Kontroversi
Putaran Kedua Pilkada
Saldi Isra ; Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat
Studi Konstitusi
Fakultas Hukum
Universitas Andalas
KOMPAS,
19 Juli 2012
Hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta masih
dalam proses menuju penetapan pasangan calon terpilih. Namun, melihat hasil
penghitungan cepat sejumlah lembaga survei dan kecenderungan suara masuk ke KPU
DKI Jakarta, dapat dipastikan tak ada pasangan calon yang berhasil memenuhi
syarat memperoleh suara lebih dari 50 persen.
Sejauh ini, dari enam pasang calon yang
bertarung, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) dan Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) meninggalkan empat pasang yang lain. Dari
perhitungan yang ada, pasangan Jokowi-Ahok secara meyakinkan (42,6 persen)
melejit jauh meninggalkan Foke-Nara (34,3 persen). Merujuk hasil itu, putaran
kedua menjadi tidak terhindarkan untuk menentukan pasangan calon yang akan
menduduki posisi DKI-1 dan DKI-2.
Namun, jauh sebelum hasil putaran pertama
ditetapkan KPU DKI, tiga warga Jakarta mengajukan uji materi terhadap Pasal 11
Ayat (2) UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu
Kota Negara RI ke Mahkamah Konstitusi. Alasannya, ketentuan itu dinilai
bertentangan dengan UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004
yang mengatur penetapan dua putaran dilakukan jika tak ada pasangan calon yang
memperoleh suara lebih dari 30 persen.
”Legal Policy”
Apabila dilacak pengaturan dalam UUD 1945,
hanya pemilihan presiden/wakil presiden yang ditentukan besaran persentase
kemenangan calon. Dalam hal ini, Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan pasangan
calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam
pemilu dilantik menjadi presiden dan wakil presiden. Selanjutnya, jika syarat
itu tidak terpenuhi, pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
akan bertarung dalam putaran kedua.
Berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil
presiden, UUD 1945 sama sekali tidak menyebut persentase penentuan pemenang
bagi pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bahkan, UUD 1945
sama sekali tidak menyebut model pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini, Pasal
18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur, bupati/wali kota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota dipilih secara
demokratis.
Meskipun konstitusi hanya menyebut dipilih
secara demokratis, pembentuk UU menyejajarkan tata cara pengisian kepala daerah
dengan pemilihan presiden. Karena itu, makna ”dipilih secara demokratis”
dipersempit jadi dipilih secara langsung. Sebagai sebuah legal policy, Pasal 56
UU No 32/2004 menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis berdasarkan
asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Karena mempersempit makna ”dipilih secara
demokratis” menjadi ”dipilih langsung” diterima sebagai legal policy, maka
menjadi jauh lebih sulit mencari argumentasi bahwa penentuan besaran persentase
kemenangan pasangan calon bukan merupakan legal policy pembentuk UU. Apalagi,
besaran persentase kemenangan pasangan calon tidak dinyatakan dalam UUD 1945,
sebagaimana pengaturan kemenangan calon presiden dan wakil presiden.
Masalah Waktu
Ketentuan pemenangan pasangan calon pemilu
gubernur dan wakil gubernur DKI menganut prinsip mayoritas absolut (absolut majority). Pasal 11 Ayat (1) UU
No 29/2007 menyatakan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang
memperoleh suara lebih dari 50 persen ditetapkan sebagai gubernur dan wakil
gubernur terpilih. Apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih
dari 50 persen, diadakan putaran kedua, diikuti pasangan calon yang memperoleh
suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
Prinsip mayoritas absolut itu berbeda dengan
pengaturan dalam UU No 32/2004 yang memberi ruang kemenangan angka di bawah 50
persen (simple majority). Awalnya,
dukungan suara lebih dari 25 persen saja bisa ditetapkan sebagai pasangan calon
kepala daerah terpilih. Bahkan, pada Perubahan Kedua UU No 32/2004, meski
persentase penentuan kemenangan calon dinaikkan, angka kemenangan masih dapat
dengan mayoritas sederhana, yaitu dengan persentase lebih dari 30 persen.
Dibandingkan daerah lain, penentuan
persentase kemenangan pasangan calon di DKI memang berbeda. Misalnya, pemilihan
kepala daerah di Aceh, UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh mempersamakan
besaran persentase kemenangan calon dengan UU No 32/2004. Begitu pula pemilihan
kepala daerah di Papua. Meski UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua
menyerahkan tata cara pemilihan gubernur kepada perda khusus, penyusunannya
tetap berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Masalahnya, apakah prinsip mayoritas absolut
itu menjadi sebuah kekhususan model pemilihan di DKI?
Masalah ini tidaklah sederhana dan tidak
mudah untuk dijawab secara tuntas. Namun, kalau dikaitkan dengan Aceh dan
Papua, kedua daerah ini memang memiliki karakter khusus yang membedakan dengan
daerah lain. Aceh, misalnya, memiliki ciri khusus yang berbeda dari daerah
lain, terutama adanya kesempatan bagi calon perseorangan.
Ciri khusus itu jadi
menonjol sebelum calon perseorangan diadopsi dalam UU No 12/2008.
Begitu pula Papua, UU No 21/2001 membuka
ruang bagi Majelis Rakyat Papua memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap
bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Bahkan, Pasal 12 huruf a UU No 21/2001
secara eksplisit menentukan: calon gubernur dan wakil gubernur adalah orang
asli Papua.
Apabila dibandingkan dengan rumusan dalam UU
No 21/2001, UU No 11/2006, dan UU No 32/2004, ketentuan Pasal 11 UU No 29/2007
memang berpotensi dinilai diskriminatif. Namun dari segi waktu, pengajuan
permohonan ini dapat dikatakan tidak tepat. Penilaian itu karena hasil putaran
pertama pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI sudah diketahui. Tentunya,
akan jauh berbeda sekiranya persoalan ini diajukan sebelum tahapan pemilihan di
DKI dimulai.
Tunda Pasca-Putaran II
Tidak hanya pemohon, dengan terbentangnya
hasil putaran pertama, permohonan ini menjadi masalah pelik bagi MK. Melihat
situasi saat ini, mengabulkan permohonan MK dapat saja dinilai berpihak kepada
pasangan Jokowi-Ahok. Sebaliknya, menolak permohonan dapat saja MK dinilai
berpihak kepada duet Foke-Nara. Karena itu, menjadi lebih elok dan tepat jika permohonan
diselesaikan setelah putaran kedua dilaksanakan.
Di atas itu semua, disadari atau tidak,
mempermasalahkan keabsahan konstitusional dasar hukum putaran kedua berpotensi
merugikan pasangan Jokowi- Ahok. Meski pemohon tidak berasal dari kubu pasangan
tersebut, sangat mungkin muncul penilaian bahwa Jokowi-Ahok tidak siap
menghadapi putaran kedua.
Namun, yang pasti, hakim bukan pemilih. Jadi,
pemenang pemilu tidak ditentukan oleh putusan pengadilan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar