Selasa, 30 April 2013

Kapolri Masa Depan


Kapolri Masa Depan
Muradi ;  Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad),
Bandung dan Penulis Buku “Polri, Politik dan Korupsi”
   
KORAN SINDO, 30 April 2013

  
Rencana percepatan pergantian Kapolri sebagai antisipasi pengamanan Pemilu 2014 mendapat respons beragam dari publik dan elite politik. Selain karena masih relatif panjangnya masa pensiun Timur Pradopo, juga yang lebih mendesak adalah pergantian Wakapolri yang akan memasuki masa pensiun pada pertengahan 2013 ini. 

Di samping itu, sejumlah problematika yang dihadapi Polri juga masih menjadi bagian yang sulit untuk diurai dan diselesaikan. Apalagi era kepimpinan Timur Pradopo sejak Oktober 2010 dianggap oleh sejumlah kalangan tidak cukup mampu menuntaskan masalah tersebut. Adapun tiga masalah tersebut adalah kasus korupsi di internal Polri, pola hubungan Polri dengan instansi lain seperti TNI dan KPK, serta kinerja Polri yang tak kunjung membaik setelah hampir 15 tahun berpisah dari TNI.

Agaknya apa yang menjadi pemikiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera mengganti Kapolri saat ini bisa jadi tepat karena bila tiga permasalahan tersebut tidak tertuntaskan, kinerja Polri akan tersandera dan terus terinterupsi daripada fokus pada pengamanan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu 2014.

Hal yang mana secara telanjang dipraktikkan oleh Timur Pradopo saat terus-menerus berupaya membela Djoko Susilo, terdakwa kasus korupsi saat menjabat sebagai kepala Korps Lantas Mabes Polri. Masalah yang kemudian muncul, apakah masih ada perwira Polri yang bersih dan bervisi membangun organisasi dan selaras dengan semangat keinginan publik? Pertanyaan retoris tersebut memang sulit dijawab apabila melihat kompleksitas permasalahan di Polri.

Tugas berat Kapolri baru sebelum memasuki 2014 adalah menyelesaikan tiga permasalahan tersebut. Makin kronisnya korupsi di internal Polri mencerminkan bahwa secara organisasi Polri butuh kepemimpinan yang tidak biasa dan memiliki komitmen untuk membawa Polri pada tingkatan yang lebih maju dari sebelumnya.

Dengan kata lain, menuntaskan kasus korupsi di internal Polri akan membawa efek positif bagi kinerja Polri dan hubungan Polri dengan instansi terkait lainnya, khususnya KPK dan TNI. Untuk mendapatkan calon Kapolri yang dapat menjamin langkah-langkah pembersihan internal dan penguatan kelembagaan sebagaimana yang dilakukan Hoegeng dan Awaloeddin Djamin ketika mereka memimpin Polri pada dua periode yang berbeda tentu tidak mudah.

Bila Hoegeng memimpin Polri pada awal Orde Baru dan mendapatkan tantangan tidak saja dari internal, tapi juga eksternal era itu, Awaloeddin Djamin melakukan bersih-bersih di Polri dengan menangkap dan menghukum Wakapolri ketika itu yang terlibat korupsi di internal Polri pada awal tahun 80-an. Permasalahan yang dihadapi Presiden SBY dan internal Polri sesungguhnya bergantung pada kepentingan masing-masing yang kerapkali tidak sinergis.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi Kapolri harus dekat dengan penguasa dan mendukung kepentingan pemerintah. Situasi tersebut berbanding terbalik dengan kepentingan internal Polri yang menginginkan agar presiden dapat memilih figur terbaik internal yang diusulkan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Mabes Polri.

Hal tersebut setidaknya tercermin dari pemilihan Kapolri Timur Pradopo oleh Presiden SBY yang tidak sesuai harapan internal. Di samping itu, masalah klasik yang terus muncul dalam pemilihan Kapolri dan memicu pertentangan di internal juga masalah angkatan dan koprs di internalPolri. Masalahangkatan lebih banyak terselesaikan dengan pendistribusian posisi jabatan apabila salah satu angkatan menjadi Kapolri.

Maka masalah kekorpsan cenderung mengarah pada seberapa besar akses kekuasaan untuk mendapat dukungan dan dipilih presiden. Sekadar ilustrasi, dua korps yang dinilai memiliki akses ekonomi yang lebih besar seperti Bareskrim dan Korps Lantas cenderung tidak memiliki masalah dengan dukungan finansial apa bila terpilih menjadi Kapolri. Sebaliknya, korps lain seperti Brimob, Baintelkam, Baharkam, dan sebagainya lebih banyak mengandalkan dukungan kepercayaan dan loyalitas daripada dukungan finansial.

Tak heran apabila komposisi pimpinan Polri yang ideal adalah gabungan dari dua kutub korps tersebut; kemampuan finansial dan loyalitas, selain yang memiliki komitmen bersih dan integritas personal yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang periode kali ini memiliki kewenangan yang lebih baik untuk menyampaikan figur- figur calon Kapolri kepada Presiden. 

Kewenangan tersebut sedikit-banyak memberikan berbagai alternatif bagi Presiden untuk mengajukan calon Kapolri ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Dalam konteks ini, Kompolnas tentu dapat menjadi salah satu penyaring dari figur-figur yang layak untuk dicalonkan ke Presiden untuk dipilih. Dari uraian tersebut, Kapolri masa depan adalah figur yang setidaknya memiliki komitmen dan dapat menuntaskan masalah korupsi di internal Polri.

Hal ini akan berkorelasi pada meningkatkan kinerja dan koordinasi dengan instansi terkait. Berkaitan dengan pengajuan dan keterpilihan figur Kapolri oleh Presiden kepada DPR, penting sekali untuk diperhatikan terkait dengan dinamika internal Polri. Salah satu cara untuk memahami dinamika internal Polri adalah Presiden harus benar-benar memperhatikan rekomendasi dari Wanjakti Mabes Polri dan Kompolnas. 

Potensi Conflict of Interest Rangkap Jabatan


Potensi Conflict of Interest Rangkap Jabatan
Janpatar Simamora ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan; Dewan Pendiri Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK) 
KORAN SINDO, 30 April 2013
  

Komisi XI DPR telah menyetujui pencalonan Agus Martowardojo sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) baru. 

Awalnya, pengajuan nama mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini sebagai calon Gubernur BI sempat mengundang polemik di kalangan anggota parlemen karena tidak membuka ruang untuk calon alternatif. Pasalnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya menyodorkan nama tunggal untuk menggantikan posisi Gubernur Bank Indonesia (BI) yang sebelumnya dinakhodai Darmin Nasution. Namun, setelah melalui proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test), akhirnya Agus berhasil meraih simpati dan dukungan mayoritas anggota Komisi XI DPR dan selanjutnya memperoleh pengesahan melalui rapat paripurna pada 2 April lalu. 

Tentu keterpilihan Agus Martowardojo kali ini patut diapresiasi mengingat sebelumnya pengajuan nama yang hanya seorang diri sempat diisukan akan menimbulkan persoalan tersendiri di Senayan, karena tidak membuka ruang cukup bagi para legislator untuk menjatuhkan pilihan pada calon lain. Patut juga diapresiasi langkah anggota DPR yang segera merespons langkah pemerintah dengan memuluskan keterpilihan Gubernur BI yang baru. 

Pasalnya, kedudukan Gubernur BI merupakan posisi strategis yang sangat tidak patut ditunda- tunda karena dapat berimplikasi pada macetnya peran serta bank sentral dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Potensi persoalan ini yang kemungkinan turut dibaca para anggota dewan, sehingga mereka tidak ingin dituding sebagai pemicu persoalan sesungguhnya. Setelah keterpilihan Agus sebagai Gubernur BI, publik sempat bertanya-tanya tentang siapa sesungguhnya yang akan mengisi kursi Menteri Ke-uangan yang sudah ditinggalkan Agus Martowardojo? Pertanyaan itu sangat wajar, khususnya bagi kalangan dunia usaha. 

Pasalnya, sosok yang akan menakhodai jabatan Menteri Keuangan akan sangat berperan penting dalam menentukan jalannya aktivitas perekonomian nasional. Terlebih kemudian bila sampai posisi dimaksud mengalami kekosongan, walaupun hanya dalam durasi waktu cukup singkat, namun dapat memancing spekulasi beragam terhadap situasi dan kondisi perekonomian nasional. 

Langkah Antisipasi 

Persoalan ini yang barang kali turut diantisipasi presiden agar jangan sampai melahirkan efek buruk di kemudian hari. Langkah antisipasi pemerintah dalam mengatasi persoalan ini memang sudah mulai tercium ke permukaan. Sejumlah nama sudah mulai muncul sekalipun belum mengerucut pada satu tokoh sentral yang paling berpeluang menduduki jabatan Menkeu baru. 

Berdasarkan informasi awal yang berkembang, setidaknya terdapat sejumlah nama mulai muncul ke permukaan sebagai pengganti Agus di jabatan lamanya. Sejumlah nama yang mulai sering diperbincangkan, khususnya kalangan media massa adalah Gubernur Bang Indonesia Darmin Nasution yang akan segera memasuki usia pensiun dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Selain itu, ada juga nama Mahendra Siregar, Firmanzah yang merupakan staf khusus presiden bidang perekonomian, serta Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati. 

Tidak hanya itu, nama-nama seperti Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida Alisiahbana dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Chatib Basri, juga turut meramaikan bursa namanama Menteri Keuangan baru. Tentu kemunculan sederet nama dimaksud tidak terlepas dari latar belakang kiprah dan karier mereka selama mengemban tugasnya. Potensi keterpilihan mereka juga sama-sama punya peluang cukup kuat. Tinggal kemudian itu berpulang pada Presiden SBY sebagai penentu tunggal menetapkan sosok pembantunya di Kementerian Keuangan. 

Hak prerogatif presiden dalam memilih menteri di kabinetnya akan menjadi jawaban utuh tentang siapa sesungguhnya sosok Menteri Keuangan baru. Na m u n , sederet nama yang pernah diperbincangkan sebelumnya berpeluang mengisi jabatan Menkeu tampak tidak mendapat respons positif dari Presiden SBY sebagai pemegang tunggal jawaban pengisian jabatan menteri. Terbukti, belakangan presiden tidak menjatuhkan pilihan pada satu sosok yang pernah diperbincangkan itu menjadi Menkeu. Presiden justru mengangkat Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa sebagai Pelaksana tugas (Plt) Menteri Keuangan menggantikan Agus yang telah dilantik menjadi Gubernur BI. 

Conflict of Interest 

Langkah presiden menetapkan Hatta Rajasa menggantikan Agus sebagai Menteri Keuangan hanya sebatas Plt pada akhirnya melahirkan pertanyaan tersendiri terkait seberapa jernih dan independenkah pertimbangan SBY dalam menentukan hak prerogatifnya itu. Bagaimanapun harus diakui bahwa praktik rangkap jabatan pada akhirnya sangat berpotensi melahirkan conflict of interest atau konflik kepentingan bagi pihak yang memangku jabatan secara rangkap. 

Dalam hal keterpilihan sosok Hatta Rajasa sebagai Plt Menkeu, setidaknya ada beberapa indikasi kuat berpotensi memicu lahirnya conflict of interest selama yang bersangkutan memegang jabatan ganda. Pertama, posisi Hatta Rajasa yang tidak lain adalah merupakan elit partai (PAN) jelas menjadi ancaman tersendiri bagi yang bersangkutan dalam meneguhkan prinsip dan komitmen sebagai seorang Menkeu yang berintegritas tinggi. 

Walaupun porsi penempatan pos-pos anggaran dalam APBN sudah digariskan, namun tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pengutak-atikan peruntukan dan berpotensi digiring untuk memuluskan sejumlah agenda tertentu. Kedua, masih dalam kaitan sebagai elit salah satu parpol, tidak tertutup kemungkinan bahwa posisi sebagai Menkeu akan turut dimanfaatkan Hatta Rajasa dalam memuluskan sejumlah agenda politik, khususnya dalam persiapan menuju perhelatan demokrasi di tahun 2014 mendatang. 

Ketiga, keberadaan Hatta Rajasa yang tidak lain merupakan besan Presiden SBY juga rentan melahirkan persoalan tidak kalah pentimg untuk diantisipasi sejak dini. Keempat, meski hanya sebagai Plt Menkeu, namun sampai saat ini belum dapat dipastikan sampai kapan yang bersangkutan akan menduduki jabatan itu. Apakah hanya dalam hitungan minggu, bulan, atau justru sampai berakhirnya masa periode KIB II di bawah pemerintahan SBY-Boediono?.Hal ini masih menjadi teka-teki yang mana jawaban sesungguhnya hanya berada di tangan SBY. 

Beberapa indikasi ini semestinya dapat diantisipasi presiden dengan menetapkan Menkeu dari kalangan nonparpol, bukan justru sebaliknya, apalagi mengingat masih teramat sulit mengklaim bahwa sosok Hatta Rajasa benar-benar memahami persoalan keuangan negara sebagaimana lazimnya menjadi modal dasar bagi seorang Menkeu. 

Kreativitas dan Inovasi


Kreativitas dan Inovasi
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI
JAWA POS, 30 April 2013
  

Sepanjang minggu lalu, saya terlibat dalam dua kegiatan tentang inovasi. Satu, CFO Forum yang diselenggarakan Bank Mandiri dengan keynote speaker  Dahlan Iskan. Kedua, pameran keramik yang diselenggarakan oleh Asaki (Asosiasi Keramik Indonesia) dengan tema creativity and innovation for better living.

Dahlan Iskan mengatakan, kalau disodori dua orang calon direktur keuangan dan dua-duanya adalah financial expert, dia akan mencari siapa yang memiliki lebih dari itu, financial attitude. Dialah orang yang mendorong inovasi yang tidak semata-mata melihat kinerja keuangan atau sekadar pandai membaca laporan keuangan. Bagaimana pelaksanaannya?

Keramik Centro 

Pelaksanaannya ada pada BUMN-BUMN yang sekarang menjalani proses transformasi yang kuat. Harus diakui dewasa ini ada beberapa BUMN yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki financial attitude yang kuat, yang membuat beberapa BUMN berlari kencang. Sebegitu kencangnya sehingga Dahlan berpesan: "Saya mau BUMN makin kuat, tetapi swasta juga harus kuat melawan BUMN-BUMN ini. BUMN harus dilawan oleh swasta yang kuat."

Swasta yang kuat?

Di pameran keramik Asaki minggu lalu itu saya menyaksikan produsen-produsen keramik Indonesia bergeliat menyambut tumbuhnya kelas menengah. Sekitar 40 produsen lokal merebutkan kue pasar Rp 25 triliun-30 triliun. Awal tahun ini saja (kuartal I), total penjualannya telah menembus Rp 7 triliun. Sementara backlog rumah murah masih ada 15,4 juta.

Di antara pelaku-pelaku usaha itu ada satu produsen yang mendapat perhatian para arsitek dan pedagang-pedagang besar keramik. Namanya Centro. Both-nya terletak di tengah-tengah, persis di dekat pintu masuk. Dan menarik perhatian saya, ketika semua pelaku melarang tamu memotret karya-karya mereka, Centro Ceramic justru memajang tulisan: Silahkan difoto. 

Apa yang membuat produsen-produsen itu khawatir adalah pencurian desain. Begitu sebuah desain difoto, dalam tempo sekejap, semua pemain sudah bisa membuatnya. Bukan hanya produsen kita, melainkan juga produsen-produsen asing yang berpura-pura datang untuk membeli dan meminta sample.

Lain halnya dengan Centro yang kini menjadi leader dalam inovasi. Desainnya unik. Bentuk keramik ubin yang biasanya hanya kotak-kotak saja (segi empat), dia ubah ke dalam bentuk-bentuk baru yang unik. Desain warnanya sangat menarik, bahkan membuat saya membeli cukup banyak untuk di pasang di Rumah Perubahan. Centro juga banyak diminati di luar negeri. Ekspornya menjelajahi kelas menengah Tiongkok, India, Malaysia, dan Mauritius. 

Sewaktu saya tanya mengapa ia membiarkan karya-karyanya difoto, Sharif Said, wirausaha pendiri Centro, menjawab dengan penuh rasa bersahabat. "Bukan cuma boleh difoto, diambil juga saya kasih. Di sini, keramik-keramik ubin kami dibagi-bagikan karena sekalipun jatuh ke pesaing, mereka tidak sanggup membuatnya. Rahasianya ada research & development, saya menekuninya selama 4 tahun, dan mesin-mesin baru tak bisa membuatnya." Diperlukan kerja keras untuk menemukan rahasianya. Keramik bukan cuma harus bagus, tetapi juga kuat dan tidak cacat.

Centro penuh percaya diri. Desain-desainnya bagus dan mereka sudah siap dengan desain untuk empat tahun ke depan. "Setiap kami membuat yang baru selalu ditiru. Sudah beberapa produsen kami tuntut. Sebagian minta maaf dan minta agar namanya tidak disebarluaskan. Mereka memilih membayar ganti rugi karena takut nama baiknya tercemar."

Memang Centro bukan pemain baru. Ia sudah ada semenjak 1980-an. Tetapi, nama merek Centro baru digunakan tiga tahun terakhir. Merekalah yang menciptakan pasar keramik di Jalan Percetakan Negara, Jakarta. Seperti yang Anda ketahui, pusat perdagangan keramik di ibu kota dikenal dengan istilah 3 P: Pinangsia, Percetakan Negara, Jalan Panglima Polim. Di situlah tempat para arsitek kondang, interior desainer, dan pemborong-pemborong bangunan menghabiskan waktu untuk mendapatkan inspirasi sekaligus membeli keramik-keramik, baik untuk lantai, dinding, dapur, patung, maupun kamar mandi.

Saya mengerti Anda masih penasaran bagaimana inovasi bisa dilakukan dalam sebuah bingkai kewirausahaan. Saya berencana menulis lebih detail kaitan keduanya, dengan case study Centro Ceramic minggu depan. Centro yang kaya inovasi kini menjadi pemain unggulan, bahkan mulai menggeser merek-merek terkenal yang namanya Anda ingat, seperti Roman, Mulia, dan Picasso. Centro juga menjadi andalan Presiden SBY yang akhir 2011 memborong untuk rumahnya di Cikeas.

Presiden bahkan mampir di pabrik yang penuh dengan keajaiban itu. Minggu depan saya lanjutkan yah! 

Merayu Rakyat ala Pemilu Jiran


Merayu Rakyat ala Pemilu Jiran
Ahmad Sahidah ;  Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
JAWA POS, 30 April 2013
  

Pada 5 Mei yang akan datang Malaysia menghadapi pilihan raya, sebutan pemilu di sana. Ini yang paling sengit sejak 1955. Setelah kemenangan partai-partai yang bergabung dalam oposisi pada 2008, koalisi di bawah Pakatan Rakyat (PR) tidak lagi lemah di hadapan seterunya, Barisan Nasional (BN). Dengan hanya menguasai mayoritas sederhana (simple majority), partai berkuasa, UMNO, MCA (Malaysia Chinese Association) dan MIC (Malaysian Indian Congress), tidak lagi dipandang kuat. BN diselamatkan Sarawak dan Sabah pada pemilu lalu. 

Apabila pemilu sela dijadikan ukuran setelah tsunami politik itu, kedua koalisi sejatinya sama-sama kuat. Keduanya tak menyapu bersih kursi yang diperebutkan, tetapi berbagi. Pengalihan orang nomor satu BN, Abdullah Badawi (Pak Lah), kepada wakilnya, Najib Tun Razak, di tengah jalan dipandang tepat. Pak Lah bertanggung jawab secara moral atas kekalahan BN di lima negara bagian. Dengan tekanan Mahathir (Tun M) yang bertubi-tubi, Pak Lah akhirnya mundur, meskipun sempat memanaskan suhu politik, karena bekas Menlu ini tidak diam menghadapi serangan Tun M. 

Di bawah Najib, BN berhasil melejitkan moral pendukungnya. Dengan agenda transformasi, anak mantan Perdana Menteri Ke-2 Malaysia, Tun Abdul Razak, tersebut membuat pelbagai program untuk memenuhi manifesto atau janji politik. Slogan pencapaian (prestasi) diutamakan dan rakyat didahulukan tampak memikat pemilih mengambang (swing voters). Jajak pendapat lembaga independen mendapati Najib lebih populer bila dibandingkan dengan seteru kuatnya, Anwar Ibrahim.

Blusukan alias Turun Padang 

Bridget Walsh, analis politik, dalam diskusi politik di Universitas Utara Malaysia, 23 April 2012, mengatakan, perebutan kekuasaan kali ini telah menguras banyak uang dan tenaga. Sepanjang tahun terakhir kedua kubu saling mengklaim keberhasilan dalam menyalurkan anggaran untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat. Apabila BN menyuarakan kesuksesan ini melalui media cetak elektronik dan cetak arus utama, PR menggunakan koran resminya, Suara Keadilan, Harakah, dan Roket. Tentu saja, pembangkang, sebutan oposisi di sana, memanfaatkan media sosial, Twitter dan Facebook, secara maksimal untuk mendekati konstituen. 

Dengan kelebihan corong media yang dimiliki BN, PR lebih mengandalkan ceramah politik di seluruh pelosok negeri jiran berpenduduk hampir 30 juta jiwa itu. Semakin mendekati pemilu, para calon wakil rakyat makin kerap blusukan (di sana turun padang). Yang menarik, keduanya tak hanya berslogan, tetapi juga menunjukkan prestasi selama mereka memegang kekuasaan. Dengan pemaparan angka-angka, apa yang dilakukan pemerintah dan wakil rakyat dari masing-masing koalisi mudah diukur. 

Meski demikian, isu-isu primordial kadang turut dimainkan untuk melemahkan lawan. Misalnya, iklan MCA, komponen BN, di surat kabar The Star, menuduh DAP (Democratic Action Party), koalisi PR, yang banyak dihuni kaum Tionghoa telah tersandera oleh Partai Islam se-Malaysia (PAS). Apabila DAP hanya menjadi boneka PAS, pemberlakuan hudud (hukum Islam) akan makin membatasi kebebasan orang-orang Tionghoa. Kebijakan PAS di Negara Bagian Kedah untuk melarang pekerja salon perempuan bersentuhan dengan pelanggan lelaki tentu memukul bisnis masyarakat Tionghoa. 

Rayuan Uang 

Betapapun kedua koalisi tampak berbeda dalam manifesto (janji) politik, hakikatnya PR dan BN sedang membujuk rakyat dengan pelbagai peruntukan dan bantuan. Tentu saja BN jauh lebih moncer, karena sebagai pemerintah yang berkuasa 50 tahun, koalisi yang dimotori UMNO ini menguasai pos anggaran. UMNO juga bisa meminta dukungan pengusaha untuk turut membantu program-program kesejahteraan yang dilakukan dalam "kampanye" jauh sebelum pemilu. Malah, sejak pembubaran parlemen diumumkan untuk pemilu baru, bantuan makin deras. 

Sebagai koalisi yang baru seumur jagung memegang kekuasaan, tentu saja dana PR tak semelimpah BN. Namun, komponen PR yang berkuasa di beberapa negara bagian sejauh mungkin menunjukkan kepada publik bahwa mereka lebih bertanggung jawab mengelola keuangan. Slogan Pemerintah Selangor yang diterajui oleh Partai Keadilan Rakyat menyiarkan "merakyatkan ekonomi". Sementara Pulau Pinang yang berada di bawah kendali DAP dengan slogan CAT (cekap, akauntabel, telus) alias kompeten, akuntabel, dan transparan berusaha menunjukkan kepada rakyat bahwa pemerintah yang bersih akan menyelamatkan pajak rakyat. 

Betapapun kedua seteru ini saling beradu slogan dan retorika, hakikatnya keduanya berlomba untuk memberikan sebanyak-banyaknya habuan (bantuan). Program BR1M BN, misalnya, memberikan bantuan RM 1.000 (Rp 3,2 juta) tunai per keluarga yang berpendapatan kurang dari RM 3.000 sebulan (Rp 9,6 juta). Bila menang pemilu, bantuan ini akan terus dikucurkan bersama bantuan lain TR1M, vocer buku mahasiswa senilai RM 200 (Rp 640 ribu), dan banyak proyek lain yang dianggap sebagai kepedulian BN terhadap kesejahteraan semua lapisan warga. Versi IMF, pendapatan per kapita Malaysia 2012 USD 10.304 atau sekitar Rp 100 juta per tahun (Indonesia USD 3.592 atau Rp 34,8 juta per tahun).

Sementara, PR di Selangor juga melakukan hal serupa, seperti bantuan RM 1.000 untuk setiap warga yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Pendek kata, meski tak sebanyak BN yang menguasai banyak sumber keuangan, PR telah berusaha bahwa pendapatan pemerintah negara bagian yang dipungut dari pajak harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 

Siapa yang bakal berkantor di Puterajaya? Anwar Ibrahim sebagai orang nomor satu oposisi yakin merebutnya dari Najib. Kalau kalah, ikon reformasi ini memilih pensiun dari dunia politik, sementara Najib akan menerimanya dengan kesatria.  

Gonjang-Ganjing Eksekusi Kasus Susno


Gonjang-Ganjing Eksekusi Kasus Susno
Muhammad Yusuf ;  Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
TEMPO.CO, 30 April 2013
  

Hiruk-pikuk eksekusi Susno Duadji (mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri) di layar televisi bagaikan drama sinetron yang ditayangkan pada jam-jam prime time. Kisruh, rumit, kacau, tak luput pula dipertontonkan akrobat jurus-jurus hukum yang digunakan; dan diberitakan pula adanya ancaman penembakan. Padahal, kalau kita mau kembali kepada esensi hukum keadilan, masalahnya menjadi sederhana, jelas, dan mudah.

Polemik bak opera sabun itu bermula dari sudut pandang mengenai sah-tidaknya putusan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan kewajiban memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal tersebut menyatakan: “Surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”.

Perintah penahanan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sesungguhnya adalah penahanan dalam konteks pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) KUHAP. Di sisi lain, putusan Mahkamah Agung adalah putusan akhir, dan tidak ada upaya hukum biasa yang dapat membatalkannya. Putusan MA langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus segera dilaksanakan.

Sekalipun ada pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK), hal ini tidak dapat menghentikan atau menangguhkan pelaksanaan eksekusi, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Jadi enggak logis atau melukai nalar kita yang sehat ketika pemeriksaan sidang sudah selesai, dalam amar putusan MA yang mempidana terdakwa tetap harus dicantumkan perintah agar terdakwa ditahan.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia Nomor 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012 atas permohonan pengujian materiil Undang-Undang, yakni norma yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ini pun menolak untuk frasa perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan dicantumkan dalam putusan MA. Sungguh sangat ironis, bahwa terdakwa yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana lalu putusannya tidak dapat dieksekusi hanya karena tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, yang sesungguhnya merupakan substansi ikutan dari adanya putusan yang menyatakan terdakwa bersalah dan penjatuhan pidana terhadapnya.

MK menilai pengertian “ditahan atau tetap dalam tahanan” yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak bisa ditafsirkan secara tersendiri, tapi juga harus ditafsirkan dengan melihat ketentuan lainnya dalam KUHAP. Khususnya ketentuan yang mengatur tentang putusan pengadilan. Karena itu, sebelum menafsirkan pengertian penahanan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, ada baiknya melihat terlebih dulu ketentuan Pasal 193 KUHAP. Pasal tersebut membahas tentang putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa dan berada dalam satu bab dan satu bagian dengan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, yaitu Bab XVI tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Bagian Keempat tentang Pembuktian dan Putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa. Hal senada juga dijelaskan dalam Pasal 242 KUHAP.
Dalam Pasal 193 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tidak menjadikan kata atau perintah penahanan menjadi suatu syarat mutlak atau suatu keharusan, melainkan bersifat pilihan, karena merupakan kewenangan hakim untuk dilaksanakan atau tidak. Untuk jelasnya, mari kita lihat Pasal 193 ayat (1): Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana; (2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu; b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan yang cukup untuk itu.

Sedangkan dalam putusan di tingkat banding (pengadilan tinggi) diatur dalam Pasal 242 KUHAP yang dapat dimaknai bahwa, apabila terdakwa tidak ditahan oleh pengadilan tingkat pertama, maka dalam putusan pengadilan banding tidak dilakukan penahanan. Namun, apabila terdakwa dalam tahanan, hakim banding dalam putusannya memerintahkan terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan. Jadi tetap saja normanya bersifat pilihan.

Putusan MA merupakan putusan akhir yang bersifat final dan begitu diputuskan langsung mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan adanya putusan MA, status terdakwa akan berubah menjadi terpidana, sehingga tidak diperlukan lagi masa penahanan. Setelah menjadi terpidana, pelaku tindak pidana tidak lagi menyandang status sebagai tahanan, melainkan statusnya berubah menjadi narapidana. Pelaku yang telah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidak lagi menjalani masa penahanan, melainkan menjalani masa pemidanaan atau penghukuman. Karena itu, bila dalam putusan MA juga harus memuat perintah penahanan, justru akan mengacaukan status terpidana, apakah ia tahanan atau narapidana.

Hal ini menjadi bukti bahwa perintah penahanan dalam putusan MA (putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap) tidak perlu ada perintah penahanan. Hal ini berbeda dengan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi yang begitu diputuskan belum langsung mempunyai kekuatan hukum tetap. Perintah penahanan dalam putusan pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi masih tetap diperlukan walaupun putusannya menjatuhkan hukuman mati. Perintah penahanan di sini diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.

Putusan MA ini sejatinya tak perlu lagi kita perdebatkan, dan saya berharap kita semua dapat menghentikan tontonan yang merusak esensi hukum. Biarkan jaksa melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 270 KUHAP. 

Dilema Gaya Hidup dan Subsidi BBM


Dilema Gaya Hidup dan Subsidi BBM
Fachruddin Mangunjaya ;  Dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta
KORAN TEMPO, 30 April 2013


Pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak dan gas dalam waktu dekat. Opsi yang ditawarkan adalah subsidi bagi masyarakat miskin dan "dianggap" kelas menengah ke bawah, dengan standar tetap, yaitu untuk Premium Rp 4.500 bagi pengendara sepeda motor dan angkutan umum, sedangkan bagi mereka yang memiliki mobil pribadi-kelas menengah atas-akan diadakan pengurangan subsidi, dengan harga Rp 6.500 per liter.
Di era krisis iklim versus pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Indonesia tampaknya menghadapi dilema, di satu pihak harus membatasi emisi yang dapat menyebabkan meningkatnya gas-gas rumah kaca (GRK), karena pada 2020, Indonesia berkomitmen untuk memenuhi penurunan emisi GRK 26 persen. Di lain pihak, pertumbuhan ekonomi secara perlahan akan memacu kebutuhan konsumtif yang lebih besar, sehingga berapa pun negara memberikan subsidi pada sektor BBM, diperkirakan akan berujung pada beban anggaran yang terlampau besar, karena dianggap akan memanjakan gaya hidup kelas menengah atas yang semakin bertumbuh. Subsidi BBM 2013 yang dianggarkan Rp 274,7 triliun dikhawatirkan terus melaju menjadi lebih dari Rp 300 triliun. Alangkah besarnya ongkos subsidi tersebut. Bila subsidi dicabut, kita dapat membangun infrastruktur di daerah, membangun fasilitas dan sistem transportasi yang lebih baik, memfasilitasi kesehatan masyarakat, peningkatan pendidikan, memfasilitasi beasiswa rakyat miskin, serta membiayai pembangunan produktif yang membuka peluang pekerjaan. Sebaliknya, bila dibiarkan, uang subsidi negara tersebut akan dibakar dan terus mencemari udara, mempertebal atmosfer di bumi yang sedang terancam pemanasan global dan perubahan iklim.
Diperkirakan dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen, sekarang ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik menyebutkan bahwa kelas menengah atas Indonesia tumbuh menjadi sekitar 45 juta jiwa. Menurut dia, merekalah yang memang seharusnya menjadi sasaran untuk pengurangan subsidi BBM. Kelas menengah adalah hasil produk pembangunan yang tidak dapat dielakkan. Pertambahan penghasilan biasanya akan diikuti perubahan gaya hidup. Kelas menengah atas umumnya adalah kalangan terpelajar, mempunyai kemampuan finansial yang cukup, karena tuntutan kehidupan yang mulai memanjakan, mereka menginginkan kenyamanan fasilitas dan kehidupan.
Deadlock
Bila diamati realitas kita sehari-hari, sektor utama ketergantungan kita adalah berakar dari masalah energi dan transportasi. Kekisruhan terjadi di kota-kota besar, pada umumnya terjadi pada fasilitas transportasi publik yang tidak memadai yang mengakibatkan orang cenderung untuk membeli saja kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor.
Kemacetan di Jakarta-bahkan semakin parah akhir-akhir ini-disebabkan oleh membanjirnya mobil-mobil baru akibat meningkatnya daya beli masyarakat terhadap kendaraan pribadi. Menurut catatan pengeluaran surat tanda kendaraan bermotor (STNK) di Polda Metro Jaya, setiap hari Jakarta mengeluarkan 2.400 surat kendaraan, yang terdiri atas 2.000 unit untuk sepeda motor dan 400 unit untuk kendaraan pribadi (Merdeka.com, 5/11). Pertumbuhan kendaraan ini jauh melampaui pertumbuhan panjang jalan raya Jakarta yang hanya berkembang 0,01 persen per tahun.
Pesatnya animo terhadap kendaraan, salah satunya karena kemudahan untuk memperoleh dan mendapatkan kendaraan tersebut. Hingga sekarang, tidak ada pembatasan kendaraan bermotor yang dimiliki setiap keluarga, kecuali pajak progresif yang hanya mendorong pemotongan pajak bagi pemilik kendaraan lebih dari satu unit. Selain itu, alasan untuk memiliki kendaraan adalah kemudahan yang diberikan oleh pihak leasing sehingga harganya semakin terjangkau.
Parahnya penggunaan kendaraan pribadi juga didorong oleh fasilitas transportasi publik dan infrastruktur buruk yang tidak mengalami perubahan signifikan sejak 20 tahun yang lalu. Karena itu, kerja keras atas perbaikan untuk sektor transportasi dan fasilitasnya harus dilihat sebagai prioritas yang sangat penting untuk diselesaikan. Pengalaman kita mencatat bahwa beberapa kali Jakarta "lumpuh" dengan hanya banjir akibat hujan selama beberapa jam saja. Deadlock di bidang transportasi ini harus segera dibenahi dan mendapatkan prioritas, agar tidak berkepanjangan.
Kesadaran
Mereka yang memilih kendaraan pribadi, tidak hanya ingin mendapatkan kenyamanan-tetapi bagi sebagian orang-dikarenakan tidak mempunyai pilihan. Beralih pada transportasi umum artinya harus berangkat lebih pagi karena antre, lalu berpanas-panas dan berkeringat. Selain itu, tidak ada kepastian untuk tepat waktu sampai di tujuan. Perlu disadari, pada umumnya kelas menengah-yang mampu membeli kendaraan pribadi-bukanlah orang yang tidak mempunyai kesadaran tentang penggunaan bahan bakar non-subsidi. Mobil pribadi terkadang digunakan karena terpaksa, dan dianggap merupakan pilihan yang lebih menguntungkan. Kenaikan harga BBM bagi kendaraan pribadi boleh jadi akan membawa perubahan apabila perhitungan untung-rugi tersebut dapat dianggap lebih merugikan, sedangkan sektor kendaraan umum lebih menguntungkan.
Ahli pendidikan lingkungan, Michael Mattaraso dan Guyen Dung, merumuskan tiga tantangan yang mesti dirumuskan dalam mendorong individu atau komunitas agar dapat mengubah perilakunya atau gaya hidupnya. Pertama, mereka harus dapat melihat dan mengenali secara jelas masalah-masalah yang mereka hadapi. Kesadaran akan pemborosan dan pencemaran boleh jadi mendorong mereka yang sadar lingkungan untuk tidak berlaku boros pada penggunaan BBM. Kedua, mereka harus menyadari manfaat perubahan dan konsekuensinya jika tidak berubah. Dalam hal ini, apakah ada insentif dan/atau keuntungan atau kerugian apabila mereka meninggalkan mobil di rumah? Misalnya, apabila mereka bersepeda ke kantor, apakah perusahaan akan memberikan dukungan. Adakah jaminan keselamatan di jalan raya, jalur sepeda yang baik, dan fasilitas pendorong yang lain? Ketiga, apakah ada alternatif? Meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih pada transportasi umum akan sangat menarik jika fasilitasnya lebih murah, nyaman, tepat waktu, dan tentu tidak berjubel-seperti selama ini-dan tidak terlalu lama.
Jadi setiap orang perlu memiliki alternatif yang memberi manfaat yang dapat dibandingkan dengan gaya hidup mereka saat ini. Jika hal ini dapat dijawab, berapa pun kenaikan harga BBM-dalam hal transportasi-sudah pasti tidak akan terlalu dipersoalkan.

Bebaskan Parpol dari Kemiskinan Ideologi


Bebaskan Parpol dari Kemiskinan Ideologi
J Kristiadi ;  Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 30 April 2013


Dari total 6.578 nama caleg yang diajukan 12 parpol, mayoritas bermutu rendah. Kita sendiri di Demokrat hanya 15 persen sampai 20 persen caleg yang bermutu (Ahmad Mubarok, Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, ”Republika”, 27/4).

Secara umum, ideologi adalah gagasan atau cita-cita besar yang menuntun penziarahan bangsa mencapai kemuliaan dan hidup bahagia. Tanpa bimbingan adicita sebagai sumber inspirasi dan sekaligus cahaya terang yang memandu mewujudkan cita-cita, dapat dipastikan bangsa yang bersangkutan mudah tersesat menuju ke arah yang tidak berketentuan. Oleh sebab itu, peran ideologi sangat penting dalam berpolitik karena ranah kekuasaan sarat dengan adu siasat dan pertarungan kepentingan.

Berpolitik tanpa ideologi akan mendorong pelaku politik memasuki lorong gelap yang hanya dituntun oleh dua instingtual dasar, yaitu naluri untuk memenuhi survivalitas dan memburu insting ego atau interes privat. Dua perangkat naluri yang secara kodrati dimiliki makhluk submanusia (antropoid). Sebagai insan bermartabat, manusia yang hanya mengikuti, mengumbar, dan mengeksploitasi intuisi primitif akan terjebak, menurut terminologi Albert O Hirschman (dalam The Passions and The Interests, 1977), dalam tiga dosa yang menjatuhkan martabat manusia: nafsu mengejar uang dan harta benda (lust for money and possession), hasrat berkuasa (lust for power), dan gelora libido (sexual lust).

Meskipun bangsa Indonesia mempunyai ideologi yang berisi nilai-nilai luhur, Pancasila, daya penetrasi keutamaan tersebut belum mampu menembus ranah kekuasaan. Nada dasar politik Indonesia adalah keterpukauan terhadap pesona dan nikmat kekuasaan. Resonansi laras tersebut menyusup ke seluruh struktur kekuasaan sehingga ranah politik sangat gersang dan cengkar bagi tumbuhnya benih-benih nilai-nilai mulia. Lebih memprihatinkan lagi, partai politik sebagai institusi yang seharusnya menyediakan lahan subur persemaian ideologi serta wahana mengobarkan cita-cita justru mengalami tingkat kemiskinan ideologi yang paling parah. Laju pemiskinan di parpol berbanding tegak lurus dengan gelora nafsu memburu kekuasaan. 

Misalnya, calon pemegang kekuasaan legislatif tidak diseleksi berdasarkan rekam jejak, transparan, demokratis, serta prinsip-prinsip meritokratik, tetapi lebih didasarkan atas popularitas mereka. Lembaga yang mempunyai tugas sangat mulia karena akan menentukan nasib negara dan bangsa ke depan diserahkan kepada mereka yang diragukan kemampuan, komitmen, dan keterampilan mengelola kekuasaan dengan bijak.

Kritikan publik, mulai dari yang tajam, konstruktif, sampai cemoohan sarkastis, terhadap parlemen yang merupakan kepanjangan tangan dari parpol dianggap angin lalu. Kajian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia pada Januari 2013 secara rinci mengevaluasi kinerja DPR. Intinya, mereka menegaskan pelaksanaan tiga fungsi utama DPR—legislasi, anggaran, dan pengawasan— mengalami kemerosotan, bahkan cenderung merusak citra lembaga wakil rakyat.

Karena itu, kepercayaan publik terhadap institusi tersebut merosot sampai titik nadir. Politik anggaran hanya melayani kepentingan DPR dan pemerintah, bahkan diduga kuat terjadi mafia anggaran. Potret DPR semakin buruk karena perilaku anggotanya semakin jauh dari hidup sederhana, motivasi mengabdi kepada rakyat samar-samar, dan malas bersidang tetapi rajin studi banding meskipun hasilnya tidak jelas. Kajian ini hanya salah satu dari sekian banyak studi yang dilakukan oleh sejumlah kalangan masyarakat dengan kesimpulan yang senada.

Meskipun tingkat kepercayaan publik amat rendah terhadap parlemen, akibat dari kinerjanya yang amat buruk, parpol masih mengajukan sebagian besar kader-kadernya yang minim prestasi tersebut menjadi caleg untuk Pemilu Legislatif 2014. Kebebalan inilah yang mengakibatkan masyarakat skeptis terhadap impian Pemilu 2014 yang akan menjadikan rakyat sebagai pemenang sejati. Harapan tersebut tampaknya hanya fatamorgana politik yang akan segera lenyap oleh pancaran panasnya pertarungan politik kekuasaan menjelang pertarungan kekuasaan 2014.

Pemilu tahun depan hanya akan menjadi mimpi buruk bagi publik, tetapi merupakan mimpi indah para caleg yang sudah melamun dan membayangkan nikmatnya mereguk kekuasaan. Proses pemiskinan ideologi akan mengakibatkan kader-kader partai menjadi buta batin dan mata hatinya, kering imajinasi, serta semakin jauh dari rakyat yang diwakilinya. Mereka mungkin berlimpah harta, tetapi dapat dipastikan berjiwa kerdil kalau larut dalam proses transaksi politik kepentingan yang sudah berurat berakar dalam setiap tingkatan proses pengambilan keputusan politik.

Salah satu akibat tragis dari tingginya tingkat kemiskinan ideologi dari kader parpol dapat dipastikan mereka akan melakukan strategi pencitraan habis-habisan dalam berburu kedudukan. Kefakiran cita-cita akan dikemas dan dikompensasi dengan berjualan tampang dan perilaku populis yang menyesatkan para pemilih yang terbatas kemampuan aksesnya untuk mengetahui kapasitas dan integritas mereka. Medan politik akan menjadi lautan citra yang akan menenggelamkan masyarakat dalam fantasi dan sensasi yang membunuh realitas politik. Karena itu, rakyat harus bangkit. Gerakan antipolitikus busuk harus digalakkan kembali. Bagi elite politik yang lapar kekuasaan, berhentilah ”memerkosa” kedaulatan rakyat.

Ketahanan Energi, Bukan Profit Jangka Pendek


MINYAK BUMI, MASALAH DAN SOLUSINYA
Ketahanan Energi, Bukan Profit Jangka Pendek
KOMPAS, 30 April 2013


Pengantar Redaksi
Harian ”Kompas” mengadakan Diskusi Panel Ekonomi Terbatas pada 18 April lalu dengan tema ”Minyak Bumi, Masalah dan Solusinya”. Sebagai panelis adalah Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar, mantan Wakil Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas Abdul Muin, Direktur Indonesia Center for Green Economy Surya University Darmawan Prasodjo, pengajar ekonomi di Universitas Indonesia Faisal Basri, dan peneliti senior CSIS J Kristiadi. Penanggap adalah anggota DPR, Satya W Yudha; koordinator nasional Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah; koordinator The Extractive Industries Transparancey Initiative Indonesia, Ambarsari Dwi Cahyani; dan moderator Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Rhenald Kasali. Laporan disajikan di bawah ini serta di halaman 6 dan 7.
                                                            ***
Keputusan pemerintah yang ditunggu masyarakat tentang pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sampai kemarin tidak kunjung ada. Seusai rapat terbatas di Istana Negara kemarin, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan, pilihan kebijakan dua harga BBM kemungkinan ditolak.
Ketidakpastian berkepanjangan tentang pengurangan subsidi BBM sudah memengaruhi jalannya kehidupan ekonomi masyarakat, terutama rakyat kecil. Petani dan nelayan segera merasakan dampak ketidakpastian tersebut sebab pemerintah ketat menjatah peredaran BBM bersubsidi. Keadaan ini tidak produktif bagi ekonomi nasional.

Subsidi BBM juga menekan APBN. Kuota BBM bersubsidi dalam APBN 2013 besarnya 46 juta kiloliter. Melihat pengalaman 2012, konsumsi BBM bersubsidi tahun ini dapat membengkak menjadi 48 juta-53 juta kiloliter. Bila pemerintah mempertahankan pola subsidi saat ini, harus ada tambahan utang baru Rp 180 triliun dengan akibat defisit anggaran 3,8 persen. Adapun undang-undang menetapkan batas defisit 3 persen.

Kebijakan subsidi saat ini lebih jauh lagi memperlihatkan ketidakkonsistenan pemerintah. Selain yang menikmati subsidi adalah masyarakat perkotaan pengguna kendaraan pribadi roda empat, kebijakan tak terkoordinasi antarlembaga karena tujuan jangka pendek segera mendapatkan pemasukan berupa pajak atau devisa.

Kebijakan fiskal, misalnya, tidak merangsang fiskal bagi investasi bahan bakar alternatif. Situasi ini semakin tidak menarik bagi investor karena subsidi BBM mendistorsi harga sehingga harga energi alternatif tidak dapat bersaing. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membuat kebijakan penghematan BBM, tetapi Kementerian Perindustrian justru mendorong produksi dan penjualan kendaraan bermotor.

Ketahanan Energi

Beban subsidi BBM menjadi salah satu ujung persoalan BBM nasional. Pada intinya, Indonesia harus membangun ketahanan energi. Namun, hal ini belum pernah benar-benar direncanakan, apalagi dilaksanakan. Banyak rencana dibuat, terutama setelah era reformasi saat produksi minyak bumi nasional memasuki tahap penurunan tajam setelah mencapai puncaknya tahun 1995. Puncak tertinggi produksi minyak bumi juga pernah terjadi pada 1977.

Krisis energi saat ini disebabkan Indonesia tak memiliki kebijakan pengelolaan energi strategis komprehensif. Perencanaan jangka panjang tidak memadai dan tidak dapat dilaksanakan, sering berubah-ubah, kebijakan antarlembaga pemerintah bertumpang tindih, dan koordinasinya lemah.

Pengelolaan hasil migas yang berorientasi jangka pendek untuk memenuhi APBN membuat tidak ada alokasi dana untuk pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi baru.

Membandingkan dengan Malaysia, misalnya, tampak tidak ada rencana jangka panjang dan konsisten serta tidak ada orientasi pertumbuhan jangka panjang. Kurang dari 10 persen keuntungan Pertamina diinvestasikan kembali, sementara Petronas menginvestasikan kembali 70 persen keuntungan ke perusahaan. Pertamina mengalami kekurangan modal serius karena biaya modal hanya 10 miliar dollar, sementara Petronas mencapai 91 miliar dollar dalam 5-10 tahun. Akibatnya, manajemen Pertamina tidak punya ruang merespons dinamika dan peluang pasar dibandingkan dengan Petronas.

Salah Urus

Ke depan, kebutuhan energi nasional akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk, dan naiknya kesejahteraan. Sementara itu, pasokan BBM impor akan semakin terbatas.

Saat ini, Indonesia menjadi negara pengimpor BBM dan minyak bumi, bukan lagi penggerak ekonomi nasional karena sumbangannya tinggal 12 persen dari produk domestik bruto.

Indonesia bukan satu-satunya negara kaya sumber daya alam yang gagal mengelola dan mendistribusikan kekayaan alamnya secara merata, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Kongres Minyak Bumi Dunia pada 2008 secara tegas menyebutkan, penyebab utama kegagalan suatu negara mendapatkan manfaat berkelanjutan dari sumber daya alam adalah karena korupsi, ketidakmampuan mengelola devisa yang didapat dari minyak bumi, dan tidak adanya asas pemerataan dan keadilan.
Kita memiliki pilihan untuk menentukan masa depan kita. Pilihan yang benar haruslah berorientasi pada kemakmuran rakyat banyak.

Menyelamatkan Masa Depan


MINYAK BUMI, MASALAH DAN SOLUSINYA
Menyelamatkan Masa Depan
KOMPAS, 30 April 2013


Pertumbuhan penduduk dan ekonomi selalu berjalan beriringan dengan konsumsi energi. Sumber energi konvensional bahan bakar fosil akan semakin langka dan berpotensi memicu konflik.

Banyak perang besar dan konflik tak berkesudahan disebabkan perebutan sumber minyak bumi. Sebagian sebabnya yaitu kenyamanan hidup yang tak mau diusik. Dalam Earth Summit di Rio de Janeiro tahun 1992, Presiden Bush menegaskan, ”Gaya hidup kami tidak untuk didiskusikan,” saat membahas perubahan produksi dan konsumsi terkait penumpukan gas rumah kaca di atmosfer bumi.

Meski ditemukan sumber-sumber minyak baru, kebutuhan akan melaju. Pun di Indonesia, yang penduduknya diprediksikan 290 juta pada 2030, dengan perkiraan 95 juta adalah orang kaya baru. Kesenjangan kebutuhan energi antarkelas sosial akan terus melebar. Menurut skenario ketahanan energi dalam Indonesia Energy Outlook (2010), pada 2020-2030, bauran energi final masih didominasi BBM 31 persen, gas bumi 23,7 persen, listrik 18,7 persen, batubara 15,2 persen, biomassa 6,1 persen, bahan bakar nuklir 2,1 persen, dan LPG 2,4 persen.

Perlu Kepemimpinan

Pembangunan Indonesia tak bisa lagi hanya bersandar pada bahan bakar fosil dan impor minyak berkelanjutan. Selain menggerus neraca transaksi berjalan, ketahanan energi yang rapuh akan melemahkan perekonomian bangsa. Pertumbuhan kebutuhan energi dalam negeri akan berkompetisi dengan China dan India sehingga Indonesia akan semakin rentan terhadap guncangan pasokan eksternal. Karena itu, ketahanan energi berbasis sumber-sumber domestik yang ramah lingkungan menjadi persoalan kritis saat ini.

Energi terbarukan menjadi topik khusus dalam Asian Development Outlook 2013. Laporan Bank Pembangunan Asia itu mengingatkan, bila negara-negara di Asia tidak mengurangi ketergantungan pada BBM dan mengubah pola konsumsinya, impor minyak Asia diperkirakan naik hampir tiga kali lipat tahun 2035. Konsumsi BBM akan naik dua kali lipat, gas bumi tiga kali lipat, dan batubara naik 81 persen. Dampaknya akan sangat buruk bagi lingkungan dan perkembangan ekonomi.

Indonesia memiliki sejumlah sumber energi terbarukan. Namun, tak ada kebijakan komprehensif untuk sungguh-sungguh mengembangkan sumber energi alternatif. Padahal, Brasil, misalnya, berhasil memperkuat ketahanan energi dengan sumber- sumber domestik, di antaranya dengan teknologi pengolahan tebu menjadi energi bio yang harga per liternya 30-40 persen lebih rendah dari BBM.

Pengembangan sumber energi terbarukan domestik secara masif membutuhkan, antara lain, lahan luas. Tanpa dilengkapi tata kelola yang adil dan setara akan memicu konflik dengan pengadaan lahan untuk pangan. Di Indonesia, ada 17 institusi yang seharusnya bisa dikoordinasikan Menteri ESDM atau presiden langsung. Namun, dibutuhkan strategi dan kepemimpinan yang cerdas agar bisa diimplementasikan secara efektif dan memberikan inspirasi. Kemampuan menciptakan kebijakan komprehensif untuk mengatasi persoalan ini akan memberikan efek berganda, termasuk penghapusan kemiskinan tanpa bantuan langsung tunai, terciptanya lapangan kerja, dan pertumbuhan domestik.

Soal Pilihan

Pemerintah memiliki rencana bauran energi primer yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional. Namun, sampai 2030 diperkirakan bauran sumber energi terbarukan domestik tak bisa mencapai 25 persen, sesuai visi 2025 yang dicanangkan Kementerian ESDM tahun 2011. Itu lebih tinggi dari target 17 persen menurut Perpres No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Salah satu penghambat pemberdayaan energi terbarukan ialah subsidi justru diberikan pada konsumsi BBM. Akibatnya, penggunaan energi terbarukan tidak menarik karena harganya mahal sebab biaya investasinya juga mahal. Padahal, bila bicara investasi masa depan jawabnya adalah energi terbarukan.

Menurut International Sustainable Energy Organization, biaya pengadaan energi terbarukan dari alam, seperti energi matahari, angin, air, arus laut, dan hidrogen, yang masih mahal saat ini justru akan semakin turun di masa depan. Adapun biaya energi tak terbarukan, seperti minyak, gas, batubara, dan nuklir, akan sangat mahal, apalagi kalau diperhitungkan dampaknya terhadap keselamatan manusia dan alam.

Pertanyaannya kembali pada soal pilihan antara yang benar dan yang mudah. Banyak orang bijak mengingatkan, bila kita mau yang serba mudah dan menghindari kesulitan, tak satu pun akan diperoleh. Jadi, silakan memilih!

Jalan Keluar dari Krisis Minyak


MINYAK BUMI, MASALAH DAN SOLUSINYA
Jalan Keluar dari Krisis Minyak
KOMPAS, 30 April 2013


Di tengah meningkatnya konsumsi BBM nasional, Indonesia justru krisis produksi minyak bumi. Situasi ini mengakibatkan negara yang memiliki sumber daya minyak dan gas bumi itu tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan minyak di dalam negeri sehingga volume impor minyak mentah dan BBM kian membengkak.

Ke depan, konsumsi energi di Indonesia dan negara-negara lain di dunia diperkirakan akan terus meningkat. Jika pada 2010 konsumsi energi dunia 12 miliar ton setara minyak, pada 2030 permintaan energi secara global diprediksi menembus angka 16,6 miliar ton setara minyak dengan porsi minyak dan batubara terbesar di antara sumber energi lain. Secara global, Indonesia akan berlomba dengan China, India, Amerika, dan Eropa barat dalam memperebutkan kebutuhan minyak ke depan untuk menopang pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara. Hal ini tentu mengancam ketahanan energi di tengah lambannya proses diversifikasi energi nasional akibat murahnya harga BBM yang disubsidi pemerintah.

Terus Menyusut

Dari sisi cadangan, pada akhir 2011, total cadangan minyak dunia mencapai 1.652 miliar barrel. Dari cadangan total itu, kontribusi Venezuela 17,9 persen dengan total cadangan 296,5 miliar barrel, sedangkan kontribusi negara-negara Timur Tengah 48,1 persen dengan penguasaan cadangan 795 miliar barrel.

Cadangan minyak Indonesia hanya sekitar 2 persen dari cadangan total minyak dunia. Saat ini, cadangan minyak terbukti di Indonesia 3,6 miliar barrel, dan 53 persen sisa cadangan itu terletak di lapangan-lapangan skala besar. Cadangan gas Indonesia 104,25 triliun kaki kubik atau hanya 1,7 persen dari cadangan total gas dunia. Sebagian besar cadangan migas yang belum terbukti berada di laut dalam di kawasan timur Indonesia.

Sejauh ini, cadangan minyak terbukti nasional terus terkuras. Pada 2012, rasio cadangan minyak terhadap produksi hanya 52 persen. Padahal, semestinya setiap produksi 1 barrel minyak digantikan temuan cadangan minyak dengan jumlah sama. Beberapa tahun terakhir, cadangan minyak terbukti terus menurun meski jumlah ladang migas terus bertambah lantaran mayoritas lapangan migas berskala kecil. Kondisi ini berpengaruh pada penurunan produksi minyak 10 tahun terakhir. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) memperkirakan, realisasi produksi minyak nasional tahun ini 830.000-850.000 barrel per hari (bph), jauh di bawah target APBN 2013 yang 900.000 bph.

Akibat produksi minyak terus menurun, pada Mei 2008, Indonesia keluar dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), mengingat Indonesia telah menjadi importir minyak sejak 2003 dan tak mampu memenuhi kuota produksi yang ditetapkan. OPEC mencatat, penurunan produksi terutama karena kurangnya investasi di sektor perminyakan.

Padahal, Indonesia pernah mengalami dua kali puncak produksi minyak, yaitu pada 1977 dan 1995 dengan angka produksi minyak 1,6 juta bph. Setelah produksi minyak nasional mencapai puncaknya untuk kedua kali pada 1995, produksi minyak makin turun dan mengindikasikan bahwa Indonesia telah memasuki masa krisis minyak. Apalagi, mayoritas ladang minyak di Tanah Air telah tua sehingga makin sulit berproduksi.

Untuk mendongkrak produksi minyak agar mencapai 1 juta barrel, andalan utamanya adalah Blok Cepu, dengan puncak produksi minyak sekitar 165.000 bph pada 2014. Akan tetapi, masa puncak produksi blok tersebut diprediksi hanya akan bertahan selama dua tahun, sehingga perlu segera dicari cadangan migas lain untuk menopang produksi minyak nasional.

Krisis produksi minyak yang terjadi saat ini tidak terjadi seketika. Selama beberapa dekade ini, Indonesia tidak memiliki kebijakan pengelolaan energi strategis yang komprehensif dan terpadu, tidak ada perencanaan jangka panjang, dan kebijakan dari sejumlah kementerian bersifat sektoral. Padahal, situasi krisis ini sebenarnya bisa diproyeksikan sejak awal dan bagaimana mengantisipasinya.

Minim Strategi

Pengelolaan penerimaan dari sumber energi migas cenderung berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rutin belanja negara sehingga alokasi dana bagi pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi relatif terabaikan cukup lama. Kebijakan fiskal juga cenderung lebih mengoptimalkan penerimaan negara dari pajak secara sektoral dalam jangka pendek sehingga tidak merangsang bagi pengembangan energi alternatif jangka panjang yang berkesinambungan. Di Norwegia dan Brasil, saat puncak produksi minyak, kedua negara itu menginvestasikan penerimaan negara dari sektor migas untuk mengembangkan industri hulu dan jasa penunjang serta teknologi migas melalui satu kebijakan terintegrasi. Kedua negara itu juga menghemat konsumsi minyak dan cenderung mengembangkan energi baru terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri.

Kurangnya investasi turut menurunkan produksi. Untuk mengatasi masalah pendanaan, Timor Leste, misalnya, pada 2005 membentuk Dana Minyak Timor Leste untuk menempatkan pemasukan dari migas pemerintah. Pembentukan Dana Minyak diperlukan sebagai bentuk pengelolaan sumber daya minyak agar bermanfaat bagi generasi sekarang dan mendatang. Sayangnya kita tak memiliki konsep dana minyak tersebut. Dukungan pemerintah, baik finansial maupun non-finansial terhadap aktivitas eksplorasi dan produksi juga diperlukan untuk menarik minat investor menggarap wilayah kerja migas di Tanah Air, apalagi sebagian besar cadangan migas berlokasi di perairan dalam di kawasan timur Indonesia yang relatif sulit dijangkau. Kepastian hukum dan model kelembagaan pengelolaan migas juga dinantikan kalangan investor.

Tantangan lain yang dihadapi, bagaimana meningkatkan produksi minyak. Secara alamiah, laju penurunan produksi minyak sekitar 12 persen per tahun. Tahun ini, SKK Migas menargetkan laju penurunan produksi minyak 0 persen. Peningkatan produksi hanya bisa dicapai jika pengeboran gencar dilakukan, dan sejumlah kendala di lapangan teratasi, termasuk masalah perizinan dari pemerintah daerah dan maraknya pencurian minyak.

Dengan kondisi mayoritas lapangan migas telah tua, kandungan air dalam minyak makin tinggi sehingga volume produksi menurun. Pengembangan teknologi pemulihan produksi menjadi hal kunci dengan konsekuensi terjadi peningkatan beban biaya produksi minyak. Uji coba pemanfaatan teknologi ini telah dilakukan di sejumlah lapangan migas, dan perlu terus dilakukan untuk meningkatkan produksi.

Di tengah situasi krisis produksi yang terus berlanjut, perubahan paradigma tata kelola migas harus segera dilakukan. Upaya pencarian cadangan migas harus jadi titik berat dalam menjaga keberlanjutan produksi minyak untuk mengoptimalkan penerimaan negara, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan terpenting memberikan manfaat generasi mendatang.

Opsi Mengatasi Krisis BBM


MINYAK BUMI, MASALAH DAN SOLUSINYA
Opsi Mengatasi Krisis BBM
KOMPAS, 30 April 2013


Pemerintah saat ini gagal dalam mengantisipasi krisis bahan bakar.

Ketika Indonesia mengalami puncak kedua produksi minyak 1995, indikasi kita akan memasuki era krisis minyak seharusnya sudah disadari. Sayangnya, beberapa dekade ini kita tak punya kebijakan pengelolaan energi strategis yang komprehensif.

Kini, masyarakat tersandera harga bahan bakar minyak (BBM) yang jauh lebih rendah dari harga keekonomiannya di tengah harga barang dan jasa lain yang terus meningkat. Masyarakat kurang diedukasi mengenai bahaya laten yang mengancam perekonomian dan keuangan negara, sementara subsidi tak tepat sasaran.

Harga BBM bersubsidi yang murah lebih banyak dinikmati pemilik kendaraan pribadi, terutama mobil. Pemakaian Premium hampir seluruhnya (99,76 persen) oleh kendaraan transportasi darat. Dari jumlah itu, 45 persen digunakan kendaraan pribadi mobil, 40 persen sepeda motor, dan sisanya kendaraan komersial. Adapun bahan bakar jenis solar terbesar digunakan truk angkutan barang.

Dengan pemakaian Premium sekitar 100-200 liter per bulan, kelompok rumah tangga pemilik mobil mendapatkan manfaat Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan. Jika separuh dari kelas menengah kita yang 140 juta jiwa (sekitar 35 juta keluarga) bermobil menggunakan Premium, subsidi untuk mereka Rp 8,75 triliun per bulan. Rumah tangga pemilik sepeda motor dengan pemakaian 20 liter Premium per bulan mendapatkan manfaat Rp 100.000 per bulan. Adapun rumah tangga tanpa mobil dan sepeda motor menerima manfaat tak langsung dari harga transportasi dan harga lain sekitar Rp 10.000 per bulan.

Lebih Berkeadilan

Kondisi inilah yang harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengalokasikan BBM bersubsidi lebih berkeadilan. Hasil survei berkala Litbang Kompas dua tahun terakhir menunjukkan, kelompok pemilik mobil, kalangan menengah ke atas, dan berpendidikan tinggi mendukung kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM. Namun, menaikkan harga BBM bersubsidi bukan opsi yang sepenuhnya diinginkan publik.

Sejak tahun lalu, beberapa alternatif mengatasi pembengkakan subsidi BBM sudah diwacanakan pemerintah. Alternatif itu selain menaikkan harga juga membatasi volume pembelian Premium pada kendaraan pribadi, pengalihan Premium oleh kendaraan pribadi ke Pertamax dan bahan bakar gas. Juga pengalihan pemakaian Premium pada kendaraan umum ke BBG atau Premium hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum.

Yang banyak mendapatkan dukungan responden di 12 kota yang disurvei adalah opsi Premium diperuntukkan hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum. Tahun 2012, opsi ini disetujui 61,3 persen responden dan tahun ini disetujui 66,4 persen. Sayangnya, mekanisme pelaksanaan opsi ini belum jelas dan belum bisa diterapkan.

Opsi kenaikan harga merupakan opsi terakhir yang disetujui responden. Hampir seluruh responden (2012: 93,4 persen; 2013: 95 persen) khawatir kenaikan harga BBM bersubsidi akan mendongkrak inflasi. Hanya saja, jika opsi kenaikan harga BBM dianggap lebih realistis, mayoritas responden berpendapat sebaiknya bertahap (2012: 84,7 persen; 2013: 82,5 persen). Kenaikan harga yang ditoleransi Rp 500-Rp 2.000 per liter.

Pertimbangan Waktu

Opsi menaikkan harga BBM tahun lalu lebih banyak didukung responden daripada jika dilakukan tahun ini. Agaknya responden memahami kondisi makroekonomi tahun lalu lebih baik dari saat ini. Tahun ini, meski pertumbuhan tetap tinggi (konsisten di atas 6 persen), bayangan inflasi tinggi menghantui sejak awal tahun. Karena itu, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi harus mempertimbangkan waktu yang tepat. 

Tingkat inflasi Januari-Maret 2013 mencapai 2,43 persen. Hal ini mengindikasikan target inflasi 4,9 persen dalam APBN akan terlampaui. Berdasarkan data historis, puncak inflasi biasanya terjadi Juni-September dengan besaran 2,4 persen per bulan. Inflasi itu dipicu pengeluaran masyarakat terkait biaya liburan dan masuk sekolah tengah tahun serta belanja keperluan puasa dan hari raya.

Pil pahit untuk mengobati perekonomian yang sakit tetap harus ditelan. Ke depannya, tantangan perekonomian akan semakin berat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menciptakan permintaan bahan bakar yang juga tinggi. Sementara, suplai domestik cenderung menurun dan impor pun akan sulit karena kita berebut dengan China, India, AS, dan negara-negara Eropa Barat untuk mendapatkan minyak. Situasi itu akan terjadi di tengah kecenderungan harga minyak mentah dunia yang kian tinggi.

Ancaman inflasi tinggi tetap ada. Jika pemerintah tegas menaikkan harga BBM bersubsidi, diperkirakan sumbangan inflasi 0,7-1,2 persen. Namun, kita punya sejarah saat inflasi mencapai 11,06 persen pada 2008 pertumbuhan ekonomi masih 6 persen. Begitu juga pada 2010. Syaratnya, pemerintah harus menjaga instrumen fiskal dan moneter tetap baik dan menyediakan instrumen proteksi sosial yang tepat bagi masyarakat yang membutuhkan, seperti kelompok miskin, petani, nelayan, serta usaha mikro dan kecil.

Belajar dari Negara Lain


MINYAK BUMI, MASALAH DAN SOLUSINYA
Belajar dari Negara Lain
KOMPAS, 30 April 2013


PT Pertamina tahun lalu mengumumkan bahwa pendapatan bersih pada 2011 sebesar Rp 24 triliun. Jumlah itu meningkat 40 persen dibandingkan tahun 2010.

Namun, dibandingkan perusahaan minyak dan gas bumi di belahan bumi lain, pendapatan bersih mereka juga rata-rata naik 40 persen. Kenaikan itu ternyata terutama ditopang kenaikan harga minyak mentah dunia. Pada saat sama, perusahaan migas Malaysia, Petronas, dan perusahaan migas Brasil, Petrobras, pendapatan bersihnya bahkan tujuh kali lipat Pertamina. Ilustrasi ini menunjukkan pentingnya belajar dari negara lain bagaimana mengapitalisasi cadangan minyak sehingga dapat mengembangkan ketahanan energi dalam negeri. 

Dengan perbandingan itu, akan diketahui apakah tata kelola migas Indonesia sudah tepat.
Tata kelola migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu fungsi kebijakan, regulasi, dan bisnis. Dunia migas mengenal dua jenis tata kelola, yaitu kebijakan dua kaki fungsi dan kebijakan tiga kaki fungsi. Kebijakan dua kaki menggabungkan fungsi regulasi dan bisnis. Penganut kebijakan dua kaki antara lain Malaysia, Angola, Arab Saudi, Rusia, dan Venezuela. Kebijakan tiga kaki adalah pemisahan ketiga fungsi. Penganutnya antara lain Norwegia, Brasil, Aljazair, Meksiko, Nigeria, dan Indonesia.

Selain dua jenis tata kelola ini, sesudah tahun 1999, Angola, Rusia, dan Venezuela meletakkan fungsi kebijakan dan regulasi di bawah kementerian. Di Indonesia, fungsi kebijakan dijalankan pemerintah dan DPR. Fungsi operasi dijalankan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas. Sementara fungsi bisnis dijalankan Pertamina. Sekarang, yang menjadi perdebatan, apakah Indonesia hendak menganut kebijakan tiga atau dua kaki. Apakah perbedaan kebijakan itu berpengaruh pada produksi? Kajian terhadap model kebijakan ini telah dilakukan Mark C Thurber dan kawan-kawan dari Universitas Stanford dengan judul Mengekspor Model Norwegia: Pengaruh Desain Administrasi pada Kinerja Sektor Minyak (Energy Policy, 2011).

Lima negara yang dianggap bagus kinerja hulunya dalam studi ini adalah Norwegia, Brasil, Arab Saudi, Angola, dan Malaysia. Alasannya, pemerintah mereka mendukung eksplorasi dan produksi migas, baik finansial maupun nonfinansial, terlepas dari ada atau tidak adanya pemisahan ketiga fungsi kebijakan, regulasi, dan bisnis. Permasalahan utama itu adalah tata kelola yang terfragmentasi. BUMN yang mengelola migas Indonesia adalah Pertamina. Namun, sumbangan terhadap total produksi minyak siap jual Pertamina hanya 16-17 persen. Ditambah produksi minyak siap jual perusahaan migas swasta nasional, total sumbangan perusahaan migas domestik sekitar 23-24 persen.

Dibandingkan dengan perusahaan migas nasional di sejumlah negara di dunia, produksi Pertamina paling kecil. Saudi Aramco di Arab Saudi, yang terbesar, hampir 100 persen produksi terhadap minyak nasional. Petronas pun menyumbang 60 persen dari total produksi minyak nasional Malaysia. Dari kondisi itu terlihat ada kesalahan tata kelola migas yang sangat fatal. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengatur, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketika diterjemahkan dalam tata kelola migas, tujuannya adalah meningkatkan produksi minyak siap jual.

Produksi minyak jual memerlukan tiga komponen. Pertama, modal sangat besar. Kedua, teknologi yang sangat kompleks. Ketiga, kemampuan mengelola risiko yang cukup baik. Tiga komponen itu hanya dimiliki perusahaan internasional. Perusahaan nasional Indonesia lemah dalam tiga hal ini. Akibatnya, jika produksi minyak jual yang memerlukan tiga komponen itu jadi tujuan, tentu saja tata kelola migas seolah-olah pro-asing.

Nasionalisme Energi

Oleh karena itu, perlu suatu nasionalisme energi yang terukur. Tujuan tata kelola migas adalah membangun industri migas nasional, tetapi tetap menjaga keseimbangan produksi minyak siap jual sehingga tak anti-asing.
Agar suatu tata kelola migas berjalan baik, perlu strategi kompak atau strategi yang komprehensif. Hal inilah yang tak ada di Indonesia. Tak ada seorang pun atau tidak ada satu institusi pun di Tanah Air yang mengambil alih tanggung jawab strategi ”perahu” migas ini mau dibawa ke mana.

Kembali ke pengalaman Norwegia, tahun 1969 ditemukan cadangan migas yang sangat besar di sana. Pemerintah Norwegia bukan mengundang investor atau perusahaan asing, melainkan mendirikan perusahaan migas nasional Statoil. Padahal, saat itu mereka belum mampu mengelola migas. Dengan sejumlah kegagalan, minyak baru bisa diproduksi tahun 1975-1976.

Pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman Norwegia itu adalah mereka menetapkan tujuan dari tata kelola migas, yaitu membangun industri migas nasional. Masalah yang terjadi itu bukan masalah transfer teknologi yang dapat dipelajari tiap hari, tetapi bagaimana mengelola harapan, yaitu bagaimana seluruh komponen bangsa mengerti bahwa kita sedang membangun suatu industri migas nasional. Karena itu, kita harus membayar mahal dengan APBN. Apa yang salah dengan industri migas nasional saat ini? Pengelolaan hasil pendapatan dari sumber energi migas cenderung berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rutin APBN. 

Tujuan utama Indonesia adalah tujuan miopik jangka pendek, yaitu produksi minyak siap jual yang cepat menghasilkan dana segar. Akibatnya, alokasi dana bagi pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi cukup lama relatif terabaikan. Tidak ada dimensi upaya membangun industri pendukung, industri hulu, atau industri hilir.

Contohnya adalah dalam alokasi belanja modal. Belanja modal Petronas hampir sepuluh kali lipat Pertamina. Hal Ini bukan kesalahan Pertamina, tetapi kesalahan negara. Kesalahan itu antara lain dalam hal strategi mengelola modal. Jika Malaysia berorientasi pertumbuhan, Indonesia berorientasi pada laba.

Jika strategi mengelola modal berorientasi pada pertumbuhan, modal dari pendapatan bersih diinvestasikan kembali untuk mendukung pertumbuhan. Pertumbuhan yang dimaksud adalah pembangunan kapasitas, akuisisi riset dan teknologi, serta pembangunan budaya perusahaan. Modal itu juga untuk membiayai proyek-proyek baru. Misalnya, 70 persen laba Petronas dikembalikan ke Petronas sehingga eksekutif punya ruang merespons dinamika pasar karena belanja modal besar.

Laba Pertamina dari tahun 1965 hingga 2000-an yang dikembalikan sebagai investasi hanya 5 persen. Itu 
pun masih dipajaki. Artinya, Pertamina kekurangan modal secara kronis. Akibat dari kekurangan modal kronis dapat dilihat dari perbandingan antara lahan konsesi dan produksi. Lahan konsesi Chevron Indonesia Company, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asal AS, sekitar 5.000-7.000 km2. Lahan konsesi Total E&P Indonesie, KKKS asal Perancis, hanya 2.000-3.000 km2. Bandingkan dengan Pertamina yang memiliki lahan konsesi 140.000 km2.

Namun, produksi Chevron Indonesia Company mencapai 45 barrel per km per hari, Total E&P Indonesie 23 barrel per km per hari, sedangkan Pertamina hanya 0,9 barrel per km per hari.

Kesimpulannya, Pertamina perlu kapitalisasi. Lebih luas dari itu, perlu suatu strategi cerdas, sistematik, dan komprehensif. Yang paling penting lagi, perlu kepemimpinan yang berani, berintegritas, dan memberi inspirasi. Kepemimpinan itu diharapkan mampu menggerakkan seluruh komponen bangsa sehingga strategi itu bisa ditransformasi ke implementasi yang efektif.