Kamis, 25 April 2013

Menghapus Sindrom Nimby


Menghapus Sindrom Nimby
Norbertus Kaleka ;  Pemerhati Lingkungan,
Alumnus Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta
KORAN SINDO, 25 April 2013

  
Gaya hidup kita tampaknya semakin modern, tetapi cara hidup kita sehari- hari sering bertolak belakang dengan gaya hidup tersebut. 

Fenomena ini, misalnya tampak dalam perilaku kita yang masih dihinggapi sindrom nimby- sebuah singkatan dari Not In My Back Yard atau asal tidak di halaman belakang rumahku - sebuah sindrom yang bisa kita temukan terutama dalam soal sampah. Sindrom tersebut membuat kita cenderung menggampangkan masalah sampah. Kita berpikir dan bertindak asalkan sampah sudah hilang dari pandangan mata, maka usai pula urusan kita. Banyak contoh yang memperlihatkan sindrom ini. 

Kita mudah menemukan orang yang membuang sampah di sungai atau di sembarang tempat tanpa merasa bersalah. Sindrom nimby yang menjangkiti kita sesungguhnya adalah sikap egois, semena-mena pada alam, sesama, dan generasi yang akan datang. Susahnya, kita sering lupa bahwa perilaku nimby bisa menjebak diri kita sendiri. Ambil contoh, sungai dan selokan yang menjadi dangkal dan tersumbat karena jadi tempat pembuangan sampah. Ketika terjadi hujan terus menerus, air akan meluap menjadi banjir dan semua menerima resiko tanpa kecuali akibat perilaku nimby ini.

Volume sampah yang terus bertambah menjadi persoalan lingkungan yang pelik dan kompleks. Tampaknya kita belum peduli dengan sampah yang kita hasilkan sendiri. Sindrom nimby ini menyulitkan upaya pengelolaan sampah. Bahkan cara membuang sampah dari seluruh penjuru kota ke sebuah titik yang bernama TPA (tempat pembuangan akhir) adalah juga akibat sindrom tadi. Menangani sampah dengan cara angkut dan buang bisa dikategorikan sebagai nimby aktif yang institusional karena dilakukan oleh lembaga pemerintah. 

Kebalikan dari nimby aktif adalah nimby pasif seperti terlihat pada berbagai sarana tempat sampah di ruang publik yang rusak akibat perilaku tidak hirau oleh individu masyarakat kita. Tempat duduk di taman kota yang penuh coretan juga coretan grafiti di tembok kota atau halte bis adalah perilaku nimby personal dari anggota masyarakat kita. 

Mindset Baru 

Mengapa sindrom ini menghinggapi kita? Salah satu sebab adalah karena pengetahuan kita mengenai sampah yang tidak tepat. Sebagian dari kita melihat sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna lagi sehingga perilaku kita cenderung abai setelah sampah dihasilkan. Kita membutuhkan sebuah mindsetatau cara pandang yang benar tentang sampah sehingga kita juga bisa sembuh dari sindrom nimby tersebut. 

Kalau cara pandang kita berubah, maka berubah pula perilaku kita sehingga kepentingan kita terhadap sampah menjadi ikut berubah. Mindset apakah yang perlu kita miliki dalam pengelolaan sampah? Pertama, sampah harus dikelola, bukan dibuang.Bila sebelumnya, sampah diperlakukan dengan cara diangkut lalu dibuang, sekarang harus diolah langsung dari sumbernya terutama di setiap rumah tangga dengan memilah menurut jenisnya yaitu sampah organik dan anorganik. Kedua, sampah adalah sumber daya, bukan sumber masalah. 

Sampah organik bisa menjadi sumber daya karena bisa menjadi kompos, biogas, sumber energi alternatif dalam bentuk briket arang, dan lain-lain. Sampah anorganik menjadi bahan baku industri daur ulang plastik atau bahan baku kerajinan seperti tas, topi, bunga, taplak meja, dan aneka kreasi kerajinan yang eksotis. Mereka yang melihat sampah sebagai sumber daya telah mampu membangun kegiatan ekonomi yang penting artinya dalam penyerapan tenaga kerja. Ketiga, sampah dijadikan kawan, bukan lawan. Kita perlu menyadari bahwa sampah adalah sesuatu yang kita hasilkan sendiri dari aktivitas kita sehari-hari. 

Kita perlu bijak memandang sampah sebagai bagian dari diri kita. Sampah bukanlah lawan yang dibuang, tetapi dijadikan teman dengan mengelolanya secara pantas sebagai bagian dari gaya hidup kita. Keempat, sampah memberikan keuntungan (benefit) bukan biaya (cost). Mengurus sampah membutuhkan sarana dan prasarana sehingga memerlukan biaya yang besar. Setiap warga harus membayar iuran kebersihan untuk upah tenaga pengangkut sampah. Bila kita mengubah cara pandang bahwa sampah bisa memberikan keuntungan, maka kita akan tergerak melihat benefit yang terkandung pada sampah yang kita hasilkan. 

Pemulung menggantungkan hidupnya dari sampah. Begitu juga dengan industri daur ulang dan industri kreatif yang memanfaatkan sampah sebagai basis produksinya. Bagi kelompok ini sampah memberikan keuntungan, kesempatan kerja, dan akhirnya ikut serta menyehatkan lingkungan. Kita pun bisa melakukan hal itu di rumah dengan memanfaatkan sampah kita sendiri. 

Langsung dari Sumbernya 

Sampah masih menjadi masalah yang serius karena upaya menangani sampah yang lebih banyak dilakukan di hilir yaitu TPA. Pada hal bila sampah ditangani di hulu yaitu langsung pada sumbernya maka, maka sampah yang sampai di TPA hanya sampah-sampah berbahaya (B3). Data Biro Pusat Statistik (2000) mencatat dari 384 kota di Indonesia, total memproduksi sampah 80.235 ton per hari. 

Dari jumlah ini 4,2% dibuang ke TPA; 37,6% dibakar; 4,9% dibuang ke sungai dan 53,3% tidak tertangani. Terlihat betapa TPA hampir tidak berarti apa-apa karena hanya menangani tidak sampai 5% dari total sampah kota. Dari data yang dirilis BPS tersebut, sekitar 75% dari total sampah merupakan sampah rumah tangga, dan 25% merupakan sampah industri, perkantoran, dan tempat umum. 

Sementara itu 70% dari volume sampah tersebut merupakan sampah organik, dan 30% lainnya merupakan sampah anorganik. Dengan demikian, rumah tangga merupakan penghasil sampah terbesar, di mana sebagian besar merupakan sampah organik. Menangani sampah langsung pada sumbernya seperti rumah tangga bila berhasil dilakukan, maka sudah 75% masalah sampah terselesaikan. Bagaimana caranya? Langkah pertama adalah memilah sampah dalam dua kategori, yaitu sampah organik dan anorganik. Langkah kedua, menentukan rencana tindak lanjut setelah sampah dipilah. 

Sampah organik bisa dijadikan kompos dan sampah anorganik bisa disumbangkan pada pemulung atau dijual pada pengepul barang bekas yang sering berkeliling mencari plastik bekas, kardus, koran bekas, dan lain-lain. Bila setiap keluarga melakukan dua langkah tersebut, dari pengalaman yang ada dan sudah terbukti bahwa sampah yang keluar dari rumah tangga bisa 0%. Sebab itu keberhasilan pengelolaan sampah secara menyeluruh dapat dicapai bila dilakukan langsung dari sumbernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar