Jumat, 26 April 2013

Patologi Sosial “Grafitikaseks”


Patologi Sosial “Grafitikaseks”
Achmad M Akung ;  Dosen Fakutas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
SUARA MERDEKA, 25 April 2013

  
Memalukan sekaligus memilukan. Mungkin itulah yang pantas terucap bila dugaan soal gratifikasi seks (gratifikaseks) terkait hakim Setyabudi Tejocahyono, wakil ketua PN Bandung yang tertangkap tangan oleh KPK pada 22 Maret lalu itu, terbukti di pengadilan.

Tak hanya barang bukti suap uang ratusan juta rupiah dan ribuan dolar AS yang menjadi saksi pelanggaran hakim nakal ini. Pasalnya pengacara tersangka lain dalam kasus dugaan korupsi dana bansos pada Pemkot Bandung itu mengatakan kliennya kerap diminta menyediakan jasa layanan seksual oleh hakim itu (SM, 18/4/13). Konon, jatah perempuan itu dinikmati sang pengadil tiap Kamis atau Jumat.

Tentu kita harus menunggu KPK membuktikan tudingan tersebut di persidangan. Publik juga harap-harap cemas menanti kelahiran gebrakan baru atas konstruksi hukum kasus gratifikasi, lebih dari sekadar yang selama ini kita pahami.

Gratifikasi seks, dalam keratabahasa bisa dituliskan dalam gratifikaseks (akronim dari gratifikasi dan seks). Gratifikaseks sebetulnya bukan hal baru dalam dunia gratifikasi, suap-menyuap, dan korupsi. Hanya belum pernah ada cerita pemerkaraan atas penerima dan pemberi gratifikasi seks pada peradilan kasus korupsi di Indonesia.  

Konstruksi hukum sebagaimana Pasal 12B Ayat 1 UU tentang Tipikor hanya menyebut gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas. Artinya, meliputi uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain. Bila pemberian ini terkait dengan jabatan, agar seseorang dalam jabatannya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, gratifikasi tersebut bisa dianggap bentuk suap.

Tentu kita harus menunggu terobosan hukum, seraya berharap gratifikaseks yang seyogianya bisa masuk kategori pemberian fasilitas lain dapat dipidanakan. Yurisprudensi pemidanaan kasus gratifikaseks, baik pemberi maupun penerima, diharapkan melahirkan efek jera bagi pelaku.  

Tulisan ini tidak mengaji kasus gratifikaseks dari perspektif hukum positif tapi dari perspektif patologi sosial. Minimal ada dua patologi besar yang berkelindan, yakni patologi gratifikasi dan pelacuran (prostitusi). Keduanya sangat akrab dan berkolaborasi, memperparah patologi kelas berat bernama korupsi yang sedemikian akut menjangkiti semua lini kehidupan.

Dalam perspektif psikologi, patologi sosial adalah penyakit masyarakat, berupa perilaku menyimpang dari tata susila, norma, dan hukum yang semestinya dijunjung tinggi di tengah masyarakat. Korupsi termasuk salah satu di antara patologi sosial, bahkan ibarat stadium empat penyakit. Apalagi ketika berkomplikasi dengan prostitusi.    

Kisah tentang perempuan yang disubordinasi­kan sebagai umpan dan penggoda pria juga bukan barang baru. Belasan tahun silam, sebagian dari kita pasti pernah menonton, minimal melihat iklan, film ’’Samson Betawi’’ yang dibintangi Benyamin Sueb. Film itu mengadopsi kisah Samson, sosok hero sulit terkalahkan, dan Delilah.

Dalam Samson Betawi’’, adalah Siti Duile (diperankan Yatni Ardi), perempuan rupawan yang  berhasil menaklukkan Samson. Kebetul­an, seteru yang ingin mengalahkan Samson adalah kakak Duile. Siti Duile pun diumpankan oleh sang kakak supaya menelisik kelemahan Samson. Lewat berbagai bujuk rayu, akhirnya terungkap rahasia kekuatan Samson yang terletak di bulu ketiak.

Kecenderungan Korup

Kisah tentang perempuan seperti itu telanjur tertanam dalam kesadaran kolektif kita sebagai bumbu penyedap kisah klasik manusia. Lain Samson, lain pula mantan ketua KPK yang ko-non kepincut asmara segi tiga dengan wanita caddy golf. Meskipun apabila kita cermati, terlalu sederhana seorang Antasari, yang dikenal sebagai pendekar hukum itu terjerembab hanya di hadapan Rani.

Lain Rani lain pula Maharani, yang juga dijadikan ’’figuran’’ dalam kasus suap sapi impor. Cukup dengan imbalan Rp 10 juta, dibangunlah kisah klasik persembahan perempuan, yang sejatinya didesain untuk menangkap tangan seorang petinggi partai. Sekali lagi, kisah banal yang sesungguhnya jauh dari nalar akal sehat itu dibangun karena sedemikian ’’sedap’’ kasus korupsi berwujud gratifikasi dibumbui dengan suap layanan seksual.

Namun kasus gratifikaseks yang dituduhkan kepada hakim Setyabudi sangat berbeda. Palu keadilan yang digenggam, tampak loyo dan kehilangan daya untuk menegakkan hukum seadil-adilnya.

Vonis yang dia jatuhkan terhadap 7 terdakwa kasus korupsi dana bansos, rata-rata 1 ta­hun, sementara dalam dakwaan jaksa, kerugian ne-gara mencapai Rp 66,5 miliar (Kompas, 17/4/13).
Sebersit kekhawatiran wajar menyeruak melihat begitu mudah gratifikaseks ini ber­langsung. Jangan-jangan kasus itu hanyalah puncak dari gunung es gratifikasi yang menggurita dan diwariskan antargenerasi dalam ranah penegakan hukum.

Kenapa hakim mau menghinakan diri menerima suap, gratifikasi, bahkan gratifikaseks, padahal remunerasi telah menambah pendapatan mereka? Tentu ini berlaku bagi  semua pejabat negara, aparat pemerintahan, dan penegak hukum yang mendapatkan mandat kekuasaan atau kewenangan. Menilik Lord Acton, kekuasaan itu memang cenderung korup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar