Manusia
modern, konon berasal dari manusia purba, yang fosilnya ditemukan oleh
Eugene Dubois di Trinil pada 1981. Fosil yang tak pernah lengkap
ditemukan itu selanjutnya diberi nama ilmiah Pithecanthropus erectus.
Nama ini
berakar dari diksi Yunani, yang bermakna manusia kera yang dapat berdiri
dan berjalan tegak. Pithecanthropus
erectus diyakini menjawab pertanyaan tentang mata rantai yang hilang
(missing link) antara manusia
purba dan manusia modern, sebagaimana dituturkan dalam kisah klasik teori
evolusi.
Versi lebih
lengkap dari fosil manusia purba ini ditemukan oleh Von Koenigswald pada
tahun 1936 di Situs Sangiran. Artikel ini tentu saja tidak hendak
membincangkan fosil manusia purba dalam perspektif palaeontologi. Artikel
ini ‘digali’ secara kebetulan, mengingat terdapat sedikit kemiripan
antara Pithecanthropus erectus yang hidup di zaman palaeolitikum dengan
‘spesies’ Pithecanthropus corruptus yang hidup di zaman kleptolitikum.
Zaman Kleptolitikum
Hari-hari ini
kita, manusia modern yang mengaku diri sebagai Homo sapiens, sungguh
tengah meniti sebuah zaman bernama zaman kleptolitikum. Kleptolitikum
adalah sebuah zaman dengan peradaban yang sesungguhnya tidak beradab,
akibat kleptomania yang menjangkitikuasapolitikdanhukum di negeri ini
(Akung, 2011).
Dengan mata
telanjang kita dipaksa meniti peradaban di mana para politisi dan aparat
penegak hukum yang mengidap ‘kleptomania’, menjarah rayah harta negara.
Mendung zaman kleptolitikum berarak bagai awan hitam kelam yang menutupi
negeri ini dari segenap kewarasan dan akal sehat, hingga kita alpa bicara
soal moralitas dan etika.
Kisah tentang
hakim-hakim yang tertangkap tangan, menghinakan diri menukar kehormatan
jabatan, dan menakarnya sekadar dengan lembaran suap, adalah puncak
gunung es pengkhianatan atas rakyat. Demikian pula cerita tentang para
pejabat negara yang lebih mementingkan perut partainya ketimbang nyawa
rakyatnya.
Hiruk-pikuk
kasus Century, Hambalang, korupsi Alquran, suap kuburan, simulator SIM,
rekening gendut, kisruh pilkada, gratifikaseks (gratifikasi seks) hingga
megaskandal BLBI (yang sudah mulai dilupakan orang), sungguh membuat
negeri ini menjadi negeri yang lelah. Negeri ini menjelma jadi negeri
gaduh, yang kehilangan energi positif untuk membangun dan menyejahterakan
setiap jengkal republik ini.
Kita, lalu
menjadi negeri lemah yang hilang kedigdayaan. Kita alpa menjaga negeri
ini sepenuh hati. Kita lupa bahwa negeri ini adalah bumi tetesan surga
yang mahakaya, yang diincar oleh kapitalis dan imperialis mana pun,
dengan cara apa pun dan bagaimana pun.
Korupsi itu Dehumanisasi
Peradaban di
zaman kleptolitikum konon dibisikbangun oleh ‘spesies’ bernama ‘Pithecanthropus corruptus’ ‘.
Tentu saja bukan berarti manusia kera yang berjalan tegak sebagaimana
makna harfiahnya. Corruptus,
dalam bahasa latin, berarti busuk atau rusak. Istilah ini sering dianggap
sebagai akar dari kata korupsi.
Pithecantropus corruptus sesungguhnya
adalah spesies Homo sapiens
yang terjerembap dalam perilaku busuk bernama korupsi. Kegemaran
berperilaku koruplah yang sukses mendehumanisasi eksistensi homo sapiens yang beradab menjadi
sekadar spesies Pithecantrophus
corruptus yang biadab.
Dehumanisasi
bisa ditafsirkan sebagai sebuah proses tanggalnya keluhuran manusia
sebagai makhluk bernama manusia (as
a human) dengan kasta eksistensial tertinggi. Tata nilai, susila,
moralitas, etika, dan akal budi yang adalah keunikan diri sebagai manusia
beradab itu runtuh. Ia dikalahkan oleh nafsu serakah, ketamakan,
hedonisme yang mengangkangi akal sehat dan menghegemoni nurani, bahkan
religi.
Nick Haslam
dalam Dehumanization, An
Integrative Review (2006) mengutip pandangan Kelmann, bahwa
dehumanisasi melibatkan pengingkaran atas dua hal. Pertama, terhadap
identitas personal, sebuah persepsi atas diri individu sebagai pribadi
yang independen dan berbeda dari orang lain serta mampu membuat kehendak
bebas.
Kedua,
pengingkaran terhadap komunitas, yakni sebuah persepsi terhadap orang
lain sebagai bagian dari jaringan individual yang saling terhubung dan
saling menjaga satu dengan yang lain. Jahatnya, dehumanisasi dalam
setting korupsi kerap melibatkan apa yang disebut pseudospeciation. Rakyat sebagai pemilik sah republik ini
dianggap bukan berasal dari kasta dan komunitas yang sama, tetapi dari
spesies lain di bawahnya (less than
human) yang memang dicipta untuk hidup kesrakat dan menderita.
Meminjam
Opotow (1990), dehumanisasi selalu akan melibatkan perilaku abai moral (moral exclusion). Mereka yang
mengalami dehumanisasi kehilangan kepekaan kepada nilainilai luhur,
seperti kebenaran, kebaikan, keindahan (estetik), dan kesucian. Mereka
hanya peka dan mengimani nilai-nilai dasar berupa materialisme dan
hedonisme.
Di titik
inilah, para pelaku korupsi sesungguhnya tengah mengalami dehumanisasi
yang akut dan masif. Manusia tidak lagi bisa mematut diri sebagai Homo sapiens yang mampu berpikir,
bersikap dan bertindak di dalam panduan akal budi dan hati nurani.
Manusia seakan sekadar menjadi bagian mekanis dari instrumen kepartaian,
birokrasi yang jumud, kekuasaan korup yang menghamba pada kekuasaan dan
syahwat kebendaan yang tak pernah bertepian.
Sungguh,
persis seperti meminum air laut, yang takkan pernah mampu mengusir dahaga
yang mendera. Lalu ia terjerembap menjadi makhluk yang serupa Pithecanthropus, manusia kera
berjalan tegak, makhluk yang strata sesungguhnya bukan lagi manusia (less than human). Bagaimana kita
bisa menyebutnya sebagai manusia apabila kelakuannya tidak mencerminkan
laku utama yang luhur dan beradab.
Di zaman
kleptolitikum ini, siapa pun kita, sesungguhnya berpeluang terjerembap ke
dalam kubangan dehumanisasi yang menjadikan kita serupa makhluk Pithecanthropus corruptus. Ruh
zaman (zeitgeist), meminjam
pujangga Ronggowarsito, edan dan zaman kalabendu ini sungguh melenakan,
melainkan bagi Homo sapiens yang senantiasa ingat dan ‘terjaga’ (eling lan waspodho).
Sudah
seyogianya rakyat melek dan terjaga dengan kelicikan para koruptor.
Idealnya, rakyat berkenan untuk bersepakat memberikan sanksi sosial,
memperhinakan, dan menahbiskan para penjahat kemanusiaan yang kotor ini
sebagai musuh peradaban. Bukan sebaliknya, menyanjungagungkan,
memuliakan, memahlawankan, apalagi memenangkan penjahat peradaban ini
sebagai penguasa melalui pemilu yang semu.
Sebagai
sebuah epilog, apabila kita berkeberatan untuk disebut sebagai sekadar
spesies Pithecanthropus erectus,
maka sudah seyogianya kita berkenan menanggalkan perilaku koruptif yang
banal ini. Saling menjaga, mengoreksi, dan mengingatkan ketika mulai ada
yang melenceng dari arah jalan kebenaran, karena kita sesungguhnya adalah
saudara dari spesies yang sama. Sungguh celaka, apabila generasi ratusan
atau ribuan tahun mendatang, menemukan jejak artefak peradaban kita.
Tentu mereka
jengah dan malu rasanya, lantas berkata, ”Di sini, di sebuah negeri
bernama Indonesia, pernah hidup spesies Pithecanthropus corruptus yang membangun sebuah peradaban
korup, di sebuah zaman bernama zaman kleptolitikum.” Alamak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar