Kamis, 25 April 2013

Catatan atas RUU KUHAP


Catatan atas RUU KUHAP
Nyoman Serikat Putra Jaya ;  Guru Besar Hukum Pidana Undip
KOMPAS, 25 April 2013

  
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi hukum sedang giat membahas RUU KUHP dan RUU KUHAP. Inilah konsekuensi reformasi di bidang hukum, khususnya materi hukum.
RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimaksudkan untuk menggantikan KUHAP yang dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum yang mengglobal, khususnya bidang hak asasi manusia. Apalagi Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia dengan UU Nomor 5 Tahun 1998; Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan UU No 12/2005; serta Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003, dengan UU No 7/2006, yang mengharuskan penyesuaian ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.
Perancang RUU KUHAP tampaknya berusaha mengadopsi beberapa ketentuan yang diakui internasional sehingga memenuhi standar internasional. Meski demikian, ada beberapa yang perlu dikaji.
Sakit Ingatan atau Sakit Jiwa
RUU KUHAP membuat terobosan dalam hal seseorang memberikan keterangan di depan sidang. Menurut KUHAP saat ini hanya terbatas pada seseorang yang sehat jasmani-rohani. Namun, Pasal 161 RUU KUHAP memberi peluang kepada seseorang yang sakit ingatan atau sakit jiwa memberikan keterangan tanpa sumpah atau janji. Bunyinya: Seseorang yang dapat diminta memberikan keterangan tanpa sumpah atau janji adalah: a. anak yang belum berumur 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin; b. orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa.
Dengan demikian, kita akan dapat menyaksikan di persidangan perkara pidana seseorang yang menderita sakit ingatan atau sakit jiwa memberikan keterangan guna membuktikan kesalahan terdakwa. Penjelasan Pasal 161 RUU KUHAP menerangkan: Mengingat bahwa anak yang belum 15 (lima belas) tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila, meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psikopat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Untuk itu, yang bersangkutan tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan dan hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Padahal, menurut Pasal 175 Ayat (1) RUU KUHAP: Alat bukti yang sah mencakup: a. barang bukti; b. surat-surat; c. bukti elektronik; d. keterangan seorang ahli; e. keterangan seorang saksi; f. keterangan terdakwa; dan pengamatan hakim. Ini artinya, petunjuk yang menurut KUHAP berlaku saat ini sebagai alat bukti, menurut RUU KUHAP tidak termasuk alat bukti sehingga akan menimbulkan persoalan di kemudian hari saat RUU KUHAP diberlakukan.
Jalur Khusus
Jalur khusus dalam RUU KUHAP tampaknya diadopsi dari lembaga plea bargaining yang dikembangkan dalam criminal justice system negara-negara yang termasuk keluarga hukum Anglo Saxon, khususnya di Amerika Serikat. Lembaga plea bargaining ini menawarkan kepada terdakwa jalur yang tidak begitu rumit dan penerapan ketentuan pidana yang lebih ringan apabila terdakwa mengaku bersalah serta mengakui perbuatannya.
Pasal 199 RUU KUHAP memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk mengakui semua perbuatan yang didakwakan. Bila ia mengaku bersalah setelah penuntut umum membacakan surat dakwaan, maka penuntut umum dapat mengalihkan acara dari acara pemeriksaan biasa ke sidang acara pemeriksaan singkat, terbatas pada tindak pidana yang diancam pidana penjara tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun.
Pengakuan terdakwa harus diberikan dengan sukarela dan dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum. Konsekuensi dari pengakuan terdakwa adalah hak-hak yang diperoleh terdakwa terkait pemeriksaan perkara menjadi hilang, terdakwa dianggap melepaskan hak-hak yang dijamin oleh undang-undang. Dengan pengakuan bersalah, terdakwa mendapat keringanan dalam pemidanaan berupa pengurangan dan tidak boleh dijatuhi pidana melebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak pidana yang didakwakan.
Jalur khusus melalui pengakuan bersalah dari terdakwa tidak berlaku secara mutlak, tergantung pada hakim yang memeriksa. Hakim dapat menolak pengakuan terdakwa sepanjang hakim ragu-ragu terhadap kebenaran pengakuan itu.
Saksi Mahkota
RUU KUHAP melalui Pasal 200 mengadopsi pemikiran yang berkembang di masyarakat bahwa dalam tindak pidana tertentu yang melibatkan beberapa orang pelaku, seperti dalam perkara korupsi, salah seorang di antaranya dapat dijadikan justice collaborator. Saksi mahkota selama ini dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia, di mana seorang terdakwa bisa menjadi saksi atau terdakwa yang lain dan begitu sebaliknya. Berarti pada saat menjadi terdakwa boleh mengingkari/berbohong, tetapi pada saat menjadi saksi tidak boleh berbohong atau memberikan kesaksian palsu.
Melalui RUU KUHAP, peluang seorang yang berstatus sebagai terdakwa dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama; asal peranan terdakwa dalam mewujudkan tindak pidana paling ringan dan dapat dibebaskan dari tuntutan pidana sepanjang yang bersangkutan membantu mengungkapkan keterlibatan tersangka lain. Hakim pengadilan negeri, dengan kebijakannya, dapat mengurangi pidana terdakwa yang mengaku bersalah dan membantu secara subtantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain. Penentuan tersangka/terdakwa menjadi saksi mahkota ditentukan penuntut umum.
Dengan diadopsinya saksi mahkota dalam RUU KUHAP, praktik yang terjadi selama ini, di mana beberapa terdakwa dipisah dengan tujuan memperoleh alat bukti berupa keterangan saksi, tidak lagi menimbulkan permasalahan.
Kita berharap, di samping pembahasan RUU KUHAP, juga dibahas RUU KUHAP dan sekaligus dipersiapkan RUU Pelaksanaan Pidana yang sudah sewajarnya menyesuaikan dengan RUU KUHP. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar