Negara
Membenarkan Neoborjuisme
Misranto ; Rektor Universitas
Merdeka Pasuruan
MEDIA
INDONESIA, 18 Juli 2012
SEKITAR sembilan tahun lalu, beberapa elemen masyarakat menggalang
kekuatan bertajuk penolakan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasalnya,
RUU tersebut dinilai diskriminatif. Kendati mendapat reaksi, RUU Sisdiknas itu
tetap disahkan. Kehadiran UU 20/2003 tentang Sisdiknas ternyata membawa
sejumlah tuntutan bagi penyelenggara pendidikan, di antaranya pembentukan badan
hukum.
Akibat produk tersebut, akhirnya negara kembali membuat ‘sayap’
yuridisnya berupa UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU BHP
dijadikan regulasi oleh negara untuk mengatur (mewajibkan) dunia pendidikan, di
antaranya perguruan tinggi (PT), supaya pengelolanya mampu menjalankan roda
aktivitas edukatif.
Kehadiran UU BHP pun kemudian menuai penolakan secara dahsyat di
masyarakat, khususnya kalangan pembela komunitas akar rumput (orang miskin).
Mereka menilai kehadiran UU BHP hanya mengamankan, melindungi, dan membenarkan
PT yang berlomba memperlakukan masyarakat sebagai pasar empuk. Fenomena ‘salah
kaprah’, yang dikonstruksi PT pada 2009 saat menyikapi kehadiran UU BHP atau
menyambut otonomi kampus, membuat masyarakat benar-benar dikecewakan.
Itu pulalah yang membuat Mahkamah Konstitusi (MK) menjawabnya
dengan putusan bernapaskan kerakyatan atau mencoba mengembalikan manajemen
pengelolaan PT yang berbasiskan (berfilosofikan) egalitarianisme atau memberi
tempat bagi kalangan tidak mampu (orang miskin) dalam ranah kemanusiaan dan
keadaban di jagat PT.
Meski UU BHP sudah dibatalkan MK dengan filosofi tersebut, apakah
lantas gejala euforia kapitalisme pendidikan di negeri ini, khususnya di
lingkungan perguruan tinggi, otomatis terhenti? Atau akankah derasnya kapitalisme
pendidikan, yang sudah sekian lama menghegemoni PT, menjadi lenyap dalam
sekejap? Ternyata tidak. Terbukti, negara kembali mengesahkan RUU PT, baru-baru
ini, yang di antaranya menyerahkan kembali otoritas pengelolaan pendidikan,
termasuk pembiayaannya, kepada setiap PT.
Sejumlah kalangan menilai konsep otonomi perguruan tinggi yang
diatur UU PT berpotensi melahirkan komersialisasi pendidikan (Media Indonesia, 16/7).
PT yang merasa mendapatkan perlindungan hukum tentu akan semakin menggelorakan
otonomi atau bahkan memutlakkannya secara internal. Pasalnya, pengelola PT
selama ini sudah terseret dalam gelombang dahsyat pencarian dan pemapanan
sumber dana dengan memperlakukan mahasiswa sebagai `sekoci' utamanya. Dana yang
bisa terkumpul dari euforia otonomi PT bersifat spektakuler dan sensasional.
Warna kapitalisme pendidikan di PT, terlebih PT negeri (PTN),
lebih tampak berdaya dan berjaya, yang secara tidak langsung membenarkan
neoborjuisme.
Hal itu dibuktikan dengan pencarian mahasiswa sampai berlapis-lapis atau berbagai model, mulai dari model yang paling standar (PMDK dan SNMPTN) hingga cara-cara khusus dengan `menu' atau tarif yang bersifat spesial. PT yang seharusnya jadi milik rakyat tanpa pengecualian justru ideologi humanistisnya dieliminasi oleh negara, yang secara sistematis memberikan hak liberalisasi untuk menempatkan kelompok berduit sebagai pemburu dan petarung demi merebut kursi yang dijual.
Hal itu dibuktikan dengan pencarian mahasiswa sampai berlapis-lapis atau berbagai model, mulai dari model yang paling standar (PMDK dan SNMPTN) hingga cara-cara khusus dengan `menu' atau tarif yang bersifat spesial. PT yang seharusnya jadi milik rakyat tanpa pengecualian justru ideologi humanistisnya dieliminasi oleh negara, yang secara sistematis memberikan hak liberalisasi untuk menempatkan kelompok berduit sebagai pemburu dan petarung demi merebut kursi yang dijual.
Dari kebijakan yang berpola standar saja, misalnya, kalangan
miskin belum tentu bisa masuk ke PT. Pasalnya, begitu pengumuman hasil tes PMDK
atau SNMPTN (istilah berubah-ubah) dikeluarkan, calon mahasiswa dari kalangan
miskin belum tentu bisa memenuhinya, mengingat mereka tetap terkena biaya
jutaan rupiah.
Fakta sekarang, sejumlah PT bertarif mahal tidak sulit ditemukan
di kota-kota besar seperti Surabaya, Malang, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. PT
bertarif selangit itu dominan atau nyaris mutlak merupakan PTN atau swasta
favorit. Perguruan tinggi swasta (PTS) guram tidak berani memberikan daftar
`menu' mahal ke pada masyarakat. Sebab, secara umum PTS tersebut kalah bersaing
dalam memperebutkan lahan garapan (mahasiswa).
PTN, misalnya, dari waktu ke waktu semakin gencar menjual
paradigma komersialisasi (kapitalisme) pendidikan. Mereka tidak pernah
kehabisan lahan garapan, apalagi mereka memang menggunakan hak otoritas untuk
mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya. Mereka bias menggunakan jurus beragam,
berbeda jauh daripada ketika PTN hanya menerapkan dua sistem bernama Sipenmaru
dan PMDK.
Jauh-jauh hari masyarakat atau calon mahasiswa juga sudah
mendapatkan selebaran, brosur, atau info-info melalui internet yang menyebutkan
besaran biaya yang harus dibayar jika ingin diterima di PTN. PTN bisa berpacu
lebih cepat ketimbang PTS guram dalam mencari dan memburu mahasiswa.
Barangkali pemerintah perlu belajar kepada PT di China. Di sana,
banyak perguruan tinggi yang dilengkapi dengan aneka perangkat modern seperti
aneka pemancar dan hot spot, yang
memungkinkan dosen dan mahasiswa mengakses internet secara bebas dan gratis.
Itulah sebabnya dalam publikasi Webometrics,
banyak perguruan tinggi di China yang menduduki posisi terhormat (Supriyoko,
2010).
Itu semua bisa diraih berkat perhatian maksimal, objektif,
berkeadilan, berkemanusiaan, dan demokratis yang diberlakukan pemerintah.
Di dalam publikasi mutakhir CINDOC edisi Januari 2010 dinyatakan
bahwa 10 dari 100 perguruan tinggi terbaik Asia berasal dari China. Yaitu, Peking University meraih rangking ke-12,
Tsinghua University China (20), Shanghai
Jiao Tong University (36), Zhejiang University (40), Fudan University (43),
University of Hong Kong (4), Chinese University of Hong Kong (5), Hong Kong
University of Science and Technology (28), City University of Hong Kong (39),
dan Hong Kong Polytechnic University (41).
Kehebatan PT di China dapat dijadikan objek pembelajaran oleh
pemerintah untuk memperhatikan atau mengapresiasi realitas perkembangan proses
pembelajaran di PT, khususnya PT yang masih mengalami ‘kemiskinan’ fasilitas.
Di negeri ini, PT yang mengalami ‘kemiskinan’ fasilitas tidak sulit ditemui.
Kalau mereka dituntut ikut berkompetisi penuh lewat proyek hibah yang
disediakan pemerintah demi peningkatan kualitas, tidak jarang menemui kegagalan
akibat dukungan manajemen internal yang tidak memadai.
Jika kondisi seperti itu dibiarkan berlanjut atau terawetkan, PT
sulit mencapai prestasi hebat dan akan tetap tertinggal dari PT negara-negara
lain. Di saat PTN terfokus pada kesibukan memburu ‘lahan’ kapitalisme, PTS
guram tak mempunyai daya dukung untuk memprogresifkan dirinya akibat fakir dana
dan sumber daya manusia andal.
Lebih mengenaskan lagi, PT dari negara-negara lain juga
mendapatkan kesempatan melalui UU PT untuk merebut pasar di Tanah Air, yang
tentu saja berpotensi mengalahkan PTS guram atau PTN yang hanya sibuk berburu
mahasiswa dan mengabaikan kualitas proses pembelajaran. Kecenderungan
masyarakat yang lebih ‘menggilai’ gelar formalitas bertrademark luar negeri
dapat menyeret elemen masyarakat untuk membelinya, dengan harga berapa pun.
Kalau sudah begitu, PT yang diayomi UU PT akan mengagregasikan
diri sebagai unit usaha yang lebih fokus berkompetisi hanya untuk menggiring
kandidat mahasiswa menjadi neoborjuis, bukan menjadi anak bangsa yang militan
merebut prestasi dan reputasi setinggi-tingginya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar