Pada 24 – 25 Apil 2013,
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-22 The
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) kembali digelar di
Brunei Darussalam. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta
delegasi pun sudah berada di Negeri Kesultanan itu untuk turut
berpartisipasi dalam agenda tahunan tersebut.
Sedikit berbeda dengan pagelaran KTT ASEAN sebelumnya,
pertemuan kali ini rasanya patut untuk dicermati secara seksama. Hal itu
disebabkan adanya dua isu penting yang saat ini sedang menjadi bola panas
di negara-negara Asia Tenggara. Isu pertama adalah terkait ketegangan
yang meningkat di kawasan Laut Cina Selatan. Sementara isu kedua terkait
rencana implementasi ASEAN Community yang akan menjadikan 10 negara ASEAN
sebagai komunitas tunggal.
Sebagaimana diketahui, manuver China dengan mengerahkan
angkatan lautnya ke Kepulauan Spratly pada Maret lalu, mengundang
kemarahan banyak negara di Asia Tenggara. Sikap ini dipandang tidak
menghormati proses yang sedang berjalan dalam menentukan negara mana yang
paling berhak mengelola kawasan kaya mineral itu. Kepulauan Spratly
sendiri, selain China, saat ini masih dipertentangkan kepemilikannya oleh
Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Namun hemat saya, selain masalah meningkatnya
ketegangan di wilayah Laut China Selatan, rencana implementasi ASEAN
Community juga harus menjadi perhatian utama. Sebagai negara terbesar di
Asia Tenggara, peran Indonesia tentu sangat diharapkan dan ditunggu agar
pelaksanaannya betul-betul berjalan sesuai waktu yang ditentukan. Namun
pertanyaannya, sudah siapkah Indonesia menghadapi ASEAN Community?
ASEAN Economic Community
Sejatinya, banyak kalangan sangsi bahwa Indonesia akan
mampu menghadapi rencana pengintegrasian kawasan ASEAN menjadi satu
komunitas tunggal (Asean Community). Masih terbengkalainya penyediaan
sarana infrastruktur, lemahnya daya saing, serta ketergantungan terhadap
barang impor menjadi beberapa alasan utama.
Padahal, rencana implementasi ASEAN Community tinggal
satu setengah tahun lagi. Seperti tertuang dalam Declaration Of ASEAN
Concord II (Bali Concord II) pada Oktober 2003, Komunitas Tunggal
Masyarakat Asia Tenggara ini akan diberlakukan pada tahun 2015 mendatang.
Kesepakatan ASEAN Community sendiri berisi komitmen
pengintegrasian tiga sektor utama, antara lain ASEAN Security Community
(ASC), ASEAN Economic Community (AEC), dan Asean Socio-Cultural Community
(ASCC).
Dari tiga pilar utama penyatuan di atas, sektor
integrasi ekonomi atau ASEAN Economic Community (AEC) sepertinya menjadi
perhatian tersendiri bagi Indonesia. Kesangsian banyak pihak bahwa kita
mampu menghadapinya, membuat Presiden SBY harus membentuk komite khusus
untuk menghadapinya. Dan tugas komite khusus ini diserahkan kepada Menko
Perekonomian Hatta Rajasa sebagai ketua hariannya.
Di antara tugas komite khusus ini adalah membuat kajian
masalah-masalah yang kemungkinan dihadapi dalam realisasi AEC sekaligus
menyusun daftar peluang yang mungkin bisa dimanfaatkan secara baik.
Komite khusus ini nantinya akan bekerja sama dengan HIPMI, Kadin,
akademisi, dan praktisi-praktisi ekonomi lainnya di tanah air guna merumuskan
persiapan yang lebih matang.
Rasanya, cukup wajar apabila pemerintah waspada
terhadap AEC. Pengintegrasian wilayah ASEAN itu berarti menciptakan pasar
dengan cakupan wilayah seluas 4,47 juta km persegi dengan jumlah penduduk
mencapai kurang lebih 601 juta jiwa. Kondisi ini tentu menjadi peluang
bagi Indonesia, sekaligus merupakan tantangan yang harus dihadapi.
AEC sendiri nantinya akan berisi empat hal penting. Pertama, ASEAN akan
menjadi wilayah dengan aliran bebas barang, bebas jasa, bebas investasi,
bebas tenaga kerja terdidik, dan bebas modal (single market and production base). Kedua, ASEAN
diharapkan bisa menjadi kawasan dengan daya saing yang tinggi (a highly competitive economic region). Ketiga, ASEAN
diharapkan menjadi wilayah dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan
elemen pengembangan usaha kecil menengah (a region of equitable economic
development). Keempat, ASEAN menjadi wilayah yang betul-betul
terintegrasi dengan perekonomian global (a region
fully integrated in to the global economy).
Infrastruktur dan Daya Saing
Sejatinya, dengan catatan manis pembangunan ekonomi
Indonesia saat ini, kita tak perlu terlalu hawatir dengan akan
diberlakukannya AEC pada 2015. Pengalaman diberlakukannya Asean Free
Trade Area (AFTA) sejak 2002 silam, ternyata makin mengangkat pertumbuhan
ekonomi kita. Bahkan selama empat tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi
Indonesia tak pernah dibawah 6 persen.
Baru-baru ini, lembaga riset bisnis dan ekonomi yang
sangat terpandang di dunia, The McKinsey Global Institute, menerbitkan
laporannya berjudul “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s
Potential”. Dalam
laporan itu, Indonesia diprediksi akan mengalami kecenderungan kejayaan
di masa depan terkait pembangunan ekonomi. McKinsey menyebut, pada tahun
2030 Indonesia diperkirakan akan menempati peringkat ke-7 ekonomi
terbesar dunia, sesudah Cina, AS, India, Jepang, Brazil, Rusia.
Meski demikian, hal itu tak kemudian harus membuat kita
jumawa. Masih lemahnya daya saing dan pembenahan infrastruktur, harus
menjadi prioritas kewaspadaan. International Finance Corporation (IFC)
pernah menyebut, untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik,
daya saing Indonesia masih kalah jauh dengan Thailand dan Malaysia.
Indonesia hanya menempati posisi 129, sementara Thailand dan Malaysia
sudah ada diperingkat 17 dan 18.
Selain itu, meski menjadi idola tujuan investasi,
sejatinya iklim investasi di Indonesia juga belum begitu baik. Selama
tahun 2012, Asia Business Outlook the
Economist Corporate Network mengatakan
bahwa Indonesia masih kurang luwes terhadap para investor. Besarnya beban
logistic cost dan pelayanan birokrasi menjadi penyebab utamanya.
Namun begitu, kita patut bersukur karena pemerintah
sepertinya serius melakukan pembenahan. Dalam memperbaiki infrastruktur
misalnya, tahun 2013, belanja infrastruktur dari pembiayaan APBN mencapai
Rp 203 triliun, dari APBD mencapai Rp 90 triliun, dan dari swasta serta
BUMN mencapai Rp 140 triliun.
Memang sudah selayaknya pembenahan dilakukan oleh
pemerintah. Kondisi yang terjadi di India bisa menjadi pembelajaran.
Diproyeksi akan terus tumbuh, pembangunan ekonomi India saat ini malah
mengalami penurunan akibat tak bisa menyelesaikan persoalan infrastruktur
yang menjadi menu wajib penopang baiknya pembangunan ekonomi. Tentu kita
tidak mengharapkan hal itu akan menimpa Nusantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar