Ramadhan:
Tobat “Nasuha”
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta;
Anggota Council on Faith,
World Economic Forum, Davos
KOMPAS,
19 Juli 2012
Setiap kali Ramadhan datang, ketika itu pula
”kehebohan” yang nyaris rutin melanda Tanah Air. Kehebohan itu, misalnya,
terkait dengan masih terjadinya perbedaan penetapan awal puasa antara
Muhammadiyah dan NU.
Tidak kurang pula hebohnya adalah peningkatan
harga berbagai kebutuhan sehari-hari, juga menjelang Idul Fitri nanti karena
peningkatan konsumsi yang pada gilirannya memicu inflasi. Selain itu,
pemerintah juga heboh dengan perbaikan infrastruktur yang sudah menjadi
’ritual’ tahunan, seperti jalan raya pantura Jawa.
Pada sisi lain, semangat dan gairah keagamaan
juga terlihat tidak pernah surut. Untuk melihat gejala ini, orang hanya perlu
pergi ke Bandara Soekarno-Hatta misalnya, di mana sepanjang tahun—khususnya di
musim liburan sekolah lalu serta menjelang dan selama Ramadhan—bisa menyaksikan
gelombang rombongan jemaah umrah yang tak pernah putus. Jika gejala ini
mengindikasikan peningkatan ghirah keagamaan, juga sekaligus pertanda
meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat sehingga dapat membiayai perjalanan
keagamaan yang tidak murah.
Kesenjangan Mencolok
Gejala peningkatan keagamaan yang terus
meningkat itu jika dikaitkan dengan realitas lain dalam masyarakat Indonesia
pada berbagai bidang kehidupan, dengan segera terlihat adanya kesenjangan
mencolok. Di satu pihak ada ghirah keagamaan yang terus meningkat, tetapi pada
saat yang sama berbagai bentuk perbuatan keji dan mungkar terus mewabah di
mana-mana. Dan, ini membawa orang pada pandangan bahwa tidak ada hubungan
antara peningkatan ghirah keagamaan dan kehidupan sosial lebih luas.
Kesenjangan paling jelas adalah masih
berlanjutnya, jika tidak dapat dikatakan meningkat, perbuatan melanggar
ketentuan agama dan hukum negara, seperti korupsi. Tindakan risywah (baca:
suap) masih terus merajalela pada berbagai lini kehidupan sejak dari tingkat
atas sampai tingkat bawah; sejak dari pejabat publik di lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif sampai kepada pejabat kelurahan dan desa. Hampir tak
ada urusan yang tidak melibatkan korupsi, semacam uang sogok dan pelicin: sejak
dari urusan KTP, IMB, urusan mendapatkan proyek-proyek pemerintah, sampai untuk
pengangkatan ke dalam posisi tertentu dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga
publik.
Banyak pemangku kekuasaan di lembaga-lembaga
pemerintahan dan publik, yang notabene adalah orang-orang beragama, kelihatan sama
sekali tidak memelihara amanah dan memegang integritas. Sebaliknya, posisi
otoritas yang mereka pegang memicu keleluasaan untuk melakukan tindakan ’aji
mumpung’ demi keuntungan pribadi, kelompok, dan juga partai politik. Akibatnya,
kerusakan terjadi tidak hanya pada tingkat pribadi, tetapi juga lingkungan
institusi pemerintah dan publik, partai politik dan masyarakat lebih luas.
Korupsi tidak lain mengakibatkan distorsi dan kekacauan luar biasa dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan penataan kehidupan publik.
Tanpa harus diteliti secara cermat,
kebanyakan pelaku korupsi—baik yang masih tersangka maupun yang sudah dijatuhi
hukuman—adalah orang-orang yang jika dilihat dari namanya saja sudah
memperlihatkan nama yang agamis. Terlihat keluarga mereka adalah juga keluarga
agamis. Namun, nama agamis dan berisi doa untuk menjadi orang beriman dan
bertakwa ternyata juga tidak menjadi halangan melakukan korupsi serta berbagai
bentuk pelanggaran ajaran agama dan ketentuan hukum negara. Jika dari sudut
pribadi saja tidak ada halangan untuk korupsi, praktis tak ada lagi halangan
yang tidak bisa mereka atasi, termasuk ajaran agama dan ketentuan hukum negara
yang bisa dimanipulasi.
Tidak jarang pula para pelaku korupsi ini
mencoba melakukan sin laundering, mencuci dosa, misalnya dengan naik haji atau
pergi umrah; mengirim anak-anak ke sekolah Islam, madrasah, atau pesantren;
memberikan sumbangan, infak, dan sedekah ke masjid atau lembaga pendidikan
Islam; dan lebih telanjang lagi dengan memakai jilbab atau bahkan cadar ketika
diusut KPK atau kejaksaan dan di pengadilan. Publik secara tiba-tiba dihadapkan
dengan kesan, para pelaku yang berjilbab dan bercadar itu adalah orang-orang
yang menjalankan perintah agama dan karena itu ’tidak mungkin korupsi’.
Akan tetapi, jelas, dosa karena korupsi dan
perbuatan keji dan mungkar lain yang mereka lakukan tidak bisa dicuci dengan
cara-cara seperti itu. Dosa sebesar biji sawi sekalipun tetap tercacat; tidak
bisa terhapuskan. Dalam Islam, ada ajaran la talbisu al-haqqa bi
al-bathil—jangan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan dan kemungkaran.
Perbuatan baik, seperti naik haji dan pergi umrah atau memberikan infak dan
sedekah tidak secara serta-merta dapat menghapuskan tindakan batil dan mungkar,
seperti korupsi.
Sebenar-benar Tobat
Jika para pelaku korupsi dan tindakan batil
dan mungkar lainnya ingin memperbaiki kehidupannya, tidak ada jalan lain
kecuali dengan bertobat sebenar-benar tobat. Tobat seperti ini dalam istilah
Islam disebut taubatan nashuha. Allah SWT berfirman: ”Hai orang-orang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha.”
Tobat secara bahasa berarti ’kembali’.
Tegasnya, kembali kepada kebenaran yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Tobat dengan demikian, pertama-tama, mengharuskan penyesalan atas perbuatan
batil dan mungkar yang telah dilakukan. Kemudian, diikuti dengan kesungguhan
untuk kembali ke jalan yang benar dan pada saat yang sama berjanji kepada diri
sendiri dan Allah SWT untuk tidak mengulangi jalan yang sesat dan koruptif.
Tobat seorang pelaku tindakan keji dan
mungkar menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah dapat dilakukan langsung
dengan memohon ampun kepada-Nya. Allah SWT Maha Pengampun dan mencintai mereka
yang menyesali perbuatan keji dan mungkar yang dia lakukan, serta bertobat
dengan sebenar-benar tobat.
Akan tetapi, tobat dari tindakan yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan bangsa tidak bisa terselesaikan dengan
hanya melakukan tobat kepada Allah. Sebaliknya, tobat tersebut bisa sah hanya
dengan menyelesaikan urusan dengan semua pihak terkait. Jika pelaku tersebut
melakukan korupsi, ia wajib mengembalikan uang dan harta hasil korupsinya
kepada asalnya—aset publik dan negara. Dengan kata lain, jika sekadar tobat
tanpa mengembalikan uang dan harta hasil jarahan aset publik, tobatnya adalah
sia-sia belaka.
Bulan Ramadhan membukakan pintu sangat lebar
untuk taubatan nashuha yang dapat memperbaiki kehidupan pribadi, masyarakat,
bangsa, dan negara. Dan, bulan suci ini juga memberikan peluang sangat besar
untuk penguatan integritas diri; menjadi orang-orang yang takwa, yakni
terpelihara dari perbuatan yang keji dan mungkar serta berbagai bentuk
perbuatan koruptif lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar