Rabu, 25 Desember 2013

Presiden dan Lembaga Kepresidenan

Presiden dan Lembaga Kepresidenan
Denny Indrayana  ;   Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO,  24 Desember 2013

  

Presiden berbeda dengan lembaga kepresidenan. Presiden berhubungan dengan pemangku jabatan (personal, president, ambstrager). Adapun lembaga kepresidenan berkait dengan lingkungan jabatan (institusional, presidency, ambt). 

Dalam bahasa Charles O Jones (1994), “The president is not the presidency. The presidency is not the government.” Presiden berasal dari bahasa Latin praesidens, praesidereyang berarti memimpin, bukan raja (monarch). Kata latin presidere berasal dari kata prae yang maknanya di depan dan sedere yang artinya duduk. Berbeda dengan jabatan legislatif dan yudikatif yang multiple membership, jabatan presiden merupakan jabatan tunggal, posisi a club of one yang hanya diisi oleh satu orang pemangku jabatan. 

Tidak mengherankan jika karenanya seorang presiden akan menikmati legitimasi pemilu yang sangat kokoh, menjadikannya national figure yang amat berpengaruh. Mengenai strategisnya pemangku jabatan tunggal tersebut, Nigel Bowles (1998) mengatakan, “A President’s greatest political asset is that the executive power in the United States is not collective but singular … A member of Congress is one of a body 435, a Senator of a hundred, a Governor of fifty, a President of one.” 

Sejarah Amerika tentang kantor kepresidenan dimulai ketika Franklin Roosevelt membentuk President’s Commission on Administrative Management atau lebih dikenal sebagai Browlow Commission. Di tahun 1939, Presiden Roosevelt membentuk Kantor Kepresidenan (Executive Office of the President) sebagai institusi payung (umbrella agency) untuk membantu kerja presiden. Awalnya EOP mencakup White House Office (WHO) dan Biro Anggaran (Bureau of the Budget). 

Kantor Biro Anggaran yang di tahun 1970 diubah namanya menjadi Kantor Manajemen dan Anggaran (Office of Management and Budget, OMB) adalah salah satu sayap kerja utama yang dibentuk menurut Undang-Undang Anggaran dan Akuntan pada 1921. OMB memiliki fungsi strategis untuk menelaah prioritas dan rencana kerja dari lembaga eksekutif. Setiap tahun, komisi-komisi negara eksekutif harus memasukkan rencana anggarannya kepada OMB untuk direviu dan disetujui berdasarkan prioritas agenda kerja presiden. 

Karenanya OMB berhak memodifikasi rencana kerja dan anggaran eksekutif, tergantung pada keinginan presiden. Tentu saja, kewenangan mengkaji anggaran OMB tersebut tidak berlaku untuk komisi negara independen karena guna menjamin kemandiriannya, komisi independen wajib mengatur sendiri anggaran kerjanya. Salah satu faktor yang menentukan dalam kesuksesan seorang presiden adalah dukungan administrasi Kantor Kepresidenan. Di Amerika Serikat peran demikian dijalankan oleh Kantor Gedung Putih. 

White House Office membantu relasi internal kepresidenan, relasi eksternal dengan Kongres, relasi eksternal dengan media massa, memberi nasihat kebijakan hingga membuat naskah pidato presiden. Kantor Kepresidenan secara resmi dibentuk berdasarkan Reorganization Act 1933 yang kemudian direvisi pada 1939. Sejak pembentukannya pada 1939, Kantor Kepresidenan tumbuh sangat pesat meski awalnya dimaksudkan menjadi kantor yang ramping. Kuantitas terpuncak dicapai pada masa Presiden Nixon dengan jumlah staf masing-masing hampir 600 dan 6.000, untuk WHO dan EOP. 

Di masa Presiden George Bush, kantor ini mempekerjakan sekitar 1.500 orang. Angka sebenarnya lebih dari itu karena beberapa pekerja Kantor Kepresidenan diletakkan di bawah administrasi dan dibayar oleh kantor lain. Berkembangnya kuantitas pegawai kepresidenan tersebut salah satunya karena terus meningkatnya harapan publik pada perbaikan kinerja sang presiden. White House merupakan bagian dari Kantor Kepresidenan. Namun, staf di Gedung Putih tidak jarang mempunyai kekuasaan riil yang lebih besar dibandingkan menteri sekalipun. 

Bahkan Harry McPherson, mantan staf senior Gedung Putih paling berpengaruh, berpendapat posisi penasihat Gedung Putih hampir berkebalikan dengan wakil presiden. Penasihat di Gedung Putih mempunyai kekuasaan strategis yang kapan saja mungkin tiba-tiba lenyap; sebaliknya wakil presiden meski powerless, berkesempatan menggantikan posisi presiden dan karenanya menguasai kekuasaan yang luar biasa besar. Meskipun secara formal merupakan bagian dari executive of the president, White House Office secara faktual berdiri terpisah dari struktur Kantor Kepresidenan. 

Tidak sebagaimana keanggotaan staf kepresidenan lain yang diatur dengan peraturan perundangan, staf Gedung Putih (sekitar 400 orang) ditentukan langsung oleh presiden tanpa ada campur tangan Kongres. Orang-orang Gedung Putih adalah the President’s most intimate advisers. Bahkan EOP dan WHO sudah menjadi kekuatan politik tersendiri dan dinamai the presidential party. Dengan jumlah staf yang sedemikian besar, jelaslah bahwa presiden sudah mengarah menjadi institusi kepresidenan. 

Pekerjaan institusional–– bukan personal presiden––tersebut lebih terang diaplikasikan semasa sakitnya Presiden Eisenhower. Kala itu banyak keputusan yang diambil lembaga kepresidenan tanpa Presiden Eisenhower sendiri sebenarnya mengetahuinya. Saat ini pun publik harus lebih cermat untuk memisahkan setiap pernyataan dan kebijakan seorang presiden. Tidak jarang pernyataan dan kebijakan tersebut sebenarnya diolah oleh Kantor Kepresidenan tanpa presiden sendiri betul-betul memahami dan menyetujuinya. 

Dalam perjalanannya EOP dan WHO tidak hanya menjadi pusat kekuasaan politik dan badan penasihat lembaga eksekutif, tetapi juga menjadi pengolah, pencari dukungan publik, bahkan pelaksana kebijakan presiden. Itu yang terjadi di Amerika Serikat. Hal yang tidak sama tentu ada pula di belahan dunia lain, tidak terkecuali di Indonesia. Namun, berbeda dengan di Amerika Serikat, lembaga kepresidenan di Tanah Air belum tertata secara permanen. 

Kelembagaan di sekitar presiden masih bervariasi tergantung dengan gaya kepemimpinan masing-masing. Yang paling saya ikuti di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lembaga kepresidenan terutama disokong oleh wakil presiden, Kementerian Sekretaris Negara, sekretaris kabinet, dan Kantor Wakil Presiden. Di luar itu presiden dibantu oleh utusan khusus presiden serta staf khusus presiden yang mempunyai bidang khusus tertentu. 

Saya sendiri pernah mendapatkan amanah selaku staf khusus presiden bidang hukum (2008–2009) dan staf khusus presiden bidang hukum, HAM & pemberantasan KKN (2009– 2011). Di antara staf khusus ada yang berfungsi sebagai juru bicara dalam negeri dan luar negeri. Dengan dukungan personel demikian, sebenarnya lembaga kepresidenan kita sangat ramping jika dibandingkan dengan presiden Amerika Serikat yang mempunyai ribuan pegawai lembaga kepresidenan. 

Satu hal yang juga dimunculkan pada era Presiden SBY adalah UKP4 atau sebelumnya UKP3R yang dibentuk untuk membantu Presiden SBY mengawasi dan mengontrol setiap kebijakan yang dikeluarkan presiden. Unit khusus presiden tersebut menurut saya terbukti sangat efektif dalam membantu monitoring dan evaluasi berjalannya instruksi-instruksi presiden di lapangan. Lembaga semacam itu sebaiknya tetap ada di masa-masa mendatang untuk membantu kerja-kerja kepresidenan.

Tentu saja dengan komposisi yang tetap ramping struktur, tetapi kaya fungsi seperti kondisi UKP4 sekarang. Demikianlah uraian terkait pribadi presiden dan institusi lembaga kepresidenan. Keduanya tentu penting untuk mendorong arah kebijakan menuju Indonesia yang lebih baik, yaitu Indonesia yang lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar