Jumat, 26 April 2013

Caleg


Caleg
Syafiq Basri Assegaff ;  Konsultan Komunikasi, pengajar di Universitas Paramadina dan The London School of Public Relations, Jakarta
INILAH.COM, 25 April 2013

  
Sudah jamak pada setiap menjelang pemilu, hiruk pikuk pendaftaran calon legislatif mewarnai berbagai media. Orang berbondong-bondong mengajukan diri sebagai yang hebat, yang pantas dipilih, yang paling tepat mewakili pemilih.

Orang berebutan nomor cantik dan lokasi paling memungkinkan bagi dirinya untuk dipilih sebagai anggota legislatif. Para calon legislatif (caleg) itu pasti punya semangat tinggi.
Dada mereka membusung, dan lidah yang siap memberondongkan berbagai janji. Ratusan juta atau milyar rupiah mulai disiapkan, di rekening atau dalam dompet mereka – untuk modal kampanye di tengah para calon pemilih.

Dan para calon pemilih itu sekarang sudah makin pandai dan kritis. Meski mungkin akan menerima uang dari beberapa caleg, mereka lebih paham siapa sebenarnya yang kelak harus dipilih di bilik pencontrengan.

Dalam bahasa komunikasi, siapa yang akhirnya dipilih itu sebuah ‘outcome’, alias hasil akhir yang paling diharapkan setiap caleg. Outcome itu jauh lebih penting dari ‘output’ seperti iklan, spanduk, pidato kampanye, seminar, talk show, jamuan makan untuk memanjakan khalayak, dan sebagainya -- yang lazimnya merupakan keluaran atau kegiatan yang dilakukan sang caleg dan tim suksesnya.

Ibarat penjualan produk, maka outcome ‘siapa yang akhirnya dipilih’ itu serupa dengan ‘barang mana yang akhirnya dibeli’ oleh pasar yang menjadi sasaran. Berhubung kini persaingan ‘pasar’ pemilih kian ketat, dan rata-rata semakin pintar, otomatis para calon anggota DPR itu mesti lebih smart dalam melakukan strategi.

Jangan mudah yakin pada khalayak yang tampaknya senang menerima ‘promosi’ Anda berupa uang, karena itu bisa jadi dianggap sebuah ‘suap’ atau minimal ‘hadiah’ dari Anda – sementara urusan di TPS nanti hanya Tuhan yang tahu.

Layaknya orang membeli produk, sangat boleh jadi mereka akan mencoba berbagai produk pesaing lebih dulu – dan saat pemilu para calon legislator itu dianggap sebagai para pesaing yang memperebutkan pemilih. Alih-alih dari menjadi ‘pasar’, para pemilih yang makin pandai itu kini justru menjadikan para caleg sebagai ‘pasar’ mereka.

Maka, kini terpulang kepada para caleg, bagaimana mereka bisa menggiring calon pemilih secara meyakinkan sehingga akhirnya mereka menjadi konstituen sang caleg.
Para caleg idealnya tidak hanya mengharapkan khalayaknya menjadi pemilih dirinya. Tetapi lebih dari itu, semestinya sang khalayak bisa menjadi ‘duta’ alias ‘brand ambassador’ atau ‘advocate’ bagi sang caleg.

Untuk itu, salah satu langkah yang relatif murah dan efektif adalah memanfaatkan strategi ‘sambung lidah’. Ahli marketing biasa menyebut strategi ‘getok tular’ ini dengan word of mouth, yakni kegiatan ketika seorang di antara audience atau konsumen memberi informasi kepada khalayak atau konsumen lain.

Strategi Sambung Lidah

Teknik ‘sambung lidah’ atau Word of Mouth (WOM) lazimnya digunakan untuk memberi alasan agar orang bicara tentang sesuatu, baik yang berupa produk, jasa atau pun politisi seperti caleg. Lewat teknik itu, penggagas WOM secara sengaja menggiring dan mempermudah terjadinya pembicaraan di antara khalayak.

Guna mencapai tujuannya, WOM didasarkan pada konsep-konsep pemuasan konsumen, adanya dialog dua-arah, dan komunikasi yang transparan. Yang terakhir ini memang agak repot bagi orang politik seperti caleg, karena seringkali mereka terjebak untuk bersikap kurang terbuka.

Berhubung tujuan akhir kegiatan getok tular itu adalah untuk memperoleh ‘brand advocates’, maka penggagasnya harus meningkatkan semangat khalayak, memberi kesempatan mereka bicara, dan menyediakan sarana untuk saling berbagi dengan orang lain.

Seorang caleg yang pandai atau tim suksesnya akan mendengar dengan seksama dan memberi respon terhadap perbincangan yang terjadi, meskipun masukan yang diperoleh itu bernada negatif.
Kalau mau efektif, dalam pelaksanaan WOM itu sang penggagas harus mendidik khalayak tentang sang caleg, mengidentifikasikan siapa saja di antara khalayak yang paling mungkin berbagi pembicaraan, mempelajari berbagai pendapat yang dibicarakan bersama (shared opinion), dan mendengar serta memberi respon.

Meski tidak mudah, karena memerlukan pengorganisasian yang rapih, perhatian serius dan tempo yang relatif panjang, untungnya WOM lebih murah ketimbang program kampanye lewat iklan.
Selain itu kegiatan WOM yang terorganisir dengan baik bisa dilaksanakan sampai di tingkat akar rumput (grassroot) yang jauh sekali pun. Untungnya lagi, berhubung perbincangan terjadi dalam kelompok-kelompok kecil, kegiatan WOM bisa dilakukan jauh sebelum masa kampanye dimulai.
Ini misalnya dapat dilakukan dengan cara pengorganisasian grassroot, membentuk relawan dan memotivasi mereka untuk terlibat secara personal dalam perbincangan-perbincangan lokal.

Selain itu, pengelola WOM bisa menciptakan juru bicara, semacam evangelist atau advocates yang didorong untuk mengambil peran sebagai pemimpin dan menyebarkan pesan-pesan atas nama sang caleg. Ia kemudian menciptakan komunitas-komunitas kecil yang spesifik untuk saling berbagi minat yang sama, semacam forum atau fan club.

Bila selama ini para ahli di bidang marketing menyarankan penggunaan WOM, itu karena dampaknya yang besar. Menurut mereka, lazimnya konsumen yang puas akan memberitahu kepada 3-4 orang lain tentang produk atau jasa yang dipakainya. Sebaliknya, mereka yang tidak puas atau kecewa, repotnya, akan bercerita kepada 11 orang lain.

Bukti lain menyebutkan bahwa WOM mempengaruhi 80% keputusan untuk membeli. Sebagai medium paling kuat di planet kita, WOM menciptakan trust bagi sebuah produk atau brand, mendorong terjadinya komunikasi antara berbagai individu, menciptakan komunitas dan menghubungkan orang-orang dalam sebuah kelompok.

Data lain menunjukkan bahwa interaksi personal yang muncul berkat adanya WOM membawa dampak lebih besar bagi pembentukan opini ketimbang iklan biasa.

Sebenarnya tanpa diminta pun secara alami hampir semua orang melakukan kegiatan ‘getok tular’, khususnya ketika mereka merasakan kepuasan atau kekecewaan dan ingin saling berbagi. Tetapi, strategi yang kita maksudkan di sini adalah apa yang disebut dengan Amplified WOM, yang muncul ketika penggagas kegiatan ini merekayasa suasana untuk mengakselerasikan adanya WOM.

Salah satu teknik WOM yang bisa diadopsi para caleg barangkali adalah yang di dunia komersial disebut dengan ‘influencer marketing’, yakni ketika sang pemasar menetapkan individu kunci yang bisa memengaruhi orang lain. Sang influencer itu boleh jadi adalah para pembeli akhir (end consumers) atau pihak ketiga seperti konsultan, penasihat dan analis.

Di sini, penggagas mengidentifikasi para influencer dan me-ranking mereka sesuai urutan penting tidaknya. Setelah identifikasi itu, ada tiga hal lain yang dilakukan.

Pertama, mendekati para influencers, untuk meningkatkan awareness tentang sang caleg di tengah komunitas influencer.

Kedua, caleg bersama dengan influencer yang direkrutnya meningkatkan kesadaran (awareness) khalayak tentang diri sang caleg. Terakhir, ini yang paling penting, mengubah sang influencer menjadi ‘advocates’, alias ‘duta bagi caleg’, sehingga kapan pun dan di mana pun mereka akan mempromosikan sang caleg meski ketika caleg itu tidak berada di tengah daerah pemilihannya.

Penting dicatat, bahwa dalam pelaksanaan WOM semua caleg dan tim suksesnya mesti bersikap jujur, transparan, dan menjunjung etika. Pelaku WOM harus menegaskan secara terbuka siapa yang diwakilinya, dan hanya mengatakan yang benar-benar diyakininya.

Lagi pula, di saat banyak kader partai politik terlibat korupsi belakangan ini, jelas pemilih hanya bisa didekati oleh mereka yang berakhlak, dan punya integritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar