Kamis, 25 April 2013

Pancasila sebagai Pilar Bangsa


Pancasila sebagai Pilar Bangsa
Lukman Hakim Saifuddin ;  Wakil Ketua MPR RI
KOMPAS, 25 April 2013
  

Sudah tiga tahun lebih Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia memasyarakatkan ”Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” (disingkat Empat Pilar).
Selama itu pula antusiasme masyarakat amat tinggi menyambut baik dan mengapresiasinya, seraya berharap substansi materi, cakupan wilayah dan komunitas, serta metodologinya dapat lebih dikembangkan.
Kini, setelah lebih dari tiga tahun, muncul pandangan bahwa menamakan dan menyamakan Pancasila sebagai pilar merupakan sesat pikir. Pandangan itu dilandasi paham bahwa pilar tak sama maknanya dengan dasar. Pilar diartikan sebagai tiang penyangga, sementara Pancasila adalah dasar kita bernegara. Apakah pilar hanya punya satu makna, yaitu tiang penyangga? Apakah pandangan itu sekadar kesalahpahaman ataukah pahamnya yang salah?
Makna Pilar
Pemasyarakatan Empat Pilar—sesuai amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang dijabarkan dalam Peraturan Tata Tertib MPR—bukan semata karena adanya perubahan konstitusi sehingga perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Pentingnya pemasyarakatan ini juga lebih didorong oleh kondisi bangsa yang ditengarai tengah mengalami krisis karakter.
Lunturnya nilai-nilai jati diri bangsa terlihat nyata pada perilaku pelanggaran norma moral dan hukum, tumbuhnya ideologi asing, meluasnya praktik ketakadilan dan kesenjangan sosial, maraknya perilaku koruptif, aksi kekerasan dan intoleran, meningkatnya eskalasi gerakan separatisme, juga mewabahnya perilaku main hakim sendiri.
Dilandasi kesadaran itu, MPR mengembangkan konsep dengan kemasan ”Empat Pilar”. Dimaksudkan bukan sekadar menjawab perlunya sosialisasi UUD 1945 hasil reformasi yang telah mengalami perubahan, melainkan utamanya untuk membangkitkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Penggunaan istilah Empat Pilar didasarkan pada pertimbangan obyektif bahwa ada empat hal yang dianggap paling relevan dengan kebutuhan saat ini untuk diangkat kembali guna mengatasi berbagai tantangan krisis jati diri bangsa. Kata ”pilar” digunakan karena dianggap paling tepat untuk mengantar pemahaman akan sesuatu yang amat mendasar terkait dengan empat hal itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pilar mengandung banyak makna. Ia tak hanya berarti ’tiang penguat’. Pilar juga bermakna ’dasar’, ’pokok’, atau ’induk’. Maka, jika Pancasila dikatakan sebagai pilar bangsa, tentu pilar dalam maknanya sebagai dasar, bukan dalam artian sebagai tiang penguat atau tiang penyangga.
Penggunaan istilah Empat Pilar terkait juga pertimbangan teknis komunikasi efektif, yang mensyaratkan adanya pesan yang jelas, sederhana, dan benar-benar dibutuhkan sehingga pesan sosialisasi berhasil mencapai sasaran. Istilah Empat Pilar dimaksudkan untuk membantu masyarakat memahami pesan komunikasi dengan cepat. Pengucapan ”Sosialisasi Empat Pilar” tentu jauh lebih ringkas dibandingkan pengucapan lengkap ”Sosialisasi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”.
Tentu antara satu pilar dan pilar lainnya tidak dalam posisi yang sama. Masing-masing punya kedudukan dan fungsinya sendiri. Bagaimana mungkin menyejajarkan Pancasila dengan UUD 1945? Atau menyetarakan Pancasila dengan NKRI? Tentu tak mungkin karena tak tepat.
Pancasila adalah norma fundamental negara yang telah menjadi konsensus nasional sejak Indonesia merdeka. Pancasila sebagai dasar negara sekaligus merupakan sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian, kedudukan Pancasila tentu tak bisa disamakan, apalagi tergantikan, dengan konstitusi sekalipun.
Penggunaan istilah Empat Pilar juga bukan hendak menafikan pilar-pilar bangsa yang lain di luar yang empat itu. Selain yang empat, tentu masih banyak pilar bangsa yang juga punya peran dan fungsinya sendiri dalam ikut merawat keindonesiaan kita. Sebutlah seperti bahasa Indonesia, bendera Merah Putih, atau lagu Indonesia Raya. Kalaulah kemudian hanya Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat sebagai Empat Pilar, ini semata karena empat itulah yang menjadi prioritas untuk selalu menjadi ingatan kolektif bangsa dalam konteks kekinian kita menghadapi globalisasi.
Wacana Itu Sudah Usai
Penggunaan istilah Empat Pilar pada hakikatnya ingin meneguhkan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Pancasila tetaplah dasar negara meski pada saat bersamaan dilekatkan dengan istilah atau ungkapan yang beragam. Kita sering mendengar istilah semisal Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila adalah perjanjian luhur bangsa, dan lain sebagainya. Bung Karno pun sebagai penggali Pancasila pernah memaknainya sebagai bintang penuntun arah (leidstar) perjuangan bangsa.
Ini menunjukkan terdapat betapa banyak keragaman fungsi atau peran Pancasila bagi bangsa dan negara kita. Keragaman makna seperti itu tentu tak akan menggoyahkan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara.
Wacana soal Pancasila sebagai dasar atau bukan itu sudah lama usai. Kita jangan lagi kembali ke belakang. Mari gunakan energi yang ada untuk merealisasikan institusionalisasi dan internalisasi nilai-nilai Empat Pilar itu di tengah perubahan yang sedang dan akan terus terjadi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar