Jumat, 20 Juli 2012

Asamnya Rasa Gula

Asamnya Rasa Gula
Toto Subandriyo ; Alumnus IPB;
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal
KOMPAS, 19 Juli 2012


Pesta cembrengan yang menandai dimulainya musim giling tebu tahun 2012 sudah berlangsung sejak Mei lalu. Menurut informasi, hasil giling tebu tahun ini diprediksi lebih baik dibanding tahun lalu.

Selain itu, karena produksi gula nasional tak mencukupi kebutuhan domestik, sejak jauh hari pemerintah juga telah mengimpor gula untuk menutupi kekurangan konsumsi tersebut. Jadi, dalam keadaan normal, tahun ini mestinya tidak akan terjadi gonjang-ganjing harga gula seperti tahun-tahun sebelumnya.

Distorsif

Sesuai hukum penawaran dan permintaan, saat panen berlangsung dan saat pasokan komoditas melimpah, tren harga komoditas tersebut akan cenderung turun. Namun, teori tidak selalu sejalan dengan praktiknya. Sejak awal tahun ini harga gula eceran di pasar domestik tetap stabil tinggi. Bahkan, beberapa hari menjelang Ramadhan, harga gula di beberapa daerah dilaporkan meroket hingga Rp 13.000/kg. Di Denpasar dan Kupang, harga gula konon mencapai Rp 15.000/kg.

Kondisi anomali ini tentu menimbulkan pertanyaan. Ada apa sebenarnya dengan gula? Sampai kapan berbagai konflik kepentingan dibiarkan mewarnai tata niaga gula di Tanah Air?

Kondisi karut-marut tata niaga gula tidak terlepas dari kondisi industri dan tata niaga gula masa lalu. Ketika itu industri gula kita pernah menikmati tingkat proteksi efektif mencapai 600 persen. Studi kuantitatif yang pernah dilakukan terhadap industri gula oleh Chatib Basri (2003) mendapati kenyataan bahwa proteksi impor didominasi oleh kapitalis kroni. Kondisi tata niaga seperti ini menjadi sangat rentan. Apalagi jika melihat kondisi pasar gula dunia yang sangat distorsif.

Saat ini rasa gula terasa asam dan pahit di lidah para konsumen. Bukan karena gulanya telah terkontaminasi oleh mikroba atau kontaminan lainnya, melainkan karena harganya yang semakin mencekik leher. Sebuah survei yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu menunjukkan, pengeluaran penduduk miskin untuk gula rata-rata 2,4 persen dari total pengeluaran keluarga. Implikasinya, jika harga gula meroket seperti saat ini, penduduk miskinlah yang banyak menanggung beban.

Menurut prediksi, harga gula belum akan kembali normal dalam waktu dekat. Hal ini terjadi karena kita tengah menghadapi bulan puasa dan sebentar lagi Lebaran tiba. Momentum puasa dan Lebaran biasa dijadikan para pedagang sebagai justifikasi untuk menaikkan harga kebutuhan pokok seperti gula. Untuk itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera melakukan penetrasi pasar, antara lain dengan menggelar pasar murah dan operasi pasar di sejumlah kota.

Pemerintah yang notabene memiliki badan usaha milik negara (BUMN) di sektor ini dapat diminta perannya dalam stabilisasi harga gula. Harga eceran gula yang moderat berkisar antara Rp 9.000/kg hingga Rp 10.000/kg. Pada tingkat harga tersebut konsumen tidak terlalu terbebani. Di sisi lain, para petani tebu masih mendapatkan insentif harga yang cukup memadai. Apalagi jika rendemen giling bisa ditingkatkan menjadi lebih dari 9 persen, biaya produksi gula dapat ditekan jadi Rp 7.000/kg. Dengan demikian, masih terdapat margin keuntungan yang sangat memadai bagi petani.

Benahi Sistem Produksi

Pada 2011, capaian rendemen giling pabrik gula (PG) milik BUMN merupakan yang paling rendah. Di antara 52 PG milik BUMN yang ada, 50 persen dalam keadaan jelek atau bermasalah. Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia per 31 Desember 2011, rendemen PG milik BUMN sebesar 7,15 persen. Angka itu masih di bawah capaian PT Gunung Madu Plantation sebesar 8,45 persen dan PT Sugar Group 7,75 persen.

Oleh karena itu, agar kepercayaan antara pengelola PG milik BUMN dan petani tebu dapat diwujudkan, PG milik BUMN tersebut harus melakukan berbagai perubahan, di antaranya perombakan soal rendemen dan uang talangan. Pabrik gula harus memberikan jaminan rendemen minimal kepada petani tebu di sekitarnya.

Dengan jaminan rendemen minimal itu, diharapkan tak akan ada lagi petani yang merasa ditipu pabrik. Rendahnya rendemen akibat ketidakefisienan PG tak lagi dibebankan kepada petani tebu. Dengan diberlakukannya jaminan rendemen minimal, mau tidak mau manajemen pabrik gula akan lebih disiplin.

Dalam jangka menengah, pemerintah perlu melakukan langkah terobosan guna suksesnya akselerasi program pencapaian swasembada gula. Upaya ini harus didukung segenap pemangku kepentingan secara terintegrasi.

Pembenahan sistem produksi dan tata niaga merupakan upaya mendesak untuk dilakukan. Mesin pabrik yang umumnya sudah tua dan tidak efisien perlu secepatnya diganti. Lebih jauh dari itu, berbagai konflik kepentingan yang mewarnai tata niaga gula di Tanah Air harus secepatnya diakhiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar