Jumat, 20 Juli 2012

Puasa dan Prahara Harga

Puasa dan Prahara Harga
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
KOMPAS, 19 Juli 2012


Akhir minggu ini ritual tahunan umat Islam telah tiba: datangnya bulan puasa.
Kaum Muslim tentu bahagia menyambut Ramadhan dan Lebaran, yang dimaknai sebagai ritual keagamaan sekaligus rutinitas sosial pulang kampung.

Namun, kegembiraan itu juga selalu disertai kecemasan akibat lompatan harga-harga (pangan) yang tak terbendung. Kali ini, hal serupa terulang lagi. Harga daging, gula, susu, kedelai, cabai, jagung, dan lain-lain meningkat drastis menjelang Ramadhan. Rumah tangga mesti menyiasati kenyataan ini dengan pengelolaan keuangan ekstra ketat. Di mana kehadiran pemerintah?

Segitiga Masalah

Penyebab kenaikan harga pangan sebetulnya sudah diketahui pemerintah, maka penanganannya teoretis mudah dilakukan. Tiga segitiga utama berikut merupakan sumbu peledak kenaikan harga tahunan, yakni ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan lemahnya peran stabilisasi Bulog.

Menyangkut ketergantungan akan impor, sejak liberalisasi ekonomi pascakrisis ekonomi 1997/ 1998 akibat tekanan IMF, terjadi penurunan produksi sejumlah komoditas penting di sektor pangan, seperti jagung, kedelai, daging, susu, garam, dan lain sebagainya. Liberalisasi pertanian membuat insentif petani merosot sehingga implikasinya produksi merosot di tengah permintaan yang terus meningkat. Impor pun menjadi jalan keluar pemerintah.

Ketergantungan pada impor makin sempurna dengan tingkat konsentrasi distribusi pelaku atas beberapa komoditas pangan, semacam gula, kedelai, jagung, daging, dan (juga) beras. Penguasaan jalur distribusi yang oligopolistis tersebut bersumber dari dua hal: tata niaga domestik yang konsentrik dan jalur impor. Tata niaga domestik yang terkonsentrasi itu, misalnya, sangat terasa di komoditas gula, di mana produk tebu setelah digiling langsung ditangkap oleh distributor besar (jumlah tak lebih dari 9). Hampir semua impor komoditas pangan hanya dikuasai segelintir pelaku yang punya lisensi impor. Bahkan, bisnis impor pangan sudah menjadi political rent-seeking, seperti kasus impor daging, beberapa waktu lalu. Implikasinya, barang hanya mengerucut ke sedikit pemain yang gampang mengontrol pasokan dan harga.

Terakhir, dua sumber di atas sebetulnya masih dapat disumbat bila pemerintah memiliki badan penyangga dengan kekuatan besar menstabilisasi pasokan dan harga. Sayang, Bulog yang diserahi fungsi tersebut sudah merosot kemampuannya karena dipreteli otoritasnya.

Saat ini Bulog hanya menangani komoditas beras (dulu 9 bahan pokok), itu pun dengan kapasitas tidak besar. Dalam standar internasional, sekurangnya cadangan komoditas pangan (khususnya beras) tidak boleh kurang dari 20 persen dari kebutuhan domestik agar stabilitas pasokan dan harga mudah dikerjakan. Akan tetapi, Bulog rata-rata cadangan berasnya kurang dari 10 persen, bahkan kadang hanya 4 persen. Angka cadangan beras ini jauh lebih rendah dibanding negara-negara ASEAN lain (ASEAN Food Security Information System, 2011). Dalam situasi ini, sangat sulit bagi Bulog berperan optimal mengendalikan harga.

Struktur Pasar Distribusi

Menyimak problem struktural di atas (di luar masalah teknis semacam penetapan harga pokok, infrastruktur, dan operasi pasar) sangat dibutuhkan agenda perubahan kebijakan yang sistematis. Paling mendasar adalah liberalisasi sektor pertanian harus dihentikan karena ini menjadi malapetaka bagi kemandirian dan kedaulatan pangan.

Pemerintah bisa mendayagunakan semua potensi, termasuk BUMN, untuk menguatkan kembali sektor pertanian dari hulu sampai hilir. Sekarang, untuk bibit saja ketergantungan terhadap impor nyaris absolut dan ini merembet ke sektor hilir. Pemerintah harus menyadari situasi di lapangan telah amat mencemaskan sehingga tidak bisa ditangani lagi dengan kebijakan ”teknikal”. Tanpa kerangka kebijakan ini, jangan harap kegaduhan pasokan dan harga dapat diatasi.

Berikutnya, konsentrasi struktur pasar distribusi harus dipecah dengan memanfaatkan dua jalur. Pertama, pemain domestik diperbanyak dengan membatasi penguasaan barang pada segelintir pelaku/kelompok. Dengan demikian, pasar tidak gampang diombang-ambingkan.

Kedua, Bulog diperluas lagi kapasitasnya untuk beberapa komoditas penting lainnya disertai anggaran memadai. Bahkan, impor komoditas pangan yang semula dilakukan sektor swasta, sudah saatnya dikembalikan ke Bulog. Langkah ini akan mengurangi penguasaan swasta (yang dapat digunakan untuk mengontrol pasokan) dan mereduksi praktik rente politik.

Dengan demikian, rakyat tidak lagi dihantui prahara harga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar