"Latar
belakang pendidikan tak boleh lagi dimunculkan karena menimbulkan sentimen
pengelompokan"
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak
permohonan uji materi UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang
menginginkan profesi guru harus berlatar belakang sarjana atau Diploma-4
Kependidikan, melalui sidang keputusan uji materi atas regulasi itu
terhadap UUD 1945 pada Kamis (28/3/13).
Hal itu berarti transkrip Pasal 9
regulasi itu tetap menyebutkan,’’ Kualifikasi akademik sebagaimana
dimaksud Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau
D-4. Profesi guru terbuka bagi sarjana atau D-4 berlatar belakang
kependidikan dan nonkependidikan sepanjang memenuhi syarat’’.
Mahkamah Konstitusi menyatakan lulusan
lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) tidak serta merta bisa
menjadi guru bila tak memenuhi persyaratan. Posisi LPTK dan non-LPTK
setara sehingga peluang lulusan kedua lembaga itu untuk menjadi guru,
sama-sama terbuka. Keputusan itu merupakan hal positif, terutama terkait
dengan asas keadilan dan kesetaraan bagi siapa pun yang ingin menjalani
profesi guru.
Jika profesi guru diharuskan lulusan S-1
atau D-4 LPTK, dikhawatirkan tak bisa memenuhi kebutuhan jumlah guru di
lapangan, dan kualitasnya pun tak bisa dijamin. Terlebih, jumlah LPTK
masih terbatas, belum ada di tiap daerah, sementara jumlah sekolah di
daerah terus bertambah yang berarti membutuhkan makin banyak guru.
Pemenuhan kebutuhan itu terutama untuk guru produktif SMK yang banyak
jenis pendidikannya. Kemendikbud mencatat tahun 2012 ada 175.656 guru
SMK; 35.057 di antaranya guru produktif. Sekolah menengah kejuruan masih
kekurangan 48.163 guru produktif, belum lagi untuk tingkat SMP, SD, dan
TK.
Meskipun ketersediaan guru belum sejalan
dengan pertambahan jumlah sekolah, belakangan ini makin banyak orang
tertarik untuk menjadi guru. Peningkatan animo itu tak terlepas dari
kebijakan pemerintah yang memberikan tunjangan profesi 1 kali gaji pokok
tiap bulan.
Semua pihak perlu memahami bahwa
pembatasan latar belakang pendidikan bagi profesi guru, justru akan
menghambat perkembangan pendidikan di Tanah Air. Hal itu mengingat
keberadaan guru, terlebih yang berkualitas, sangat penting dalam proses
belajar mengajar. Meskipun hingga kini masih banyak sekolah di Tanah Air
yang belum bisa memenuhi persyaratan perbandingan antara jumlah guru dan
jumlah anak didik, paling tidak ketimpangan proporsi itu jangan
sampai makin jauh.
Artinya, jangan sampai seorang guru harus
menangani 50 anak didik atau lebih. Hal ini akan membuat proses belajar
mengajar tidak bisa berjalan efektif dan optimal sehingga dikhawatirkan anak
didik tidak bisa menyerap materi pelajaran yang diajarkan guru.
Untuk menjadi guru tidak sekadar
bergantung pada latar belakang pendidikan. Tak sedikit lulusan sarjana
atau D-4 kependidikan yang berkualitas kurang layak, kurang menguasai
materi yang harus diajarkan, atau berkomitmen rendah dalam meningkatkan
kemampuan anak didik.
Kompetisi
Antarguru
Hal yang urgen saat ini adalah bagaimana
meningkatkan kompetensi guru dan memastikan bahwa guru yang direkrut
memiliki kompetensi yang mumpuni, menguasai bidang ilmu atau materi yang
akan diajarkan, memiliki motivasi dan komitmen kuat, mau bekerja secara profesional,
serta berkemauan tinggi untuk terus belajar.
Soal kemampuan dan cara mengajar, bisa
terus diasah karena persoalan ini hanya terkait dengan pembiasaan. Yang
terpenting, seorang guru memiliki kemauan dan kemampuan kuat untuk terus
belajar dan menunjukkan kreativitas. Jika terbiasa mengajar, guru bisa
membaca kondisi anak didik. Termasuk memilih cara paling efektif mengajar
supaya materi yang disampaikan bisa cepat dipahami dengan baik oleh
siswa.
Guru yang unggul, profesional, dan
berkomitmen tinggi, mudah dilihat dari cara mengajar dan hasil dari
mengajar itu. Dia tidak pernah puas untuk meningkatkan pengetahuan dan
keilmuan anak didik yang diampu. Jika anak didik mendapatkan hasil
evaluasi belajar mengajar buruk, guru tersebut merasa ikut bertanggung
jawab, termasuk kesiapan mengawal supaya prestasi anak didik itu bisa
meningkat.
Profesionalitas juga bisa diperkuat
melalui pendidikan profesi guru (PPG) dan sertifikasi. Seleksi lanjut
dalam PPG atau sertifikasi guru, justru merupakan hal positif karena bisa
membuka ruang kompetisi antarguru. Ke depan, masing-masing guru berusaha
meningkatkan kompetensi dan kualitas mereka melalui pembelajaran yang
tiada henti.
Bagaimanapun profesionalitas guru adalah
nomor satu. Bagi guru yang belum berhasil lolos, bisa kembali mencoba
pada periode mendatang dengan belajar dari kekurangan sebelumnya. Dari
realitas itu, makin jelas bahwa menjadi guru profesional tidak hanya
berlatar belakang sarjana atau diploma kependidikan. Guru lulusan
nonkependidikan pun memiliki peluang menjadi profesional, bahkan bisa
saja peluang itu lebih besar.
Untuk itu, permasalahan latar belakang
perguruan tinggi, apakah dari kependidikan atau nonkependidikan tak boleh
lagi dimunculkan ke permukaan karena hanya akan menimbulkan sentimen pengelompokan.
Menjadi guru adalah hak tiap warga negara selagi ia memenuhi persyaratan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar