Puasa
dan Prahara Harga
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
KOMPAS,
19 Juli 2012
Akhir minggu ini ritual tahunan umat Islam
telah tiba: datangnya bulan puasa.
Kaum Muslim tentu bahagia menyambut Ramadhan
dan Lebaran, yang dimaknai sebagai ritual keagamaan sekaligus rutinitas sosial
pulang kampung.
Namun, kegembiraan itu juga selalu disertai
kecemasan akibat lompatan harga-harga (pangan) yang tak terbendung. Kali ini,
hal serupa terulang lagi. Harga daging, gula, susu, kedelai, cabai, jagung, dan
lain-lain meningkat drastis menjelang Ramadhan. Rumah tangga mesti menyiasati
kenyataan ini dengan pengelolaan keuangan ekstra ketat. Di mana kehadiran
pemerintah?
Segitiga Masalah
Penyebab kenaikan harga pangan sebetulnya
sudah diketahui pemerintah, maka penanganannya teoretis mudah dilakukan. Tiga
segitiga utama berikut merupakan sumbu peledak kenaikan harga tahunan, yakni
ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan lemahnya peran stabilisasi
Bulog.
Menyangkut ketergantungan akan impor, sejak
liberalisasi ekonomi pascakrisis ekonomi 1997/ 1998 akibat tekanan IMF, terjadi
penurunan produksi sejumlah komoditas penting di sektor pangan, seperti jagung,
kedelai, daging, susu, garam, dan lain sebagainya. Liberalisasi pertanian
membuat insentif petani merosot sehingga implikasinya produksi merosot di
tengah permintaan yang terus meningkat. Impor pun menjadi jalan keluar
pemerintah.
Ketergantungan pada impor makin sempurna
dengan tingkat konsentrasi distribusi pelaku atas beberapa komoditas pangan,
semacam gula, kedelai, jagung, daging, dan (juga) beras. Penguasaan jalur
distribusi yang oligopolistis tersebut bersumber dari dua hal: tata niaga
domestik yang konsentrik dan jalur impor. Tata niaga domestik yang
terkonsentrasi itu, misalnya, sangat terasa di komoditas gula, di mana produk
tebu setelah digiling langsung ditangkap oleh distributor besar (jumlah tak
lebih dari 9). Hampir semua impor komoditas pangan hanya dikuasai segelintir
pelaku yang punya lisensi impor. Bahkan, bisnis impor pangan sudah menjadi
political rent-seeking, seperti kasus impor daging, beberapa waktu lalu.
Implikasinya, barang hanya mengerucut ke sedikit pemain yang gampang mengontrol
pasokan dan harga.
Terakhir, dua sumber di atas sebetulnya masih
dapat disumbat bila pemerintah memiliki badan penyangga dengan kekuatan besar
menstabilisasi pasokan dan harga. Sayang, Bulog yang diserahi fungsi tersebut
sudah merosot kemampuannya karena dipreteli otoritasnya.
Saat ini Bulog hanya menangani komoditas
beras (dulu 9 bahan pokok), itu pun dengan kapasitas tidak besar. Dalam standar
internasional, sekurangnya cadangan komoditas pangan (khususnya beras) tidak
boleh kurang dari 20 persen dari kebutuhan domestik agar stabilitas pasokan dan
harga mudah dikerjakan. Akan tetapi, Bulog rata-rata cadangan berasnya kurang
dari 10 persen, bahkan kadang hanya 4 persen. Angka cadangan beras ini jauh
lebih rendah dibanding negara-negara ASEAN lain (ASEAN Food Security Information System, 2011). Dalam situasi ini,
sangat sulit bagi Bulog berperan optimal mengendalikan harga.
Struktur Pasar Distribusi
Menyimak problem struktural di atas (di luar
masalah teknis semacam penetapan harga pokok, infrastruktur, dan operasi pasar)
sangat dibutuhkan agenda perubahan kebijakan yang sistematis. Paling mendasar
adalah liberalisasi sektor pertanian harus dihentikan karena ini menjadi
malapetaka bagi kemandirian dan kedaulatan pangan.
Pemerintah bisa mendayagunakan semua potensi,
termasuk BUMN, untuk menguatkan kembali sektor pertanian dari hulu sampai
hilir. Sekarang, untuk bibit saja ketergantungan terhadap impor nyaris absolut
dan ini merembet ke sektor hilir. Pemerintah harus menyadari situasi di lapangan
telah amat mencemaskan sehingga tidak bisa ditangani lagi dengan kebijakan
”teknikal”. Tanpa kerangka kebijakan ini, jangan harap kegaduhan pasokan dan
harga dapat diatasi.
Berikutnya, konsentrasi struktur pasar
distribusi harus dipecah dengan memanfaatkan dua jalur. Pertama, pemain
domestik diperbanyak dengan membatasi penguasaan barang pada segelintir
pelaku/kelompok. Dengan demikian, pasar tidak gampang diombang-ambingkan.
Kedua, Bulog diperluas lagi kapasitasnya
untuk beberapa komoditas penting lainnya disertai anggaran memadai. Bahkan,
impor komoditas pangan yang semula dilakukan sektor swasta, sudah saatnya
dikembalikan ke Bulog. Langkah ini akan mengurangi penguasaan swasta (yang
dapat digunakan untuk mengontrol pasokan) dan mereduksi praktik rente politik.
Dengan demikian, rakyat tidak lagi dihantui
prahara harga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar