Asamnya
Rasa Gula
Toto Subandriyo ; Alumnus IPB;
Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal
KOMPAS,
19 Juli 2012
Pesta cembrengan yang menandai dimulainya
musim giling tebu tahun 2012 sudah berlangsung sejak Mei lalu. Menurut informasi,
hasil giling tebu tahun ini diprediksi lebih baik dibanding tahun lalu.
Selain itu, karena produksi gula nasional tak
mencukupi kebutuhan domestik, sejak jauh hari pemerintah juga telah mengimpor
gula untuk menutupi kekurangan konsumsi tersebut. Jadi, dalam keadaan normal,
tahun ini mestinya tidak akan terjadi gonjang-ganjing harga gula seperti
tahun-tahun sebelumnya.
Distorsif
Sesuai hukum penawaran dan permintaan, saat
panen berlangsung dan saat pasokan komoditas melimpah, tren harga komoditas tersebut
akan cenderung turun. Namun, teori tidak selalu sejalan dengan praktiknya.
Sejak awal tahun ini harga gula eceran di pasar domestik tetap stabil tinggi.
Bahkan, beberapa hari menjelang Ramadhan, harga gula di beberapa daerah
dilaporkan meroket hingga Rp 13.000/kg. Di Denpasar dan Kupang, harga gula
konon mencapai Rp 15.000/kg.
Kondisi anomali ini tentu menimbulkan
pertanyaan. Ada apa sebenarnya dengan gula? Sampai kapan berbagai konflik
kepentingan dibiarkan mewarnai tata niaga gula di Tanah Air?
Kondisi karut-marut tata niaga gula tidak
terlepas dari kondisi industri dan tata niaga gula masa lalu. Ketika itu
industri gula kita pernah menikmati tingkat proteksi efektif mencapai 600
persen. Studi kuantitatif yang pernah dilakukan terhadap industri gula oleh
Chatib Basri (2003) mendapati kenyataan bahwa proteksi impor didominasi oleh
kapitalis kroni. Kondisi tata niaga seperti ini menjadi sangat rentan. Apalagi
jika melihat kondisi pasar gula dunia yang sangat distorsif.
Saat ini rasa gula terasa asam dan pahit di
lidah para konsumen. Bukan karena gulanya telah terkontaminasi oleh mikroba
atau kontaminan lainnya, melainkan karena harganya yang semakin mencekik leher.
Sebuah survei yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu menunjukkan,
pengeluaran penduduk miskin untuk gula rata-rata 2,4 persen dari total
pengeluaran keluarga. Implikasinya, jika harga gula meroket seperti saat ini,
penduduk miskinlah yang banyak menanggung beban.
Menurut prediksi, harga gula belum akan
kembali normal dalam waktu dekat. Hal ini terjadi karena kita tengah menghadapi
bulan puasa dan sebentar lagi Lebaran tiba. Momentum puasa dan Lebaran biasa
dijadikan para pedagang sebagai justifikasi untuk menaikkan harga kebutuhan
pokok seperti gula. Untuk itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera
melakukan penetrasi pasar, antara lain dengan menggelar pasar murah dan operasi
pasar di sejumlah kota.
Pemerintah yang notabene memiliki badan usaha
milik negara (BUMN) di sektor ini dapat diminta perannya dalam stabilisasi
harga gula. Harga eceran gula yang moderat berkisar antara Rp 9.000/kg hingga
Rp 10.000/kg. Pada tingkat harga tersebut konsumen tidak terlalu terbebani. Di
sisi lain, para petani tebu masih mendapatkan insentif harga yang cukup
memadai. Apalagi jika rendemen giling bisa ditingkatkan menjadi lebih dari 9
persen, biaya produksi gula dapat ditekan jadi Rp 7.000/kg. Dengan demikian,
masih terdapat margin keuntungan yang sangat memadai bagi petani.
Benahi Sistem Produksi
Pada 2011, capaian rendemen giling pabrik
gula (PG) milik BUMN merupakan yang paling rendah. Di antara 52 PG milik BUMN
yang ada, 50 persen dalam keadaan jelek atau bermasalah. Berdasarkan data Dewan
Gula Indonesia per 31 Desember 2011, rendemen PG milik BUMN sebesar 7,15
persen. Angka itu masih di bawah capaian PT Gunung Madu Plantation sebesar 8,45
persen dan PT Sugar Group 7,75 persen.
Oleh karena itu, agar kepercayaan antara
pengelola PG milik BUMN dan petani tebu dapat diwujudkan, PG milik BUMN
tersebut harus melakukan berbagai perubahan, di antaranya perombakan soal
rendemen dan uang talangan. Pabrik gula harus memberikan jaminan rendemen
minimal kepada petani tebu di sekitarnya.
Dengan jaminan rendemen minimal itu,
diharapkan tak akan ada lagi petani yang merasa ditipu pabrik. Rendahnya
rendemen akibat ketidakefisienan PG tak lagi dibebankan kepada petani tebu.
Dengan diberlakukannya jaminan rendemen minimal, mau tidak mau manajemen pabrik
gula akan lebih disiplin.
Dalam jangka menengah, pemerintah perlu
melakukan langkah terobosan guna suksesnya akselerasi program pencapaian
swasembada gula. Upaya ini harus didukung segenap pemangku kepentingan secara
terintegrasi.
Pembenahan sistem produksi dan tata niaga
merupakan upaya mendesak untuk dilakukan. Mesin pabrik yang umumnya sudah tua
dan tidak efisien perlu secepatnya diganti. Lebih jauh dari itu, berbagai
konflik kepentingan yang mewarnai tata niaga gula di Tanah Air harus secepatnya
diakhiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar