Kata
“politik” telah melahirkan dua persepsi yang berbeda. Seorang awam yang
hidup dalam sebuah negara dengan situasi politik yang baik akan
bepersepsi bahwa politik adalah segala daya upaya dengan menggunakan
kekuasaan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Negara di
bawah kendali para politikus yang sedang berkuasa dipandang sebagai
struktur yang bekerja untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Sedangkan orang awam yang hidup dalam situasi politik yang sebaliknya
akan bepersepsi yang sebaliknya pula. Negara tak lain merupakan alat bagi
para penguasanya untuk mengeksploitasi dan menindas rakyat.
Lantas karena
secara faktual kekuasaan politik sering diselewengkan, maka persepsi
negatif tentang politik, seperti politik itu jahat, politik itu buruk,
dan semacamnya semakin menguat dan menjadi lebih kuat dibandingkan
persepsi positifnya.
Kalangan
ilmuwan politik yang objektif dan tepat menempatkan sudut pandang, dengan
keluasan wawasan dan pengetahuan tentang politik, oleh karena itu, bisa
memahami bahwa politik sejatinya memiliki dua wajah Janus, sebuah istilah
yang muncul karena terinspirasi oleh figur salah satu dewa dalam mitologi
Yunani kuno yang memiliki wajah ganda, tetapi dalam posisi yang
berkebalikan.
Dari sudut
pandang itu, tampak bahwa secara faktual politik memang bisa menjadi
sarana untuk memperjuangkan dan mewujudkan kebaikan bersama dengan skala
yang besar dan luas karena berskala negara, tetapi juga sebaliknya; bisa
menjadi alat untuk membuat kerusakan yang dahsyat tak terperikan. Wajah
Janus politik yang mana yang akan tampak sangat ditentukan oleh para
aktor politik yang sedang mendominasi.
Di mana pun,
kapan pun, dalam sistem politik apa pun, aktoraktor politik yang
mendominasi itulah yang menentukan kebijakankebijakan politik yang
bersifat mengikat seluruh warga negara. Jika mereka baik, maka negara
akan menjadi sarana untuk melahirkan segala kebaikan. Begitu juga
sebaliknya. Karena itu, sistem politik apa pun, baik monarki,
aristokrasi, maupun demokrasi, memiliki potensi yang sama.
Sebab, semua
sistem politik tersebut telah menunjukkan prestasi dan kegagalan. Sistem
politik yang demokratis pun bisa melahirkan pemimpin politik yang tidak
kompeten, bahkan otoriter. Sistem demokrasi melahirkan pemimpin politik
yang juga demokratis adalah sebuah ideal yang dalam praktiknya tidak
selalu demikian.
Bahkan para
filsuf Yunani kuno tidak menyukai sistem politik demokrasi dan lebih
memilih sistem aristokrasi, karena mereka berpandangan bahwa sistem
politik demokrasi berpotensi lebih besar melahirkan politisi dengan kualitas
medioker. Namun, dalam sejarah politik, kecenderungan kuat mereka
terlihat sangat jelas dari konsep kepemimpinan yang mereka idealkan,
yakni raja filosof (the philosopher
king).
Tentu tidak
ada konsep raja dalam sistem demokrasi. Sistem demokrasi pada dasarnya
tidak mengakomodasi keberadaan seseorang yang menjadi penguasa tunggal.
Negaranegara demokratis yang sampai saat ini di dalamnya juga terdapat
struktur kekuasaan yang diduduki oleh raja sesungguhnya adalah
negara-negara yang sebelumnya menganut sistem monarki dan kemudian
mengakomodasi sistem demokrasi karena desakan masyarakat terhadap pihak
kerajaan, sehingga kemudian muncullah bentuk monarki baru yang disebut
sebagai monarki konstitusional.
Langkah Perbaikan
Pada dasarnya
politisi bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dalam negara hukum
sekalipun mereka bisa melakukan apa saja sekehendak hati mereka, karena
hukum sebuah negara tidak lain adalah produk politik. Jika mereka merasa
tidak suka terhadap peraturan atau undang-undang tertentu, maka mereka
bisa mengubahnya setiap saat mereka mau. Tentu saja melalui proses
politik juga.
Karena itu,
agar politik tidak lagi menampakkan wajah Janus dan yang tampak hanyalah
wajah yang baik, maka politik harus diisi oleh politisi yang baik. Jika
politik dikuasai oleh orang-orang jahat, maka keadaan politik yang
sebelumnya baik akan segera berubah. Sebab, peraturan yang baik bisa
mereka ubah sewaktu-waktu mereka mau, sehingga politik akan menampilkan
wajah buruk.
Namun, untuk
melahirkan politisi yang baik bukanlah perkara mudah. Dalam sistem
politik demokrasi, pejabatpejabat publik yang ada dalam struktur-struktur
negara sesungguhnya cerminan masyarakat. Sebab, merekalah yang memiliki
kedaulatan untuk memilih dalam pemilu. Rakyatlah yang menentukan siapa
yang mereka inginkan untuk menduduki posisi-posisi politik strategis
tertentu.
Secara
sederhana, bisa dikatakan bahwa jika rakyat buruk, maka mereka akan
mendapatkan pemimpin yang seperti mereka juga. Jika rakyat suka disuap
dengan praktik politik uang dalam pemilu, maka bisa dipastikan bahwa yang
akan mendapatkan kekuasaan adalah mereka yang korup. Namun, tidak
sebaliknya: rakyat baik belum tentu akan melahirkan pemimpin yang baik.
Sebab, orang
yang buruk bisa berkamuflase menjadi seolah- olah baik. Tidak sebaliknya:
orang baik tidak akan mau dan tidak akan mungkin berkamuflase menjadi
orang jahat. Dalam konteks ini, secara sederhana bisa dikatakan bahwa
potensi keburukan dalam politik sesungguhnya lebih besar dibandingkan
potensi terjadinya kebaikan.
Sebab, niat
busuk bisa disembunyikan, bahkan dikemas dengan kemasan yang baik yang
saat ini marak dalam bentuk politik pencitraan. Untuk melakukan
perbaikan, diperlukan orang-orang yang memiliki semangat profetik.
Kelompok ini dituntut memiliki kegigihan dalam melakukan segala bentuk
upaya perbaikan dalam masyarakat, sebagaimana para nabi yang hadir pada
masyarakat yang rusak berat.
Dalam situasi
politik yang buruk, para nabi dan orangorang terpilih mengambil jalan
kultural untuk mendidik masyarakat, sehingga mereka kemudian memiliki
kesadaran yang cukup untuk menangkap semangat perbaikan. Pada awalnya
mereka sangat minoritas, bahkan di antaranya sendirian. Lalu, karena
kegigihan mereka memperkenalkan kebenaran dan kebaikan, mereka diikuti
oleh banyak orang yang telahtercerahkan.
Secara umum,
itu tidak terjadi secara instan, tetapi membutuhkan waktu belasan, bahkan
puluhan tahun. Kegigihan dan kesabaran itulah yang akan membawa hasil
berupa perbaikan. Tidak sedikit pula di antara para nabi dan pejuang
perbaikan itu mati, dibunuh oleh kaum mereka sendiri, karena dianggap
menyalahi kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
Keburukan
yang telah mentradisi biasanya dianggap sebagai kebenaran. Itulah risiko
perjuangan, dan tentu saja semacam itu pula risiko perjuangan politik
hingga saat ini. Mungkin tidak mati karena kehabisan darah dan kehilangan
nyawa, tetapi terbunuh karena karakternya dimatikan oleh lawan-lawan
politik yang menggunakan segala macam cara untuk menghentikan upaya
perbaikan.
Karena
itulah, pribadi-pribadi politisi yang berani menanggung risiko (risk taker) dan selalu berpikir
tentang keberhasilan perjuangan selalu dibutuhkan. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar