Jumat, 20 Juli 2012

Kontroversi Putaran Kedua Pilkada

Kontroversi Putaran Kedua Pilkada
Saldi Isra ; Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas
KOMPAS, 19 Juli 2012


Hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta masih dalam proses menuju penetapan pasangan calon terpilih. Namun, melihat hasil penghitungan cepat sejumlah lembaga survei dan kecenderungan suara masuk ke KPU DKI Jakarta, dapat dipastikan tak ada pasangan calon yang berhasil memenuhi syarat memperoleh suara lebih dari 50 persen.

Sejauh ini, dari enam pasang calon yang bertarung, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) meninggalkan empat pasang yang lain. Dari perhitungan yang ada, pasangan Jokowi-Ahok secara meyakinkan (42,6 persen) melejit jauh meninggalkan Foke-Nara (34,3 persen). Merujuk hasil itu, putaran kedua menjadi tidak terhindarkan untuk menentukan pasangan calon yang akan menduduki posisi DKI-1 dan DKI-2.

Namun, jauh sebelum hasil putaran pertama ditetapkan KPU DKI, tiga warga Jakarta mengajukan uji materi terhadap Pasal 11 Ayat (2) UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara RI ke Mahkamah Konstitusi. Alasannya, ketentuan itu dinilai bertentangan dengan UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 yang mengatur penetapan dua putaran dilakukan jika tak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 30 persen.

”Legal Policy”

Apabila dilacak pengaturan dalam UUD 1945, hanya pemilihan presiden/wakil presiden yang ditentukan besaran persentase kemenangan calon. Dalam hal ini, Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Selanjutnya, jika syarat itu tidak terpenuhi, pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua akan bertarung dalam putaran kedua.

Berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, UUD 1945 sama sekali tidak menyebut persentase penentuan pemenang bagi pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bahkan, UUD 1945 sama sekali tidak menyebut model pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati/wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota dipilih secara demokratis.

Meskipun konstitusi hanya menyebut dipilih secara demokratis, pembentuk UU menyejajarkan tata cara pengisian kepala daerah dengan pemilihan presiden. Karena itu, makna ”dipilih secara demokratis” dipersempit jadi dipilih secara langsung. Sebagai sebuah legal policy, Pasal 56 UU No 32/2004 menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Karena mempersempit makna ”dipilih secara demokratis” menjadi ”dipilih langsung” diterima sebagai legal policy, maka menjadi jauh lebih sulit mencari argumentasi bahwa penentuan besaran persentase kemenangan pasangan calon bukan merupakan legal policy pembentuk UU. Apalagi, besaran persentase kemenangan pasangan calon tidak dinyatakan dalam UUD 1945, sebagaimana pengaturan kemenangan calon presiden dan wakil presiden.

Masalah Waktu

Ketentuan pemenangan pasangan calon pemilu gubernur dan wakil gubernur DKI menganut prinsip mayoritas absolut (absolut majority). Pasal 11 Ayat (1) UU No 29/2007 menyatakan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, diadakan putaran kedua, diikuti pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

Prinsip mayoritas absolut itu berbeda dengan pengaturan dalam UU No 32/2004 yang memberi ruang kemenangan angka di bawah 50 persen (simple majority). Awalnya, dukungan suara lebih dari 25 persen saja bisa ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah terpilih. Bahkan, pada Perubahan Kedua UU No 32/2004, meski persentase penentuan kemenangan calon dinaikkan, angka kemenangan masih dapat dengan mayoritas sederhana, yaitu dengan persentase lebih dari 30 persen.

Dibandingkan daerah lain, penentuan persentase kemenangan pasangan calon di DKI memang berbeda. Misalnya, pemilihan kepala daerah di Aceh, UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh mempersamakan besaran persentase kemenangan calon dengan UU No 32/2004. Begitu pula pemilihan kepala daerah di Papua. Meski UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua menyerahkan tata cara pemilihan gubernur kepada perda khusus, penyusunannya tetap berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Masalahnya, apakah prinsip mayoritas absolut itu menjadi sebuah kekhususan model pemilihan di DKI?

Masalah ini tidaklah sederhana dan tidak mudah untuk dijawab secara tuntas. Namun, kalau dikaitkan dengan Aceh dan Papua, kedua daerah ini memang memiliki karakter khusus yang membedakan dengan daerah lain. Aceh, misalnya, memiliki ciri khusus yang berbeda dari daerah lain, terutama adanya kesempatan bagi calon perseorangan. 

Ciri khusus itu jadi menonjol sebelum calon perseorangan diadopsi dalam UU No 12/2008.
Begitu pula Papua, UU No 21/2001 membuka ruang bagi Majelis Rakyat Papua memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Bahkan, Pasal 12 huruf a UU No 21/2001 secara eksplisit menentukan: calon gubernur dan wakil gubernur adalah orang asli Papua.

Apabila dibandingkan dengan rumusan dalam UU No 21/2001, UU No 11/2006, dan UU No 32/2004, ketentuan Pasal 11 UU No 29/2007 memang berpotensi dinilai diskriminatif. Namun dari segi waktu, pengajuan permohonan ini dapat dikatakan tidak tepat. Penilaian itu karena hasil putaran pertama pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI sudah diketahui. Tentunya, akan jauh berbeda sekiranya persoalan ini diajukan sebelum tahapan pemilihan di DKI dimulai.

Tunda Pasca-Putaran II

Tidak hanya pemohon, dengan terbentangnya hasil putaran pertama, permohonan ini menjadi masalah pelik bagi MK. Melihat situasi saat ini, mengabulkan permohonan MK dapat saja dinilai berpihak kepada pasangan Jokowi-Ahok. Sebaliknya, menolak permohonan dapat saja MK dinilai berpihak kepada duet Foke-Nara. Karena itu, menjadi lebih elok dan tepat jika permohonan diselesaikan setelah putaran kedua dilaksanakan.

Di atas itu semua, disadari atau tidak, mempermasalahkan keabsahan konstitusional dasar hukum putaran kedua berpotensi merugikan pasangan Jokowi- Ahok. Meski pemohon tidak berasal dari kubu pasangan tersebut, sangat mungkin muncul penilaian bahwa Jokowi-Ahok tidak siap menghadapi putaran kedua.

Namun, yang pasti, hakim bukan pemilih. Jadi, pemenang pemilu tidak ditentukan oleh putusan pengadilan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar