Rabu, 18 Juli 2012

Problem Kedaulatan di Laut China Selatan


Problem Kedaulatan di Laut China Selatan
Asrudin ; Pengamat Hubungan Internasional
JARINGNEWS.COM, 18 Juli 2012


Telah dipastikan, Kode Etik Tata Perilaku atau Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan yang menjadi isu utama dalam pembahasan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-45 yang dilaksanakan pada 9-13 Juli 2012 lalu, di Phnom Penh, Kamboja, gagal disepakati.

Para menteri luar negeri kesepuluh negara ASEAN sejak Senin (9/7) lalu terus berdebat untuk menghasilkan pernyataan diplomatik. Namun tidak berhasil menemui kesepakatan. Kegagalan itu berarti menahan kemajuan pembahasan tentang tata perilaku, yaitu aturan yang ditujukan untuk meredakan ketegangan dalam masalah Laut China Selatan.

Terkait dengan hasil itu, Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang memegang peran sebagai mediator, menyatakan "kekecewaan yang sangat mendalam" atas tidak tercapainya konsensus oleh ASEAN. Kekecewaan Marty tentu beralasan mengingat sebelumnya para Menlu ASEAN sempat menyepakati elemen utama dari draft CoC yang akan diberikan kepada China. Hari-hari diplomatik yang panas dalam pertemuan ASEAN itu berakhir hari Jumat (13/7) lalu dengan kegagalan karena posisi negara-negara ASEAN terhadap China terpecah dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, ASEAN gagal mengeluarkan pernyataan bersama.

Tanpa adanya CoC, tentunya akan sulit bagi negara-negara  yang bersengketa untuk menutup peluang terjadinya konflik bersenjata di wilayah Laut China Selatan.

Problem Kedaulatan

Istilah konflik Laut China Selatan merujuk pada gugusan kepulauan Paracels yang masih dipersengketakan oleh tiga negara (China, Vietnam, dan Taiwan), dan kepulauan Spratly yang dipersengkatakan oleh enam negara (China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei). Namun, kepulauan Spratly merupakan titik api yang paling potensial untuk berkembang menjadi wilayah konflik militer di masa depan, tidak saja karena adanya tuntutan yang tumpang tindih yang melibatkan ke-enam negara, tetapi juga karena kepentingan negara-negara besar (Jepang, AS, Rusia) di perairan Laut China Selatan (Usman & Sukma, 1997).

China misalnya, selama ini mengklaim kedaulatan di hampir seluruh wilayah Laut China Selatan. Pun negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam juga turut mengklaim wilayah itu sebagai kedaulatannya. Celakanya wilayah ini juga penting sebagai jalur layar internasional, yang membuat Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Rusia juga memiliki kepentingan perdagangan atas wilayah tersebut. Bahkan Filipina dan China pada bulan lalu, sempat terlibat konflik bersenjata di wilayah dekat Scarborough yang kaya akan minyak.

Dengan melihat pada situasi tersebut, rupanya konflik Laut China Selatan terjadi karena masing-masing negara yang bersengketa meyakini wilayah perairan tersebut adalah bagian dari kedaulatannya. Identifikasi mengenai kedaulatan negara inilah yang seringkali mengakibatkan perang terjadi.

Secara historis, kedaulatan negara terbentuk secara mapan, ketika perjanjian damai Westphalia (the Peace of Westphalia) disepakati pada 1648. Kesepakatan Westphalia ini yang telah memprakarsai sebuah prinsip untuk tidak saling mencampuri urusan negara lain. Prinsip itu dan kewajiban saling mengakui adalah dua hal yang membuat negara menjadi berdaulat.

Untuk itu ketika terdapat satu negara berdaulat yang menganggu wilayah negara berdaulat lainnya, maka negara yang diganggu tersebut bisa dengan efektif menggunakan kemampuan militer dan administrasinya untuk melakukan tindakan perlawanan. Jadi dimensi internasional dari saling mengakui merupakan faktor utama bagi sebuah negara untuk memperoleh monopoli dalam cara mengatasi kekerasan di wilayahnya sendiri. Oleh sebab itu, jika terjadi pelanggaran atas kedaulatan negara, perang pun dijadikan sebagai solusi dalam penyelesaiannya.

Problem kedaulatan ini tentu menjadi persoalan pelik dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan. Apalagi negara yang bersengketa di wilayah tersebut melibatkan banyak negara. Artinya problem kedaulatan adalah isu yang tidak akan pernah bisa diselesaikan. Hal ini hanya bisa diselesaikan jika masing-masing negara yang bersengketa memutuskan untuk berperang agar dapat menguasai perairan di laut China Selatan.

Jika merujuk pada apa yang dikatakan oleh Deputi Sekretariat Wakil Presiden Bidang Politik, Dewi Fortuna Anwar, maka “isu sengketa Laut China Selatan tidak akan bisa diselesaikan sampai kiamat,” karena tidak akan ada satu negara yang mau memberikan satu pulau pun yang dianggapnya merupakan bagian dari wilayah kedaulatannya.

Peran Indonesia

Diperkirakan konflik di Laut China selatan ini tidak hanya berdampak pada dilanggarnya kedaulatan negara yang bersengketa saja, tapi juga kepada kedaulatan Indonesia karena wilayah yang disengketakan bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di kepulauan Natuna. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu didorong untuk memainkan perannya dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan (LCS) agar tidak terkena imbasnya.

Karena CoC di LCS dipastikan gagal,  maka Indonesia perlu memikirkan strategi baru agar konflik bersenjata di LCS dapat dihindari. Strategi itu bisa dilakukan dengan memfasilitasi pembahasan dan dialog secara netral dan tidak memihak di antara pihak-pihak yang memiliki klaim di Laut Cina Selatan melalui serangkaian pertemuan informal.

Lokakarya (workshop) yang biasa dilakukan Indonesia dengan program “Managing Potential Conflicts in the South China Sea,” yang sudah berlangsung sejak tahun 1990 sampai 2011, dengan melibatkan para peserta dalam forum second track dan dalam kapasitas pribadi harus dipertahankan kegiatannya agar dialog dapat terus terjaga di antara negara yang bersengketa. Hasil dialog seperti ini, ke depannya diharapkan, bisa menghasilkan orientasi kebijakan yang dapat mendorong terbentuknya resolusi konflik.

Meski untuk sementara waktu, pertemuan informal ini tidak akan menghasilkan resolusi dari konflik yang melibatkan enam negara, tapi dialog seperti ini setidaknya dapat mengulur waktu negara-negara yang bersengketa tersebut untuk mengurungkan niatnya melakukan tindakan konfrontasi militer secara terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar