Jumat, 20 Juli 2012

Ramadhan: Tobat “Nasuha”


Ramadhan: Tobat “Nasuha”
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta;
Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos
KOMPAS, 19 Juli 2012


Setiap kali Ramadhan datang, ketika itu pula ”kehebohan” yang nyaris rutin melanda Tanah Air. Kehebohan itu, misalnya, terkait dengan masih terjadinya perbedaan penetapan awal puasa antara Muhammadiyah dan NU.

Tidak kurang pula hebohnya adalah peningkatan harga berbagai kebutuhan sehari-hari, juga menjelang Idul Fitri nanti karena peningkatan konsumsi yang pada gilirannya memicu inflasi. Selain itu, pemerintah juga heboh dengan perbaikan infrastruktur yang sudah menjadi ’ritual’ tahunan, seperti jalan raya pantura Jawa.

Pada sisi lain, semangat dan gairah keagamaan juga terlihat tidak pernah surut. Untuk melihat gejala ini, orang hanya perlu pergi ke Bandara Soekarno-Hatta misalnya, di mana sepanjang tahun—khususnya di musim liburan sekolah lalu serta menjelang dan selama Ramadhan—bisa menyaksikan gelombang rombongan jemaah umrah yang tak pernah putus. Jika gejala ini mengindikasikan peningkatan ghirah keagamaan, juga sekaligus pertanda meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat sehingga dapat membiayai perjalanan keagamaan yang tidak murah.

Kesenjangan Mencolok

Gejala peningkatan keagamaan yang terus meningkat itu jika dikaitkan dengan realitas lain dalam masyarakat Indonesia pada berbagai bidang kehidupan, dengan segera terlihat adanya kesenjangan mencolok. Di satu pihak ada ghirah keagamaan yang terus meningkat, tetapi pada saat yang sama berbagai bentuk perbuatan keji dan mungkar terus mewabah di mana-mana. Dan, ini membawa orang pada pandangan bahwa tidak ada hubungan antara peningkatan ghirah keagamaan dan kehidupan sosial lebih luas.

Kesenjangan paling jelas adalah masih berlanjutnya, jika tidak dapat dikatakan meningkat, perbuatan melanggar ketentuan agama dan hukum negara, seperti korupsi. Tindakan risywah (baca: suap) masih terus merajalela pada berbagai lini kehidupan sejak dari tingkat atas sampai tingkat bawah; sejak dari pejabat publik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sampai kepada pejabat kelurahan dan desa. Hampir tak ada urusan yang tidak melibatkan korupsi, semacam uang sogok dan pelicin: sejak dari urusan KTP, IMB, urusan mendapatkan proyek-proyek pemerintah, sampai untuk pengangkatan ke dalam posisi tertentu dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga publik.

Banyak pemangku kekuasaan di lembaga-lembaga pemerintahan dan publik, yang notabene adalah orang-orang beragama, kelihatan sama sekali tidak memelihara amanah dan memegang integritas. Sebaliknya, posisi otoritas yang mereka pegang memicu keleluasaan untuk melakukan tindakan ’aji mumpung’ demi keuntungan pribadi, kelompok, dan juga partai politik. Akibatnya, kerusakan terjadi tidak hanya pada tingkat pribadi, tetapi juga lingkungan institusi pemerintah dan publik, partai politik dan masyarakat lebih luas. Korupsi tidak lain mengakibatkan distorsi dan kekacauan luar biasa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan penataan kehidupan publik.

Tanpa harus diteliti secara cermat, kebanyakan pelaku korupsi—baik yang masih tersangka maupun yang sudah dijatuhi hukuman—adalah orang-orang yang jika dilihat dari namanya saja sudah memperlihatkan nama yang agamis. Terlihat keluarga mereka adalah juga keluarga agamis. Namun, nama agamis dan berisi doa untuk menjadi orang beriman dan bertakwa ternyata juga tidak menjadi halangan melakukan korupsi serta berbagai bentuk pelanggaran ajaran agama dan ketentuan hukum negara. Jika dari sudut pribadi saja tidak ada halangan untuk korupsi, praktis tak ada lagi halangan yang tidak bisa mereka atasi, termasuk ajaran agama dan ketentuan hukum negara yang bisa dimanipulasi.

Tidak jarang pula para pelaku korupsi ini mencoba melakukan sin laundering, mencuci dosa, misalnya dengan naik haji atau pergi umrah; mengirim anak-anak ke sekolah Islam, madrasah, atau pesantren; memberikan sumbangan, infak, dan sedekah ke masjid atau lembaga pendidikan Islam; dan lebih telanjang lagi dengan memakai jilbab atau bahkan cadar ketika diusut KPK atau kejaksaan dan di pengadilan. Publik secara tiba-tiba dihadapkan dengan kesan, para pelaku yang berjilbab dan bercadar itu adalah orang-orang yang menjalankan perintah agama dan karena itu ’tidak mungkin korupsi’.

Akan tetapi, jelas, dosa karena korupsi dan perbuatan keji dan mungkar lain yang mereka lakukan tidak bisa dicuci dengan cara-cara seperti itu. Dosa sebesar biji sawi sekalipun tetap tercacat; tidak bisa terhapuskan. Dalam Islam, ada ajaran la talbisu al-haqqa bi al-bathil—jangan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan dan kemungkaran. Perbuatan baik, seperti naik haji dan pergi umrah atau memberikan infak dan sedekah tidak secara serta-merta dapat menghapuskan tindakan batil dan mungkar, seperti korupsi.

Sebenar-benar Tobat

Jika para pelaku korupsi dan tindakan batil dan mungkar lainnya ingin memperbaiki kehidupannya, tidak ada jalan lain kecuali dengan bertobat sebenar-benar tobat. Tobat seperti ini dalam istilah Islam disebut taubatan nashuha. Allah SWT berfirman: ”Hai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha.”

Tobat secara bahasa berarti ’kembali’. Tegasnya, kembali kepada kebenaran yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Tobat dengan demikian, pertama-tama, mengharuskan penyesalan atas perbuatan batil dan mungkar yang telah dilakukan. Kemudian, diikuti dengan kesungguhan untuk kembali ke jalan yang benar dan pada saat yang sama berjanji kepada diri sendiri dan Allah SWT untuk tidak mengulangi jalan yang sesat dan koruptif.

Tobat seorang pelaku tindakan keji dan mungkar menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah dapat dilakukan langsung dengan memohon ampun kepada-Nya. Allah SWT Maha Pengampun dan mencintai mereka yang menyesali perbuatan keji dan mungkar yang dia lakukan, serta bertobat dengan sebenar-benar tobat.

Akan tetapi, tobat dari tindakan yang merugikan orang lain, masyarakat, dan bangsa tidak bisa terselesaikan dengan hanya melakukan tobat kepada Allah. Sebaliknya, tobat tersebut bisa sah hanya dengan menyelesaikan urusan dengan semua pihak terkait. Jika pelaku tersebut melakukan korupsi, ia wajib mengembalikan uang dan harta hasil korupsinya kepada asalnya—aset publik dan negara. Dengan kata lain, jika sekadar tobat tanpa mengembalikan uang dan harta hasil jarahan aset publik, tobatnya adalah sia-sia belaka.

Bulan Ramadhan membukakan pintu sangat lebar untuk taubatan nashuha yang dapat memperbaiki kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa, dan negara. Dan, bulan suci ini juga memberikan peluang sangat besar untuk penguatan integritas diri; menjadi orang-orang yang takwa, yakni terpelihara dari perbuatan yang keji dan mungkar serta berbagai bentuk perbuatan koruptif lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar