Kamis, 25 April 2013

Pithecanthropus Corruptus


Pithecanthropus Corruptus
Achmad M Akung ;  Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang
KORAN SINDO, 25 April 2013

  
Manusia modern, konon berasal dari manusia purba, yang fosilnya ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil pada 1981. Fosil yang tak pernah lengkap ditemukan itu selanjutnya diberi nama ilmiah Pithecanthropus erectus.

Nama ini berakar dari diksi Yunani, yang bermakna manusia kera yang dapat berdiri dan berjalan tegak. Pithecanthropus erectus diyakini menjawab pertanyaan tentang mata rantai yang hilang (missing link) antara manusia purba dan manusia modern, sebagaimana dituturkan dalam kisah klasik teori evolusi. 

Versi lebih lengkap dari fosil manusia purba ini ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1936 di Situs Sangiran. Artikel ini tentu saja tidak hendak membincangkan fosil manusia purba dalam perspektif palaeontologi. Artikel ini ‘digali’ secara kebetulan, mengingat terdapat sedikit kemiripan antara Pithecanthropus erectus yang hidup di zaman palaeolitikum dengan ‘spesies’ Pithecanthropus corruptus yang hidup di zaman kleptolitikum. 

Zaman Kleptolitikum 

Hari-hari ini kita, manusia modern yang mengaku diri sebagai Homo sapiens, sungguh tengah meniti sebuah zaman bernama zaman kleptolitikum. Kleptolitikum adalah sebuah zaman dengan peradaban yang sesungguhnya tidak beradab, akibat kleptomania yang menjangkitikuasapolitikdanhukum di negeri ini (Akung, 2011). 

Dengan mata telanjang kita dipaksa meniti peradaban di mana para politisi dan aparat penegak hukum yang mengidap ‘kleptomania’, menjarah rayah harta negara. Mendung zaman kleptolitikum berarak bagai awan hitam kelam yang menutupi negeri ini dari segenap kewarasan dan akal sehat, hingga kita alpa bicara soal moralitas dan etika. 

Kisah tentang hakim-hakim yang tertangkap tangan, menghinakan diri menukar kehormatan jabatan, dan menakarnya sekadar dengan lembaran suap, adalah puncak gunung es pengkhianatan atas rakyat. Demikian pula cerita tentang para pejabat negara yang lebih mementingkan perut partainya ketimbang nyawa rakyatnya. 

Hiruk-pikuk kasus Century, Hambalang, korupsi Alquran, suap kuburan, simulator SIM, rekening gendut, kisruh pilkada, gratifikaseks (gratifikasi seks) hingga megaskandal BLBI (yang sudah mulai dilupakan orang), sungguh membuat negeri ini menjadi negeri yang lelah. Negeri ini menjelma jadi negeri gaduh, yang kehilangan energi positif untuk membangun dan menyejahterakan setiap jengkal republik ini. 

Kita, lalu menjadi negeri lemah yang hilang kedigdayaan. Kita alpa menjaga negeri ini sepenuh hati. Kita lupa bahwa negeri ini adalah bumi tetesan surga yang mahakaya, yang diincar oleh kapitalis dan imperialis mana pun, dengan cara apa pun dan bagaimana pun. 

Korupsi itu Dehumanisasi 

Peradaban di zaman kleptolitikum konon dibisikbangun oleh ‘spesies’ bernama ‘Pithecanthropus corruptus’ ‘. Tentu saja bukan berarti manusia kera yang berjalan tegak sebagaimana makna harfiahnya. Corruptus, dalam bahasa latin, berarti busuk atau rusak. Istilah ini sering dianggap sebagai akar dari kata korupsi. 

Pithecantropus corruptus sesungguhnya adalah spesies Homo sapiens yang terjerembap dalam perilaku busuk bernama korupsi. Kegemaran berperilaku koruplah yang sukses mendehumanisasi eksistensi homo sapiens yang beradab menjadi sekadar spesies Pithecantrophus corruptus yang biadab. 

Dehumanisasi bisa ditafsirkan sebagai sebuah proses tanggalnya keluhuran manusia sebagai makhluk bernama manusia (as a human) dengan kasta eksistensial tertinggi. Tata nilai, susila, moralitas, etika, dan akal budi yang adalah keunikan diri sebagai manusia beradab itu runtuh. Ia dikalahkan oleh nafsu serakah, ketamakan, hedonisme yang mengangkangi akal sehat dan menghegemoni nurani, bahkan religi. 

Nick Haslam dalam Dehumanization, An Integrative Review (2006) mengutip pandangan Kelmann, bahwa dehumanisasi melibatkan pengingkaran atas dua hal. Pertama, terhadap identitas personal, sebuah persepsi atas diri individu sebagai pribadi yang independen dan berbeda dari orang lain serta mampu membuat kehendak bebas. 

Kedua, pengingkaran terhadap komunitas, yakni sebuah persepsi terhadap orang lain sebagai bagian dari jaringan individual yang saling terhubung dan saling menjaga satu dengan yang lain. Jahatnya, dehumanisasi dalam setting korupsi kerap melibatkan apa yang disebut pseudospeciation. Rakyat sebagai pemilik sah republik ini dianggap bukan berasal dari kasta dan komunitas yang sama, tetapi dari spesies lain di bawahnya (less than human) yang memang dicipta untuk hidup kesrakat dan menderita. 

Meminjam Opotow (1990), dehumanisasi selalu akan melibatkan perilaku abai moral (moral exclusion). Mereka yang mengalami dehumanisasi kehilangan kepekaan kepada nilainilai luhur, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan (estetik), dan kesucian. Mereka hanya peka dan mengimani nilai-nilai dasar berupa materialisme dan hedonisme. 

Di titik inilah, para pelaku korupsi sesungguhnya tengah mengalami dehumanisasi yang akut dan masif. Manusia tidak lagi bisa mematut diri sebagai Homo sapiens yang mampu berpikir, bersikap dan bertindak di dalam panduan akal budi dan hati nurani. Manusia seakan sekadar menjadi bagian mekanis dari instrumen kepartaian, birokrasi yang jumud, kekuasaan korup yang menghamba pada kekuasaan dan syahwat kebendaan yang tak pernah bertepian. 

Sungguh, persis seperti meminum air laut, yang takkan pernah mampu mengusir dahaga yang mendera. Lalu ia terjerembap menjadi makhluk yang serupa Pithecanthropus, manusia kera berjalan tegak, makhluk yang strata sesungguhnya bukan lagi manusia (less than human). Bagaimana kita bisa menyebutnya sebagai manusia apabila kelakuannya tidak mencerminkan laku utama yang luhur dan beradab. 

Di zaman kleptolitikum ini, siapa pun kita, sesungguhnya berpeluang terjerembap ke dalam kubangan dehumanisasi yang menjadikan kita serupa makhluk Pithecanthropus corruptus. Ruh zaman (zeitgeist), meminjam pujangga Ronggowarsito, edan dan zaman kalabendu ini sungguh melenakan, melainkan bagi Homo sapiens yang senantiasa ingat dan ‘terjaga’ (eling lan waspodho). 

Sudah seyogianya rakyat melek dan terjaga dengan kelicikan para koruptor. Idealnya, rakyat berkenan untuk bersepakat memberikan sanksi sosial, memperhinakan, dan menahbiskan para penjahat kemanusiaan yang kotor ini sebagai musuh peradaban. Bukan sebaliknya, menyanjungagungkan, memuliakan, memahlawankan, apalagi memenangkan penjahat peradaban ini sebagai penguasa melalui pemilu yang semu. 

Sebagai sebuah epilog, apabila kita berkeberatan untuk disebut sebagai sekadar spesies Pithecanthropus erectus, maka sudah seyogianya kita berkenan menanggalkan perilaku koruptif yang banal ini. Saling menjaga, mengoreksi, dan mengingatkan ketika mulai ada yang melenceng dari arah jalan kebenaran, karena kita sesungguhnya adalah saudara dari spesies yang sama. Sungguh celaka, apabila generasi ratusan atau ribuan tahun mendatang, menemukan jejak artefak peradaban kita. 

Tentu mereka jengah dan malu rasanya, lantas berkata, ”Di sini, di sebuah negeri bernama Indonesia, pernah hidup spesies Pithecanthropus corruptus yang membangun sebuah peradaban korup, di sebuah zaman bernama zaman kleptolitikum.” Alamak!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar