Rabu, 18 Juli 2012

Negara Membenarkan Neoborjuisme

Negara Membenarkan Neoborjuisme
Misranto ; Rektor Universitas Merdeka Pasuruan
MEDIA INDONESIA, 18 Juli 2012


SEKITAR sembilan tahun lalu, beberapa elemen masyarakat menggalang kekuatan bertajuk penolakan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasalnya, RUU tersebut dinilai diskriminatif. Kendati mendapat reaksi, RUU Sisdiknas itu tetap disahkan. Kehadiran UU 20/2003 tentang Sisdiknas ternyata membawa sejumlah tuntutan bagi penyelenggara pendidikan, di antaranya pembentukan badan hukum.

Akibat produk tersebut, akhirnya negara kembali membuat ‘sayap’ yuridisnya berupa UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU BHP dijadikan regulasi oleh negara untuk mengatur (mewajibkan) dunia pendidikan, di antaranya perguruan tinggi (PT), supaya pengelolanya mampu menjalankan roda aktivitas edukatif.

Kehadiran UU BHP pun kemudian menuai penolakan secara dahsyat di masyarakat, khususnya kalangan pembela komunitas akar rumput (orang miskin). Mereka menilai kehadiran UU BHP hanya mengamankan, melindungi, dan membenarkan PT yang berlomba memperlakukan masyarakat sebagai pasar empuk. Fenomena ‘salah kaprah’, yang dikonstruksi PT pada 2009 saat menyikapi kehadiran UU BHP atau menyambut otonomi kampus, membuat masyarakat benar-benar dikecewakan.

Itu pulalah yang membuat Mahkamah Konstitusi (MK) menjawabnya dengan putusan bernapaskan kerakyatan atau mencoba mengembalikan manajemen pengelolaan PT yang berbasiskan (berfilosofikan) egalitarianisme atau memberi tempat bagi kalangan tidak mampu (orang miskin) dalam ranah kemanusiaan dan keadaban di jagat PT.

Meski UU BHP sudah dibatalkan MK dengan filosofi tersebut, apakah lantas gejala euforia kapitalisme pendidikan di negeri ini, khususnya di lingkungan perguruan tinggi, otomatis terhenti? Atau akankah derasnya kapitalisme pendidikan, yang sudah sekian lama menghegemoni PT, menjadi lenyap dalam sekejap? Ternyata tidak. Terbukti, negara kembali mengesahkan RUU PT, baru-baru ini, yang di antaranya menyerahkan kembali otoritas pengelolaan pendidikan, termasuk pembiayaannya, kepada setiap PT.

Sejumlah kalangan menilai konsep otonomi perguruan tinggi yang diatur UU PT berpotensi melahirkan komersialisasi pendidikan (Media Indonesia, 16/7). PT yang merasa mendapatkan perlindungan hukum tentu akan semakin menggelorakan otonomi atau bahkan memutlakkannya secara internal. Pasalnya, pengelola PT selama ini sudah terseret dalam gelombang dahsyat pencarian dan pemapanan sumber dana dengan memperlakukan mahasiswa sebagai `sekoci' utamanya. Dana yang bisa terkumpul dari euforia otonomi PT bersifat spektakuler dan sensasional.

Warna kapitalisme pendidikan di PT, terlebih PT negeri (PTN), lebih tampak berdaya dan berjaya, yang secara tidak langsung membenarkan neoborjuisme.
Hal itu dibuktikan dengan pencarian mahasiswa sampai berlapis-lapis atau berbagai model, mulai dari model yang paling standar (PMDK dan SNMPTN) hingga cara-cara khusus dengan `menu' atau tarif yang bersifat spesial. PT yang seharusnya jadi milik rakyat tanpa pengecualian justru ideologi humanistisnya dieliminasi oleh negara, yang secara sistematis memberikan hak liberalisasi untuk menempatkan kelompok berduit sebagai pemburu dan petarung demi merebut kursi yang dijual.

Dari kebijakan yang berpola standar saja, misalnya, kalangan miskin belum tentu bisa masuk ke PT. Pasalnya, begitu pengumuman hasil tes PMDK atau SNMPTN (istilah berubah-ubah) dikeluarkan, calon mahasiswa dari kalangan miskin belum tentu bisa memenuhinya, mengingat mereka tetap terkena biaya jutaan rupiah.

Fakta sekarang, sejumlah PT bertarif mahal tidak sulit ditemukan di kota-kota besar seperti Surabaya, Malang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. PT bertarif selangit itu dominan atau nyaris mutlak merupakan PTN atau swasta favorit. Perguruan tinggi swasta (PTS) guram tidak berani memberikan daftar `menu' mahal ke pada masyarakat. Sebab, secara umum PTS tersebut kalah bersaing dalam memperebutkan lahan garapan (mahasiswa).

PTN, misalnya, dari waktu ke waktu semakin gencar menjual paradigma komersialisasi (kapitalisme) pendidikan. Mereka tidak pernah kehabisan lahan garapan, apalagi mereka memang menggunakan hak otoritas untuk mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya. Mereka bias menggunakan jurus beragam, berbeda jauh daripada ketika PTN hanya menerapkan dua sistem bernama Sipenmaru dan PMDK.

Jauh-jauh hari masyarakat atau calon mahasiswa juga sudah mendapatkan selebaran, brosur, atau info-info melalui internet yang menyebutkan besaran biaya yang harus dibayar jika ingin diterima di PTN. PTN bisa berpacu lebih cepat ketimbang PTS guram dalam mencari dan memburu mahasiswa.

Barangkali pemerintah perlu belajar kepada PT di China. Di sana, banyak perguruan tinggi yang dilengkapi dengan aneka perangkat modern seperti aneka pemancar dan hot spot, yang memungkinkan dosen dan mahasiswa mengakses internet secara bebas dan gratis. Itulah sebabnya dalam publikasi Webometrics, banyak perguruan tinggi di China yang menduduki posisi terhormat (Supriyoko, 2010).

Itu semua bisa diraih berkat perhatian maksimal, objektif, berkeadilan, berkemanusiaan, dan demokratis yang diberlakukan pemerintah.

Di dalam publikasi mutakhir CINDOC edisi Januari 2010 dinyatakan bahwa 10 dari 100 perguruan tinggi terbaik Asia berasal dari China. Yaitu, Peking University meraih rangking ke-12, Tsinghua University China (20), Shanghai Jiao Tong University (36), Zhejiang University (40), Fudan University (43), University of Hong Kong (4), Chinese University of Hong Kong (5), Hong Kong University of Science and Technology (28), City University of Hong Kong (39), dan Hong Kong Polytechnic University (41).

Kehebatan PT di China dapat dijadikan objek pembelajaran oleh pemerintah untuk memperhatikan atau mengapresiasi realitas perkembangan proses pembelajaran di PT, khususnya PT yang masih mengalami ‘kemiskinan’ fasilitas. Di negeri ini, PT yang mengalami ‘kemiskinan’ fasilitas tidak sulit ditemui. Kalau mereka dituntut ikut berkompetisi penuh lewat proyek hibah yang disediakan pemerintah demi peningkatan kualitas, tidak jarang menemui kegagalan akibat dukungan manajemen internal yang tidak memadai.

Jika kondisi seperti itu dibiarkan berlanjut atau terawetkan, PT sulit mencapai prestasi hebat dan akan tetap tertinggal dari PT negara-negara lain. Di saat PTN terfokus pada kesibukan memburu ‘lahan’ kapitalisme, PTS guram tak mempunyai daya dukung untuk memprogresifkan dirinya akibat fakir dana dan sumber daya manusia andal.

Lebih mengenaskan lagi, PT dari negara-negara lain juga mendapatkan kesempatan melalui UU PT untuk merebut pasar di Tanah Air, yang tentu saja berpotensi mengalahkan PTS guram atau PTN yang hanya sibuk berburu mahasiswa dan mengabaikan kualitas proses pembelajaran. Kecenderungan masyarakat yang lebih ‘menggilai’ gelar formalitas bertrademark luar negeri dapat menyeret elemen masyarakat untuk membelinya, dengan harga berapa pun.

Kalau sudah begitu, PT yang diayomi UU PT akan mengagregasikan diri sebagai unit usaha yang lebih fokus berkompetisi hanya untuk menggiring kandidat mahasiswa menjadi neoborjuis, bukan menjadi anak bangsa yang militan merebut prestasi dan reputasi setinggi-tingginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar