Jumat, 26 April 2013

Metamorfosis Ujian Nasional


Metamorfosis Ujian Nasional
Suyitno ;  Peneliti Filsafat Pendidikan di Sekolah Jubilee, Jakarta
TEMPO.CO, 25 April 2013

  
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, ujian nasional (UN) memiliki jejak yang panjang. Sebagai mekanisme uji parameter keberhasilan anak didik mencerna pengetahuan yang ditransferkan, jejak ujian nasional bisa ditelusuri sejak 1965. Seiring perubahan arah mata angin kebijakan pendidikan nasional, ujian nasional mengalami beberapa kali reformulasi. Tepatnya, mengalami metamorfosis.

Pada 1965-1971, pendidikan nasional mengenal yang namanya ujian negara. Masuk tahun 1972-1979, formulasinya diganti menjadi ujian sekolah. Satu tahun kemudian, 1980-2000, berubah lagi menjadi evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas). Memasuki periode 2001-2004, di tengah aura reformasi yang ingin melepas segala memori politik (pendidikan) Orde Baru, Ebtanas berubah menjadi ujian akhir nasional (UAN).

Tak lama kemudian, format UAN pun berubah. Pada 2005, huruf “A” di tengahnya dihilangkan, dan berubah istilah menjadi ujian nasional (UN). Setelah delapan tahun digunakan, untuk sementara istilah UN masih belum tergantikan, hingga 2013 ini. Entah pada masa mendatang, apakah format ujian pendidikan kita akan kembali bermetamorfosis.

Mari kita lihat metamorfosis ujian ini dalam perspektif matematis. Dalam rentang 48 tahun, terjadi lima kali perubahan formulasi ujian pendidikan nasional. Jika dihitung rata-rata, setiap format ujian bertahan sekitar 9,6 tahun. Format ujian yang bertahan paling lama adalah Ebtanas, 20 tahun. Sedangkan yang tercepat ujian akhir nasional (UAN), yakni tiga tahun. Mungkin ini salah satu rekor baru “kompetisi” perubahan format ujian pendidikan antarnegara. Tak banyak negara yang bisa melakukan perubahan “segesit” ini.

Sepertinya ini mengindikasikan adanya problem serius dalam konsep pendidikan kita, ketimbang indikasi betapa dinamisnya pendidikan kita. Perubahan ini tampak seperti gejala ketidakwajaran, ketimbang inovasi. Setidaknya ini bisa dilihat dari dua perspektif.

Pertama, dalam perspektif filsafat pendidikan, konsep pendidikan sebuah negara seharusnya memiliki visi jangka panjang. Membangun basis pendidikan bukanlah kerja instan. Ini investasi masa depan. Hasil positifnya baru akan dirasakan pada masa mendatang. Demikian juga sebaliknya: ketika sebuah negara mengabaikan dunia pendidikannya, efek negatifnya akan dirasakan dalam jangka waktu yang lama.

Jika Korea selatan saat ini memanen buah kemajuan dan menjadi salah satu negara yang sangat inovatif, benihnya telah ditanam sekitar 50 tahun silam. Ladang tempat menanamnya bernama pendidikan. Benihnya adalah kurikulum itu sendiri. Sebaliknya, jika Indonesia kini semakin tertinggal jauh oleh negara tetangga, Malaysia dan Thailand, salah satu penyebab krusialnya adalah degradasi dunia pendidikan di negara kita ini. Fenomena gonta-ganti format ujian yang terlalu sering adalah salah satu indikatornya.

Kedua, jika kita coba mengkomparasikan dengan fenomena pendidikan di negara lain, perubahan format ujian yang terjadi di Indonesia terhitung sangat cepat. Di negara-negara yang pendidikannya maju, ujian jarang sekali mengalami perubahan. Kalaupun berubah, pada sisi-sisi yang teknis saja, bukan formulasinya.

Dilihat dalam dua perspektif di atas, cepatnya metamorfosis format ujian dalam pendidikan Indonesia menunjukkan ketidakmatangan konsep pendidikan kita. Perubahan yang terlalu sering itu bukan indikasi progresivitas, inovatif, dan dinamisnya formulasi pendidikan kita. Tapi sebaliknya: menandakan limbungnya konsep pendidikan kita. Pendidikan kita tidak dipandu oleh basis filosofis yang jelas. Ibarat pemahat, formulasi pendidikan kita seperti terus mencari bentuk, tanpa tahu patung apa yang hendak diciptakan. Pendidikan kita seperti meraba-raba di ruang gelap. Tak tahu arah. Tak tahu di mana berpijak.

Metamorfosis format ujian dalam pendidikan kita tersebut, yang terjadi hingga lima kali, bukannya tanpa dasar argumentasi. Selalu ada pertimbangan di baliknya. Namun sayangnya: pertama, argumentasi atau pertimbangannya tidak substansial; kedua, format perubahannya tidak signifikan; ketiga—ini yang paling penting—jika konsep pendidikan kita matang dan visioner, perubahan format sebagai sebuah langkah antisipatif, revisi, dan penyesuaian terhadap gerak zaman tidak perlu terjadi. Sebab, hal itu seharusnya sudah diprediksi jauh-jauh sebelumnya. Jadi perubahan format ujian dalam pendidikan kita mengindikasikan lemahnya filosofi dan pendeknya visi pendidikan kita.

Signifikansi

Melihat karut-marutnya metamorfosis format ujian dalam sejarah pendidikan nasional, tampaknya kita perlu mendudukkan kembali makna dan fungsi dari ujian itu sendiri. Sejauh mana signifikansinya dan seperti apa idealnya. Dalam perspektif filsafat pendidikan, posisi dan fungsi ujian nasional bisa mendua: bisa penting sekali, tapi bisa juga tidak; bisa strategis sekali, tapi bisa juga tidak; bisa sangat menentukan, tapi juga bisa tidak menentukan sama sekali. Semua tergantung cara pandangnya.

Ujian nasional menjadi penting, strategis, dan menentukan, jika dipersepsikan sebagai alat, bukan tujuan. Filosofinya proses, bukan hasil akhir. Dalam ujian, posisi siswa tetap sebagai subyek pendidikan, bukan obyek. Ujian diposisikan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan dan efektivitas sebuah konsep pendidikan rancangan pemerintah. Jika paradigma ini yang dianut, ujian nasional tentulah sangat penting.

Namun dalam perspektif yang lain, ujian nasional menjadi tidak penting. Alasannya: ujian hanya mencakup satu dimensi dari format pendidikan yang multidimensi. Secara metodologik, pendidikan mencakup tiga aspek: kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Secara paradigmatik, ada tiga dimensi: intelektual, moral-etik, dan intuisional-spiritual.

Sebagai parameter, ujian yang formatnya tertulis (menjawab soal), sebenarnya hanyalah mencakup bagian kecil dari keseluruhan standar parameter. Ujian tertulis tidak boleh dilihat terpisah dan berdiri sendiri dari dimensi pendidikan yang lain (ujian non-tulis: karakter, asah bakat, dan yang lain). Dalam kerangka paradigma inilah, ujian menjadi tidak terlalu penting, karena tidak mewakili seluruh wajah kesuksesan seorang siswa. Posisinya hanya sebagai komplementer. Ujian hendaknya didudukkan dan dirancang dengan spirit filosofi “proses”, bukan “hasil”. Ujian sebagai alat, bukan tujuan.

Formulasi ujian dalam pendidikan nasional sudah berkali-kali mengalami metamorfosis. Normalnya, setiap periode metamorfosis semakin mengarah pada kedewasaan atau kematangan jati diri (pendidikan nasional). Seperti kepompong bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.

Namun tampaknya harapan itu belum dapat terpenuhi. Secara matematis, kuantitas metamorfosis ujian dalam pendidikan kita mungkin yang paling tinggi dibanding negara lain (5 kali dalam 48 tahun). Namun kualitasnya masih di bawah. Usianya “dewasa”, tapi karakteristik jati dirinya masih tetap “kanak-kanak”, karena setiap proses metamorfosis tidak mengarah pada kematangan anatomi, tapi malah perubahan genetika. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar