuan seolah menjadi tak terelakkan dari perjuangan mereka menolak
dominasi laki-laki.
Gugatan terhadap patriarkhisme
berdampak luas, termasuk pada soal kejiwaan dan kepribadian. Berbeda dengan
mereka yang dibesarkan dalam keluarga patriarkhis, generasi pasca-patriarkhal
lebih berkarakter personal, dalam arti mereka hanya bergantung pada
langkah-langkah hidup yang mereka ambil sendiri. Mereka mungkin lebih
fleksibel menanggapi pluralitas identitas di sekitarnya, tetapi juga
menghadapi kecenderungan untuk terjatuh pada kegelisahan karena ketiadaan
penopang psikologis dalam kondisi krisis.
Dalam hal ini, anak-anak adalah pihak
yang paling terkorbankan dari krisis yang menimpa keluarga patriarkhi.
Kondisi akan lebih buruk jika praktik negara kesejahteraan (welfare state)
juga mengalami keruntuhan, sehingga tidak mampu menjamin pengurusan anak
(fasilitas child-care di tempat kerja, misalanya) yang ditinggalkan oleh
orang tua yang bekerja. Menghadapi sisi gelap pasca-patriarkhisme ini,
diperlukan tanggung jawab publik yang lebih berarti untuk merekonstruksi
keluarga, termasuk fungsi-gungsinya, di era baru ini agar masa depan
anak-anak khususnya tetap terjamin dalam susana psikososial yang sehat.
Castells berpendapat bahwa sudah tentu
aspirasi gerakan anti-patriakhisme akan berhadapan dengan gerakan resistensi
lainnya, yaitu kaum fundamentalis agama. Mereka hendak merestorasi kembali
patriarkhisme di bawah panji hukum-hukum ilahi. Ini terjadi di kalangan
fundamentalis Islam, Kristen, Hindu, dan agama-agama lainnya. Jika tidak
dijembatani, ini akan menimbulkan konflik serius. Oleh karena itu, Castells
menyarankan dialog yang lebih intensif antara kaum agamawan dan kaum feminis
untuk merumuskan keluraga yang lebih egaliter. Selanjutnya Castells juga
mengemukakan bahwa kemampuan atau ketidakmampuan feminis melembagakan
nilai-nilai mereka akan sangat tergantung pada hubungan mereka dengan negara.
Bagaimanapun peranan negara harus dipertahankan di era pasca-patriarkhi ini.
Alasan utamanya, tak lain adalah untuk menyelamatkan korban, seperti
anak-anak, yang tidak bisa lagi tertangani oleh institusi keluarga yang
sedang berada dalam krisis.
Sebagai penutup, kembali ke Nancy
Fraser, lalu apa yang ditawarkannya untuk megatasi problematika gender di era
neoliberal ini? Menurutnya, gerakan feminis seharusnya ‘kembali kepada
gagasan terbaik dari feminisme sosialis dan mengombinasikannya dengan versi
non-identitarian dari politik pengakuan.’ Anda setuju? ●
Catatan
Kaki :
[1] Nancy Fraser, “How
feminism became capitalism’s handmaiden – and how to reclaim it” http://www.theguardian.com/commentisfree/2013/oct/14/feminism-capitalist-handmaiden-neoliberal, diakses 19 Desember 2013.
[2] Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Manged
Capitalism and Neoliberal Crises(London/New York: Verso, 2013)
[5] Karya Saskia
Wieringa, Penghancuran
Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI (Yogyakarta: Galang Press, 2010), adalah
contok terbaik kritik feminisme terhadap kapitalisme-negara di Indonesia.
Dibangun di atas tumpukan ribuan hingga jutaan korban manusia, rezim Orde
Baru pada dasarnya merupakan razim kapitalisme-negara. Dengan tepat Wierenga
memperlihatkan bagaimana operasi politik seksualitas yang sangat seksis
digunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menghancurkan Gerwani dan kalangan
kiri-nasionalis lainnya guna memuluskan ekspansi modal. Sejak itu kapitalisme
terkonsolidasi rapi di tengah masyarakat patriarkhis yang dijaga ketat oleh
negara.
[7] Kanishka Jayasuriya, Statecraft, Welfare, and the Politics of
Inclusion (New York: Palgrave
Macmillan, 2006), hlm. 1-7.
[8] Seyla Benhabib,
‘Feminism and Postmodernism’ dalam Seyla Benhabib et. al (eds.), Feminist Contentions: A Philosophical
Exchange (New
York/London: Routledge, 1995), hlm. 29-30.
[10] Ani W. Soetjipto dan
Shelly Adelia, Suara
Dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK (Serpong: Marjin Kiri, 2013).
[11] Julisa Suryakusuma,
‘Is Stae Ibuism Still Relevant?,’ http://www.insideindonesia.org/feature-editions/is-state-ibuism-still-relevant-6, diakses 19 Desember 2013.
[12] Gadis Arivia,
‘Senjata Miss World yang Ditakuti,’http://www.jurnalperempuan.org/2/post/2013/09/senjata-miss-world-yang-ditakuti.html , diakses 19 Desember 2013.
[13] Ruth Indiah Rahayu,
‘Membaca Kepentingan Perempuan dari Penelitian Feminis,’ pengantar dalam Ani
W. Soetjipto dan Shelly Adelia, Suara Dari Desa: Menuju Revitalisasi PKK (Serpong: Marjin Kiri, 2013.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar