Berhala
Peradilan Momok Pemberantasan Korupsi
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
KORAN
TEMPO, 18 Juli 2012
Ketika Komisi Pemberantasan
Korupsi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, ekspektasi
publik adalah sampai pada tingkat imajinasi penggulungan para koruptor tanpa
sisa. Namun hampir satu dekade telah berlalu, tindak pidana korupsi justru
makin menggila. Timbul gagasan melikuidasi KPK karena dianggap tidak efektif.
Kesimpulan ini saya nilai sangat sumir dan tidak proporsional, karena KPK
identik dengan superhero.
Sebagai bagian dari lembaga
penegak hukum dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bagaimanapun KPK tidak
akan pernah bermetamorfosis menjadi Superman, yang dapat membalikkan dunia
dalam sekejap. Sebab, upaya penumpasan tindak pidana korupsi, sebagaimana
halnya penegakan hukum secara umum di Indonesia, menurut Talcot Parsons, sudah
sedemikian kusut dan berkoneksi secara resiprokal dengan anasir-anasir
non-hukum.
Belum optimalnya upaya penumpasan
tindak pidana korupsi selama ini tidak hanya disebabkan oleh kebijakan jajaran
penegak hukum yang hanya membidik pelaku korupsi kelas teri dan tidak berani
menggulung koruptor kelas kakap karena dikhawatirkan dapat menggoyang
kekuasaan, tapi juga karena kelemahan hukum itu sendiri.
Anehnya, karena begitu banyak
lembaga penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi dewasa ini, kita
belum merasakan titik cerah bahwa bangsa kita terbebas dari virus tindak pidana
korupsi. Kelemahan yang paling krusial bukan hanya pada persoalan struktur
hukum dalam bentuk pola rekrutmen, promosi, dan status para penegak hukum yang
cenderung disamakan dengan pegawai negeri sipil, tapi juga terbersit dari sisi
substansi hukum maupun legal
culture sebagaimana
sinyalemen Lawrence M. Friedman.
Para fungsionaris hukum sejak
dulu sampai saat ini masih terjajah oleh kekuatan legalisme positivisme.
Seperti kita maklum bahwa kaum legalis dan positivis berkesimpulan: setiap
penyelenggara hukum tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara
tegas. Sebab, undang-undang sudah sangat lengkap dan mapan.
Indikasi keterjajahan
fungsionaris hukum sebagaimana dikemukakan di atas tampak jelas pada sikap dan
perilaku mereka dalam menangani tindak pidana korupsi, yang selalu memposisikan
undang-undang sebagai kitab suci dan rujukan tunggal. Hal ini dapat terjadi
karena sebagian besar fungsionaris hukum yang memegang otoritas peradilan
dewasa ini merupakan alumnus fakultas hukum dari tiga bahkan empat dekade yang
lalu.
Ketika itu, konsep teoretis hukum
masih didominasi gaya pemikiran legalis dan positivis klasik. Padahal hukum
sebagai salah satu kajian ilmu non-eksakta mempunyai karakter yang sangat
dinamis seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Salah satu peninggalan
monumental kaum legalis dan positivis dalam dunia hukum adalah asas legalitas
yang kini justru menjadi dewa dan sakral dalam hukum pidana termasuk tindak
pidana korupsi.
Sampai detik ini, polisi, jaksa,
hakim, bahkan pengacara, jika berbicara soal tindak pidana korupsi, asas
legalitas (tidak ada perbuatan yang dapat dihukum selain apa yang telah diatur
dalam peraturan hukum tertulis) nyaris menjadi berhala pengadilan. Padahal
sejak dulu hingga lahirnya Undang-Undang Nomor 12/2011, diketahui bahwa sumber
hukum itu tidak hanya yang bersifat tertulis seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, dan sebagainya, tetapi juga hukum yang tidak tertulis, seperti
hukum adat, perasaan keadilan, pendapat umum, dan lain-lain.
Saya memahami bahwa penerapan
asas legalitas dalam kasus in-konkreto dimaksudkan untuk
mewujudkan kepastian hukum. Namun harus diingat bahwa tujuan hukum tidak hanya
mengejar target kepastian pada hukum, tetapi juga pada aspek keadilan dan
kemanfaatan hukum. Bahkan Gustav Radbruch, dalam menentukan skala prioritas
ketiga unsur tujuan hukum tersebut, menempatkan aspek keadilan sebagai unsur
yang paling didahulukan, kemudian menyusul soal kemanfaatan hukum. Sedangkan
unsur kepastian hukum, menurut dia, berada pada urutan terakhir.
Sikap dan perilaku fungsionaris
hukum yang terlalu mendewakan asas legalitas dalam tindak pidana korupsi,
secara teknis yuridis, sesungguhnya merupakan penyimpangan terhadap UU Nomor
14/1970 juncto UU Nomor 35/1999, juncto UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa hakim, dalam memeriksa dan
mengadili setiap perkara, tidak terkecuali tindak pidana korupsi, selain harus
berdasarkan peraturan hukum tertulis, wajib menggali nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat.
Sayang sekali, karena ketentuan
tersebut bukan hanya tidak begitu populer dalam lapangan hukum pidana, termasuk
tindak pidana korupsi, tapi juga malah dianggap sebagai bentuk pelanggaran
hukum sebagaimana yang menimpa ikhtiar Bismar Siregar. Perlu dijelaskan bahwa
tokoh pembaharu hukum ini, dalam memeriksa dan mengadili sebuah perkara pidana
di PT Medan, mencoba merekonstruksi dogma hukum melalui pranata argumentum
peranalogian, tapi ternyata gugur akibat pembatalan MA yang masih mendewakan
otoritas legalisme dan positivisme dengan senjata pamungkas bahwa konstruksi
analogi haram dalam tindak pidana korupsi maupun hukum pidana seluruhnya.
Lebih ironis karena, dalam upaya
menumpas tindak pidana korupsi sampai ke akar-akarnya, hukum acara pidana
sebagai prosedur formal dalam menegakkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
masih memelihara, bahkan sangat memanjakan, asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence) sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut di atas dan
penjelasan umum butir 3 sub c KUHAP. Terlepas dari persoalan perlindungan HAM,
asas praduga tak bersalah selama ini sungguh-sungguh telah memberi ruang dan
celah bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk memperoleh kehormatan, bahkan
keistimewaan, di tengah kegeraman publik terhadap mereka.
Secara teknis yuridis, asas praduga
tak bersalah sesungguhnya amat paradoks dengan UU Tindak Pidana Korupsi itu
sendiri, yang mengisyaratkan keberlakuan asas pembalikan beban pembuktian.
Dalam Pasal 17 ayat (1) dan (4) serta Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No. 31/1999 juncto UU No. 20/2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi antara lain diatur bahwa setiap orang yang dinyatakan
tersangka sebagai pelaku tindak pidana korupsi secara hukum dibebani kewajiban
membuktikan ketidakbenaran tuduhan yang disangkakan terhadapnya.
Konsekuensi logis dianutnya asas
ini adalah tersangka sejak semula sudah harus dinyatakan bersalah sampai
terbukti sebaliknya. Dengan demikian, eksistensi asaspresumption of
innocence seharusnya gugur
demi hukum atau tidak dapat diterapkan khusus dalam perkara tindak pidana
korupsi setelah pemberlakuan pembalikan beban pembuktian dalam UU Tindak Pidana
Korupsi.
Untuk mewujudkan penegakan hukum
secara sempurna di bidang tindak pidana korupsi, perlu dilakukan revolusi
hukum. Jangan lagi tambal sulam seperti sekarang, melainkan harus komprehensif,
fundamental, dan sistematis sebagaimana yang dilakukan di Cina. Solusi
pendekatan luar biasa seperti yang dikemukakan di atas mencakup peniadaan
seluruh instrumen hukum yang menghambat, mempersulit proses hukum, termasuk
perombakan total terhadap proses rekrutmen aparat penegak hukum.
Selain itu, kompetensi penyidikan
dan penyelidikan, penuntutan, proses peradilan, hingga eksekusi melalui lembaga
pemasyarakatan semuanya harus dirombak. Kalau perlu, eksekusi pidana mati
dilakukan secara terbuka demi menciptakan efek jera yang efektif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar