Rabu, 18 Juli 2012

Strategi Membangun PNS ala Jepang


Strategi Membangun PNS ala Jepang
Tasroh ; Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
MEDIA INDONESIA, 18 Juli 2012


KASUS tertangkapnya Kepala Kantor Pajak Kota Bogor berinisial SA, 44, karena menerima sogok Rp300 juta dari PT Gunung Emas Abadi kian menambah daftar panjang birokrat yang terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kasus yang amat memalukan itu sekaligus mengamini tesis yang menyebutkan birokrasi Indonesia amat lekat dengan birokrasi kotor karena menjadi tradisi birokrat membisniskan kerja kantor dan menjualbelikan jasa kewenangan untuk kepentingan diri di bawah naungan simbol negara.

Wajar apabila citra birokrasi Indonesia amat terpuruk. Kita lihat, misalnya, berdasarkan nilai indeks angka korupsi dalam birokrasi Indonesia seperti hasil riset Transparansi Internasional (TI) yang berpusat di Berlin, Jerman, menyebutkan birokrat Indonesia terus mempertahankan juara korupsi selama 10 tahun terakhir. (Detiknews.com, 14/7).
Hasil kajian TI yang di Indonesia di bawah kepemimpinan Todung Mulya Lubis itu hingga kini masih ditanggapi dingin pemerintah Indonesia karena menganggap tudingan miring itu bukan kali pertama terjadi.

Pemerintah, seperti disampaikan Wamenkum dan HAM Denny Indrayana, selama dua tahun terakhir (sejak 2010) setidaknya telah menerima 18 kali hasil riset dari berbagai pihak, baik dalam maupun asing, tentang kerusakan sistem birokrasi pemerintahan Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana membangun strategi jitu memberdayakan birokrasi nasional sehingga mempercepat kemajuan dan modernisasi tata kelola pemerintahan menuju good and clean corporate governance?

Praktik ala Jepang

Setelah mencermati maraknya perilaku birokrat dan apatur demikian, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah lama berupaya untuk melakukan ‘perlawanan’. Sayangnya perlawanan yang muncul masih bersifat sporadis, tebang pilih, dan bahkan berjalan ala kadarnya. Memang benar, aparat dan lembaga hukum sebagai mata rantai dari upaya penegakan hukum telah banyak dilakukan berbagai pihak(…?). Namun, semua itu masih bersifat individual, belum menyentuh kepada pembangunan sistem yang permanen dan berkelanjutan.

Pemerintah Indonesia sudah harus mengubah strategi pembangunan disiplin dan mutu aparaturnya. Salah satunya ialah strategi membangun ‘mental bersih’ ala Jepang yang sudah dilakukan pemerintah ‘Negeri Matahari Terbit’ itu sejak 1978.

Pemerintah Jepang dikenal sebagai pemerintah yang amat ngopeni semua hasrat dan harapan birokrat/aparatur/pegawai layanan publik Jepang. Hal itu terlihat dari minimnya pelanggaran, penyelewengan, dan penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan oleh aparatur di satu sisi, serta jarangnya keluhan, protes, dan demonstrasi rakyat/warga Jepang atas hasil kerja dan kinerja pegawai pemerintah.

TI pernah membandingkan beberapa negara Asia dan Eropa terkait dengan level ‘kebersihan’ mental pegawai pemerintah Jepang. Ternyata pegawai/aparatur Jepang menduduki peringkat pertama dari 15 negara maju dalam hal kebersihan mental dan perilaku pegawai pemerintahan.

Pakar manajemen pemerintahan dari Kyoto University Tadaro Hanna dalam bukunya Beyond Productive Mental of Japan’s Public Officials (1998) menyebutkan salah satu penyebab mental ‘bersih’ ala Jepang terbangun karena dua faktor simultan yang dikembangkan pemerintah dari generasi ke generasi.

Pertama, negara/pemerintah mendorong tumbuhnya sanksi sosial. Untuk alasan itu, pemerintah Jepang melakukan langkah revolusioner, yakni dengan cara membangun sanksi sosial secara sistemis. Antara lain, setiap pegawai negeri di sana wajib menandatangani pakta integritas dan sosial terkait dengan perubahan perilaku dan mental selama menjadi pegawai/aparatur.

Pakta itu diteken di bawah sumpah dengan disaksikan semua elemen negeri, termasuk para guru spiritual dan intelektual. Salah satu sumpah dan janji khas Jepang yang amat menarik ialah kemauan PNS Jepang secara sukarela melepaskan jabatan/kerja ketika ada satu pihak merasa dirugikan, dicemarkan, atau dipersalahkan jauh sebelum sanksi sosial dan hukum resmi negara melakukan eksekusi sesuai dengan hukum positif yang berlaku.
Janji dan sumpah itu akan terus dicatat dan dideteksi secara berkelanjutan oleh lembaga negara yang hadir mulai tingkat desa/kecamatan (chi, ken) hingga ke tingkat provinsi/negara (prefecture).

Begitu juga aparatur dan lembaga hukum yang diberi kewenangan harus menindak dan memberikan kabar ke mana, bagaimana, dan atas dasar apa sebuah putusan dilakukan di hadapan mahkamah rakyat yang ada di tingkat kabupaten (ken), demikian seterusya.
Aparat hukum yang melanggar tak hanya akan ‘diadili’ dengan sanksi sosial yang keras, tetapi juga bisa mendapatkan sanksi 10 kali lipat kerasnya jika dibandingkan dengan pegawai/warga biasa. Kenapa? Karena kesalahan yang dilakukan aparat yang paham hukum berdampak amat luas sehingga perlu dihukum lebih berat. Dengan cara demikian, belum sampai pada tindakan dan perilaku, pegawai negeri di Jepang amat santun dan jujur-bersih dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan konsumen layanan publik lainnya. Wajar apabila sering kita jumpai, tokoh dan aparatur pegawai di Jepang sudah mengundurkan diri dari jabat annya jauh sebelum vonis hukum dieksekusi. Itulah tradisi yang terus dikembangterapkan Jepang dalam membangun ‘mental bersih’ PNS.

Kedua, membatasi aktivitas pegawai negeri Jepang untuk berbisnis murni atau membisniskan kerja negara. Pemerintah sudah lama melarang pegawai negeri menjalankan atau berafi liasi dengan pihak bisnis/investor baik berafiliasi atas nama usaha/bisnis diri sendiri, keluarga, ataupun handai tolan hingga level ketiga (tidak boleh istri, anak, dan/atau anggota keluarga dari keturunan suami/istri) menjalankan bisnis murni layaknya pihak swasta.

Bisnis Berbagai Bidang

Langkah itu dilakukan lantaran Jepang merupakan negara industri terbesar di dunia. World Bank (2011) mencatat 90% aktivitas rakyat Jepang sebagai yang tersibuk berbisnis di seluruh dunia. Ada 2.912 jenis merek berbagai bidang yang menjadi ‘milik Jepang’ (intellectual right) sehingga bisa disebut hampir semua warga Jepang menjalankan bisnis di berbagai bidang.

Atas dasar lanskap sosial demikian, Jepang mengatur bagaimana dan atas dasar apa PNS berbisnis dan sanksi hukum negara yang amat keras akan dilakukan ketika PNS berbisnis murni, apalagi membisniskan kerja dan kekuasaan/kewenangannya.

Langkah demikian terbukti efektif, eļ¬sien, dan produktif berjalan-berkembang dalam birokrasi di Jepang dan kini model demikian sudah mulai banyak ditirukembangkan di China dan Korea Selatan.

Nah, Indonesia kini sudah memiliki aneka regulasi di berbagai bidang. Juga sudah memiliki aparat dan lembaga terkait untuk mengendalikan perilaku dan sikap aparaturnya. Hanya yang belum dilakukan ialah pelaksanaannya di lapangan oleh lembaga terkait dan aparatur/PNS itu sendiri yang masih belum sepenuhnya dihayati, diamalkan, dan disebarluaskan dari, oleh, dan untuk para aparatur pemerintahan.

Pemerintah Indonesia harus benar-benar berani melaksanakan apa yang sudah diatur dalam regulasinya sendiri. Tentu dengan pengawasan, pengendalian, dan pemantauan ketat dari semua komponen bangsa ini!

1 komentar:

  1. Itu dari segi Punishment...bagaimana dengan reward untuk PNS?...di sini, Reward itu adalah punishment yang dibungkus kado promosi atau apapun istilahnya. Bagaimana mungkin PNS yang sudah menikah dengan PNS yang belum menikah (dengan pangkat, jabatan, maasa kerja sama) cuma selisih 10% dari tunjangan pokok. Menurut saya betul sekali pendapak Kwiek Kian Gie kalo gaji PNS itu tidak cukup untuk hidup tapi cukup untuk tidak mati.

    BalasHapus