Memalukan sekaligus memilukan. Mungkin
itulah yang pantas terucap bila dugaan soal gratifikasi seks (gratifikaseks)
terkait hakim Setyabudi Tejocahyono, wakil ketua PN Bandung yang
tertangkap tangan oleh KPK pada 22 Maret lalu itu, terbukti di
pengadilan.
Tak hanya barang bukti suap uang ratusan
juta rupiah dan ribuan dolar AS yang menjadi saksi pelanggaran hakim nakal
ini. Pasalnya pengacara tersangka lain dalam kasus dugaan korupsi dana
bansos pada Pemkot Bandung itu mengatakan kliennya kerap diminta
menyediakan jasa layanan seksual oleh hakim itu (SM, 18/4/13). Konon,
jatah perempuan itu dinikmati sang pengadil tiap Kamis atau Jumat.
Tentu kita harus menunggu KPK membuktikan
tudingan tersebut di persidangan. Publik juga harap-harap cemas menanti
kelahiran gebrakan baru atas konstruksi hukum kasus gratifikasi, lebih
dari sekadar yang selama ini kita pahami.
Gratifikasi seks, dalam keratabahasa bisa
dituliskan dalam gratifikaseks (akronim dari gratifikasi dan seks).
Gratifikaseks sebetulnya bukan hal baru dalam dunia gratifikasi,
suap-menyuap, dan korupsi. Hanya belum pernah ada cerita pemerkaraan atas
penerima dan pemberi gratifikasi seks pada peradilan kasus korupsi di
Indonesia.
Konstruksi hukum sebagaimana Pasal 12B
Ayat 1 UU tentang Tipikor hanya menyebut gratifikasi sebagai pemberian
dalam arti luas. Artinya, meliputi uang, barang, rabat, komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain. Bila pemberian ini terkait
dengan jabatan, agar seseorang dalam jabatannya melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, gratifikasi tersebut bisa dianggap bentuk suap.
Tentu kita harus menunggu terobosan
hukum, seraya berharap gratifikaseks yang seyogianya bisa masuk kategori
pemberian fasilitas lain dapat dipidanakan. Yurisprudensi pemidanaan
kasus gratifikaseks, baik pemberi maupun penerima, diharapkan melahirkan
efek jera bagi pelaku.
Tulisan ini tidak mengaji kasus
gratifikaseks dari perspektif hukum positif tapi dari perspektif patologi
sosial. Minimal ada dua patologi besar yang berkelindan, yakni patologi
gratifikasi dan pelacuran (prostitusi). Keduanya sangat akrab dan
berkolaborasi, memperparah patologi kelas berat bernama korupsi yang
sedemikian akut menjangkiti semua lini kehidupan.
Dalam perspektif psikologi, patologi
sosial adalah penyakit masyarakat, berupa perilaku menyimpang dari tata
susila, norma, dan hukum yang semestinya dijunjung tinggi di tengah
masyarakat. Korupsi termasuk salah satu di antara patologi sosial, bahkan
ibarat stadium empat penyakit. Apalagi ketika berkomplikasi dengan
prostitusi.
Kisah tentang perempuan yang disubordinasikan
sebagai umpan dan penggoda pria juga bukan barang baru. Belasan tahun
silam, sebagian dari kita pasti pernah menonton, minimal melihat iklan,
film ’’Samson Betawi’’ yang dibintangi Benyamin Sueb. Film itu mengadopsi
kisah Samson, sosok hero sulit terkalahkan, dan Delilah.
Dalam Samson Betawi’’, adalah Siti Duile
(diperankan Yatni Ardi), perempuan rupawan yang berhasil
menaklukkan Samson. Kebetulan, seteru yang ingin mengalahkan Samson
adalah kakak Duile. Siti Duile pun diumpankan oleh sang kakak supaya
menelisik kelemahan Samson. Lewat berbagai bujuk rayu, akhirnya terungkap
rahasia kekuatan Samson yang terletak di bulu ketiak.
Kecenderungan
Korup
Kisah tentang perempuan seperti itu
telanjur tertanam dalam kesadaran kolektif kita sebagai bumbu penyedap
kisah klasik manusia. Lain Samson, lain pula mantan ketua KPK yang ko-non
kepincut asmara segi tiga dengan wanita caddy golf. Meskipun apabila kita
cermati, terlalu sederhana seorang Antasari, yang dikenal sebagai
pendekar hukum itu terjerembab hanya di hadapan Rani.
Lain Rani lain pula Maharani, yang juga
dijadikan ’’figuran’’ dalam kasus suap sapi impor. Cukup dengan imbalan
Rp 10 juta, dibangunlah kisah klasik persembahan perempuan, yang
sejatinya didesain untuk menangkap tangan seorang petinggi partai. Sekali
lagi, kisah banal yang sesungguhnya jauh dari nalar akal sehat itu
dibangun karena sedemikian ’’sedap’’ kasus korupsi berwujud gratifikasi
dibumbui dengan suap layanan seksual.
Namun kasus gratifikaseks yang dituduhkan
kepada hakim Setyabudi sangat berbeda. Palu keadilan yang digenggam,
tampak loyo dan kehilangan daya untuk menegakkan hukum seadil-adilnya.
Vonis yang dia jatuhkan terhadap 7
terdakwa kasus korupsi dana bansos, rata-rata 1 tahun, sementara dalam
dakwaan jaksa, kerugian ne-gara mencapai Rp 66,5 miliar (Kompas,
17/4/13).
Sebersit kekhawatiran wajar menyeruak
melihat begitu mudah gratifikaseks ini berlangsung. Jangan-jangan kasus
itu hanyalah puncak dari gunung es gratifikasi yang menggurita dan
diwariskan antargenerasi dalam ranah penegakan hukum.
Kenapa hakim mau menghinakan diri
menerima suap, gratifikasi, bahkan gratifikaseks, padahal remunerasi
telah menambah pendapatan mereka? Tentu ini berlaku bagi semua
pejabat negara, aparat pemerintahan, dan penegak hukum yang mendapatkan
mandat kekuasaan atau kewenangan. Menilik Lord Acton, kekuasaan itu
memang cenderung korup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar