Dalam film berdasar kisah nyata,
October Sky, diceritakan gelora
seorang pelajar bernama Homer Hickam dan beberapa karibnya dalam
berilmu-pengetahuan pada sekitar 1957.
Dengan dibantu seorang guru ilmu
alam yang penuh gairah mengajar, para pelajar di daerah pertambangan
miskin Collingwood, Amerika Serikat, itu tiba-tiba tersadar atas
hasratnya berilmu-pengetahuan. Jika semula capaian hidup sebatas menjadi
petambang atau atlet, tiba-tiba gagasan menjadi ilmuwan begitu menarik
dalam benak pelajar di seluruh pelosok.
Pemantiknya adalah kejadian luar
biasa Uni Soviet yang berhasil melontarkan pesawat luar angkasa Sputnik
yang mengorbit Bumi disertai pemberitaan media yang meluas. Di langit
Oktober yang sejuk dan cerah, masyarakat awam, muda dan tua, menengadah
ke langit memandang Sputnik yang sedang mengorbit. Pengalaman mengamati
Sputnik yang sekadar setitik kemerlip melesat di angkasa sambil
mengirimkan sinyal radio sepele, ”bip, bip, bip”, membuat para pelajar
tersadar atas kerennya berilmu-pengetahuan.
Dalam kehidupan nyata, Homer
kemudian menjadi seorang rekayasawan NASA yang andal. Semua teman
dekatnya juga menjadi orang berhasil. Di tingkat nasional, saintis dan
rekayasawan generasi Homer, yakni generasi 1960-an itu, menjadi benak
janin Apollo, sebuah program kedirgantaraan luar biasa.
Mimpi, upaya, dan keberhasilan
manusia menjelajah Bulan ini disebut sebagai salah satu batu penanda
peradaban agung kemanusiaan yang pernah ada hingga kini. Hampir semua
ilmuwan dan pakar sejarah sains sepakat, kejadian mengorbitnya Sputnik
telah membangkitkan kasmaran berilmu-pengetahuan dalam sanubari para
pelajar AS. Hal ini telah mengubah sejarah hidup AS selamanya.
Apa syarat bagi bangkitnya
kasmaran berilmu-pengetahuan pada masyarakat? Dari kisah nyata tersebut,
setidaknya dapat dicatat tiga unsur yang saling terkait. Pertama,
terjadinya sebuah peristiwa luar biasa. Kedua, berperannya kepemimpinan
dalam pendidikan yang melibatkan dan menyadarkan masyarakat dengan
konsekuensi logis atas kejadian luar biasa tersebut. Ketiga, berfungsinya
media yang mengulas dan memberitakan budaya ilmiah secara berkelanjutan
ke masyarakat.
”Kepemimpinan 2.0”
Dalam suatu kesempatan, Prof
Abin Syamsudin Makmun dari Universitas Pendidikan Indonesia menjelaskan,
pembenaran perlunya sebuah kebijakan pendidikan yang mendasar, seperti
sebuah kurikulum baru, memerlukan pemantik berupa kejadian yang
benar-benar luar biasa. Sebutlah seperti krisis Sputnik di AS tadi, atau
jatuhnya bom di Nagasaki, Jepang. Kejadian luar biasa membenarkan
sekaligus membuat upaya perubahan kebijakan pendidikan mendasar akan
berhasil.
Untuk Indonesia sekarang, satu
calon pemicunya adalah perilaku nirnalar yang sudah menjangkiti semua
lini kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali masyarakat di dunia
pendidikan. Tanpa bermaksud berlebihan, perilaku nirnalar ini sedikit
banyak menjadi penyebab suburnya kekeliruan kolektif, seperti pengabaian
hukum dan aturan yang telah dianggap wajar. Ini unsur pertama.
Unsur kedua, yang diperlukan
setelah hadirnya kejadian luar biasa itu adalah tebersitnya kepemimpinan
yang melibatkan. Kepemimpinan ini harus mampu menggugah seluruh
masyarakat atas perlunya perubahan dalam pendidikan dan keilmuan. Ini
yang disebut kepemimpinan 2.0.
Keyakinan atas perlunya seluruh
unsur masyarakat bersatu mengembangkan ilmu pengetahuan harus bertumbuh
dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Keyakinan ini tak mungkin dan tak
boleh diindoktrinasi. Juga perlu, dihindari pemakaian bahasa kekuasaan.
Sebaliknya, kepemimpinan harus berbahasa yang melibatkan.
Kekuatan kepemimpinan 2.0 bukan
pada kekuasaan, tetapi justru pada pelibatan masyarakat dalam bernalar.
Kepemimpinan yang berbahasa mengancam jelas tak akan pernah menganyam
nalar. Bahasa ancaman hanya cocok untuk situasi terdesak. Untuk urusan
budaya, khususnya pendidikan, bahasa yang digunakan haruslah bernuansa
menyuburkan pernalaran.
Tindakan atau ucapan menyangkal
pendapat di masyarakat dengan meremehkannya sebagai tidak berarti—karena
jumlahnya sedikit atau organisasinya tidak resmi—tentunya bukan ciri
kepemimpinan 2.0. Kepemimpinan 2.0 menghargai persilangan pendapat di
masyarakat sebagai lahan subur guna menganyam budaya bernalar.
Kepemimpinan 2.0 utamanya
melibatkan masyarakat untuk bernalar tentang konsekuensi logis terhadap
alasan mengapa perlu ada suatu gerakan pembaruan budaya belajar dan
berilmu-pengetahuan. Kepemimpinan 2.0 menomorsatukan keterlibatan seluruh
masyarakat. Kecuali itu, masyarakat terdidik dan pendidik tak akan
mendukung kebijakan yang tak dimengertinya.
Bencana terburuk sebuah
kepemimpinan bukan ketakpatuhan pendidik pada perintah penguasa, tetapi
justru kepatuhan atau keterpaksaan menjalankan perintah. Bencana
kepemimpinan pendidikan adalah saat pendidik dan masyarakat patuh
menjalankan perintah nirnalar. Kepatuhan buta dalam pendidikan merupakan
sebuah jalan bebas hambatan menuju bencana peradaban.
Jika suatu kepemimpinan sampai
harus mengecap kelompok masyarakat terdidik tertentu sebagai tak
mengerti, bukankah itu artinya sebuah kegagalan kepemimpinan? Tentunya
ini juga tanda bahwa kepemimpinan 2.0 belum berhasil disemaikan. Ciri
kepemimpinan 2.0 adalah menyokong semua unsur masyarakat untuk
berpendapat sekaligus bekerja bersama pemimpinnya.
Media
Kejadian luar biasa dan
kepemimpinan 2.0 butuh unsur ketiga, yakni media. Dalam kasus Sputnik
lima dekade lalu, media cetak dan radio sangat berperan. Media secara
berkelanjutan menggelorakan kasmaran berilmu-pengetahuan ke seluruh
masyarakat. Saat itu, di New York Times ada wartawan sains, Walter
Sullivan, yang mengasuh kolom sains dan gencar mengabarkan perkembangan
sains.
Keterlibatan dan peran serta
media dalam menggelorakan kasmaran berilmu-pengetahuan di negara ini juga
perlu direncanakan bersama. Sejalan dengan itu, pada sisi ilmu
pengetahuan, perlu upaya sistematis para akademisi dalam menularkan
kegairahannya berilmu-pengetahuan ke masyarakat luas lewat sajian publik
dan tulisan populer.
Dengan tampilan serta bahasa
yang menarik, sederhana, menggugah, dan tak congkak, gerakan ajakan
berilmu-pengetahuan ini akan menguat dan merasuk ke diri para pelajar.
Jika ini semua terwujud, ditambah dukungan pemerintah—seperti melalui beasiswa
dan hibah penelitian, dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan di republik
ini akan bertumbuh dengan subur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar