Jumat, 26 April 2013

Koreksi RUU Kamnas


Koreksi RUU Kamnas
Poltak Partogi Nainggolan ;  Kepala Bidang Pengkajian P3DI Setjen DPR
REPUBLIKA, 25 April 2013


Layu sebelum berkembang, begitulah kondisi RUU Keamanan Nasional (Kamnas) sekarang. Sejak sebelum diagendakan di parlemen, RUU inisiatif pemerintah itu telah disambut dengan fobia besar. Kali ini sikap mayoritas anggota DPR yang satu barisan dengan masyarakat, sudah tepat. Karena, RUU ini bermasalah sekali substansinya. 

Tetapi, berbeda dengan isinya, Naskah Akademik (NA)-nya cukup baik, karena disusun para pakar studi keamanan asal UI dan LSM yang selama ini bergerak dalam reformasi sektor keamanan. Wajarlah kalau dipertanyakan, apa yang terjadi sesungguhnya dengan pengaturan yang keliru dalam RUU dimaksud? 

Jika kita awas dengan agenda program legislasi nasional yang sudah disepakati pemerintah dan DPR, antara lain, RUU Pemilu, RUU Ormas, dan RUU Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS), tampak bahwa pengaturan ketiga RUU itu senapas dengan RUU Kamnas ini. Ketiganya berjiwa represif, tujuan konsolidasi demokratis cuma dipasang sebagai alasan untuk mengakhiri hiruk-pikuk transisi demokratis yang berkepanjangan. 

Sementara, caranya justru akan meng akhiri era demokratisasi yang sudah digulirkan sejak berakhirnya Orde Baru dan dikembalikannya TNI ke barak. Pengajuan RUU ini dengan mengembalikan peran TNI untuk menangani keamanan nasional di tengah-tengah meningkatnya ancaman atas keselamatan negara yang datang dari konflik lokal, komunal, separatisme, dan terorisme, menjadi manipulatif, jika kita menelaah substansi RUU. 

Tidak disangkal, kehadiran RUU lain untuk mendukung terwujudnya konsolidasi demokratis dibutuhkan, demi mengisi kekosongan hukum menuntaskan reformasi sektor keamanan. Tetapi, RUU yang diperlukan bukanlah sebuah ketentuan induk (payung) seperti yang diklaim kalangan hardliners selama ini untuk mendukung keterlibatan militer memerangi terorisme dan aksi melawan hukum lainnya, yang kepolisian tidak berdaya mengatasinya. 

Kehadiran sebuah UU pokok seperti di masa lalu menjadi eksesif, sebab yang diperlukan hanya UU biasa untuk mengatur hal yang spesifik dan tidak bisa diatur dalam UU yang sama. Tidak mungkin sebuah UU diatur oleh UU pula yang sederajat kedudukannya.

Kevakuman hukum memang muncul dalam pengerahan TNI untuk membantu tugas-tugas kepolisian atau sipil. Ironisnya, RUU Kamnas tidak mengatur tugas perbantuan ini. Begitu dominannya peran TNI untuk mengatasi masalah keamanan nasional, menimbulkan kekhawatiran rawan terjadinya pelanggaran HAM. Wajarlah, sejak semula, paradigma keamanan nasional dalam naskah RUU ini dipertanyakan, sebab jika dibiarkan, sama saja menyediakan karpet merah bagi TNI untuk kembali menjalankan tugas sospolnya. 

TNI jelas tidak bisa kerja sendiri menangani masalah keamanan nasional, menjadi satu-satunya aktor penangkal soal keamanan yang dapat bermuara sebagai masalah nasional. Kemhan dan petinggi militer tidak bisa semaunya mengatur kepolisian di bawah subordinasi instansinya. Jika tidak ditempatkan pada posisi yang tepat, peran TNI bisa terus melebar, tanpa batas. Unsur TNI tidak perlu mengambil peran seperti Navy Seals untuk membrantas kelompok teroris lintas negara dan geng narkoba internasional. 

Demikian pula, memerangi kejahatan transnasional lainnya, seperti pembalakan liar dan pencurian ikan, tidak perlu membuat TNI menjadi ujung tombaknya. Lemahnya institusi dan aparat Polri, justru harus memaksa pemerintah memperbaiki kinerja mereka yang memiliki domain dalam menegakkan hukum dan mengawal keamanan nasional.

Sebagai konsekuensinya, banyak pasal dalam RUU Kamnas yang harus dibongkar dan direvisi. Jika dibiarkan dan disahkan menjadi UU, berbagai pasal yang misleading dan melanggar hukum akan membuat kemunduran besar reformasi sektor keamanan. Ini termasuk usulan pengerahan TNI oleh pemda untuk menangani konflik sosial tanpa persetujuan presiden dalam RUU PKS. 

Sebelumnya, upaya melibat kan aparat militer dalam menjalankan fungsi intelijen untuk memata-matai gerak-gerik sipil sudah mengundang banyak kecaman. Penyimpangan lebih jauh belum termasuk diperbolehkannya secara bebas aksi penyadapan oleh pemangku kepentingan utama RUU Kamnas, di luar aparat kepolisian dan penyidik PNS.

Masalah kamnas melibatkan pemangku kepentingan yang beragam. TNI bukan satu-satunya yang dapat secara efektif untuk meresponsnya. Tantangan yang multidimensi harus direspons dengan kebijakan pemangku kepentingan yang multidimensi pula. Sayangnya, respons DPR tidak cerdas. Anggota Komisi I cenderung emosional, dengan segera mengembalikan RUU ke pemerintah. 

Seharusnya, naskah RUU dibahas dulu, dalam sidang-sidang DPR, pemerintah didesak untuk merevisi, termasuk judulnya. Jika tidak diindahkan pemerintah, baru ditolak, dengan hak veto yang diberikan konstitusi. Dengan cara ini, anggota DPR dapat menelanjangi niat buruk pemerintah dan sekaligus mengoreksinya, dengan menunjukkan pengaturan alternatif reformasi lebih lanjut sektor keamanan, sehingga konsolidasi demokrasi dapat tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar