Kerusakan hutan sungguh
memprihatinkan. Dampak berupa banjir dan longsor pada musim hujan serta
kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau telah menjadi masalah kita
bersama.
Perusak hutan seharusnya jadi
musuh bersama. Namun, kesepakatan membuat undang-undang untuk memberantas
perusakan hutan ternyata jadi soal lain. Kini bola panas legislasi
kehutanan bergulir di Senayan. Rancangan UU Pemberantasan Perusakan Hutan
(PPH) menuai kontroversi di tengah menghangatnya suhu politik menjelang
Pemilu 2014.
Sejumlah pihak telah melontarkan
komentar miring atas RUU ini. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian
Hutan, Dewan Kehutanan Nasional, dan Komnas HAM telah mengkritik dan
menolak RUU yang dinilai banyak mengandung cacat ini.
Cacat Proses dan Isi
Analisis Koalisi Masyarakat
Sipil menunjukkan sejumlah cacat politik hukum yang melekat dalam proses
pembahasan dan isi RUU ini. RUU ini juga dianggap bukan kebutuhan
mendesak, bahkan bisa menambah tumpang tindih peraturan yang ada.
RUU ini dinilai cacat dari
proses pembentukan ataupun aspek substansi yang dikandungnya. Substansi
RUU ini membuka potensi kerugian masyarakat juga bagi upaya melestarikan
hutan. Kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan lokal yang hidup di
hutan pun dapat dengan mudah terjadi. Di lain sisi, RUU ini diprediksi
tak akan mampu menghentikan degradasi hutan dan tak akan berkontribusi
pada pemulihan kerusakan hutan. RUU ini bahkan berpotensi menghambat
upaya pemberantasan korupsi di sektor kehutanan.
Padahal, isu krusial status
tanah di kehutanan sebagai inti masalah yang harusnya dituntaskan belum
tersentuh. Isu penguasaan tanah di kawasan hutan mestinya diutamakan
daripada membuat UU baru yang mengkriminalisasikan rakyat sekitar hutan.
Kini, sejumlah momentum guna
membenahi kebijakan kehutanan telah tersedia. Nota kesepakatan bersama 12
kementerian/lembaga tentang ”Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan”, di
bawah supervisi KPK dan UKP4, perlu digenjot implementasi aksinya.
Kesepakatan baru ini jangan hanya ”baru kesepakatan”. Butuh aksi nyata
yang sistematis.
Momentum lain, uji materi UU
Kehutanan di Mahkamah Konstitusi berkenaan status tanah adat di kawasan
hutan kini dinantikan keputusannya. Revisi UU Kehutanan Nomor 41 Tahun
1999 sebagai agenda Prolegnas di DPR hendaknya segera digulirkan.
Banyak pihak mengingatkan RUU
PPH ini bisa menambah karut-marut konstruksi hukum. Jika diteruskan,
bukan menjawab permasalahan pembenahan tata kelola hutan, melainkan
justru makin mengkriminalisasi dan memosisikan rakyat sebagai pencuri.
Faktanya, sekitar 30.000 desa ada di kawasan hutan dan belum jelas
statusnya.
Menuju Keadilan Agraria
Selama ini perhatian pemerintah
terhadap masyarakat miskin yang hidup di sekitar hutan sangat minim.
Pihak yang bergantung secara langsung dengan hutan bukan hanya masyarakat
adat, melainkan juga masyarakat lokal sebagai warga negara rentan yang
sering kali tidak menjadi perhatian khusus dalam pelaksanaan pembangunan.
Pelaksanaan kebijakan yang tak
adil setiap saat dapat menjadi pemicu konflik. Apalagi, jika pelaksanaan
RUU PPH ini hanya akan memperhatikan bukti-bukti sah/legal atas lahan dan
hutan masyarakat adat/lokal yang tentunya bukti itu tidak ada di sebagian
besar lokasi.
Di Jawa saja sekitar 4.500 desa
berada di kawasan hutan. Dalam operasi hutan lestari, perusahaan
kehutanan dan aparat keamanan kerap memanipulasi keadaan dan berdampak
pada polemik izin pengelolaan hutan. Polemik hukum antara pemerintah dan
masyarakat juga kerap terjadi. Di sisi lain, perjanjian internasional
kehutanan kerap merugikan posisi masyarakat.
Saat ini yang ditunggu ialah
implementasi TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam serta UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
Pelaksanaan konsensus nasional ini mesti mewujudkan keadilan agraria,
penyelesaian konflik, dan pemulihan ekologi dengan memassifkan peran
aktif rakyat.
Daripada gaduh memaksakan RUU
PPH lebih baik matangkan langkah pembaruan penguasaan tanah di kawasan
kehutanan sebagai agenda krusial reforma agraria. Intinya, berikan akses
dan kontrol kepada rakyat miskin untuk menguasai dan mengusahakan tanah
serta hutan secara adil dan berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar