Pancasila
(1) :
Praksis
Budaya dan Bangsa Bernama Indonesia
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
SINAR
HARAPAN, 18 Juli 2012
Dalam sebuah feature tentang kondisi masyarakat di
wilayah perbatasan RI dengan negara lain, harian Kompas menceritakan kisah
miris yang sudah terbayang dari judulnya, “30 Tahun Dipelihara oleh Malaysia”.
Suatu kenyataan yang tentu
membuat kita sedih dan prihatin. Namun sesungguhnya di balik kisah itu terdapat
juga bukti yang kuat tentang keteguhan jati diri sejati bangsa Indonesia.
Apakah rakyat di perbatasan
Kalimantan itu hendak mengubah status kewarganegaraan
mereka menjadi warga
negara Malaysia?
Ketika kenyataan membuktikan
lebih dari satu generasi mereka diabaikan oleh pemerintahnya sendiri, ketika
akses dan peluang ekonomi mereka tertutup karena pemerintah tidak pernah
membangun infrastruktur yang dibutuhkan sehingga mereka kesulitan untuk
melakukan komunikasi sosial dan kultural dengan penduduk desa lain, sementara
kebutuhan dasar hidup mereka lebih diperhatikan oleh negara tetangga, bukankah
cukup semua alasan itu untuk mengganti kewarganegaraan menjadi orang Malaysia?
Ternyata, percayalah, rakyat kita
yang diabaikan itu yang mungkin kecewa dan marah pada pemerintah yang sah, akan
tetap menolak tawaran menjadi warga negara Malaysia.
Mereka akan tetap percaya diri
menjadi warga Indonesia dan menjadi bagian dari sejarahnya, termasuk tetap
menganggap Soekarno sebagai presidennya. Hal ini membuktikan bahwa seseorang
menjadi bagian integral dari bangsa dan republik ini tidak hanya didasarkan
oleh kaitan atau kepentingan ekonomi, politik, militer, bahkan agama belaka.
Terdapat faktor lain yang mampu
meliatkan dan mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia, yang bahkan ternyata
juga tidak cukup dipenuhi oleh sebuah tema modern yang begitu populer:
nasionalisme. Namun mereka—juga kita—tetap bertaut dengan bagian-bagian lain
dari bangsa ini karena sebuah ikatan atau tautan yang bernama ikatan
kebudayaan.
Ikatan yang kemudian menjadi
sebuah integrasi kebudayaan kolektif, yang sesungguhnya adalah dasar yang lebih
kokoh, fundamental, historis, dan primordial ketimbang ikatan-ikatan dalam kata
sifat lainnya. Kita mengetahui dengan baik bagaimana sejarah masyarakat dan
bangsa di dunia ini ternyata begitu rapuh dan mudah putus hanya karena tidak
kuat ditopang oleh tautan kebudayaan itu.
Ikatan integratif kebudayaan
sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi suku-suku bangsa yang ada di kepulauan
yang indah ini. Dari mana dan bagaimana ikatan ini terbentuk melebihi
ikatan-ikatan lain bahkan termasuk ikatan yang nasionalistik? Tidak lain ia
tercipta dari realitas arkeologis dan primordial dari suku-suku bangsa itu
sendiri.
Itulah realitas dari peradaban
maritim. Sebuah peradaban yang karena faktor-faktor geografis, demografis, dan
faktor natural lainnya membuat suku-suku bangsa itu menjalin hubungan yang
mutualistik–interdependensial bahkan sejak awal terbentuknya suku-suku bangsa
di Nusantara ini, ribuan tahun sebelum Masehi.
Identitas Adab Maritim
Bentuk hubungan itu meniscayakan
sifat utama dari peradaban maritim, yakni keterbukaan, egaliterianisme,
kebebasan fakultatif, dan proses akulturasi yang luwes serta dinamis sebagai
bahan dasar terbentuknya masyarakat atau bangsa yang plural serta
multikultural.
Maka sesungguhnya bila realitas
arkeologis dan primordial di atas kita pahami dan jalani secara teguh dan
intens, maka problem yang menciptakan konflik abadi di negara-negara dengan
peradaban kontinental—seperti masalah multikulturalisme yang masih menjadi
beban bagi sebagian besar bangsa dan negara-negara Eropa—seharusnya tidak
terjadi di negeri ini.
Semua adat dan tradisi di negeri
ini—betapa pun beraneka rupa dan bangsa lain masih kesulitan untuk membaca atau
memahaminya—memiliki satu identitas kultural yang sama yang kemudian melahirkan
sifat-sifat peradaban.
Identitas kultural yang sama itu
bermula dari cara manusia Indonesia melihat realitas dirinya sendiri (aku) dan
akhirnya melihat diri orang lain (kamu); diri sebagai sebuah kelompok
(komunitas) hingga diri sebagai sebuah bangsa.
Pemahaman—yang dalam pengertian
tertentu adalah sebuah filosofi—itu terekspresikan oleh semua adat dan tradisi
sebagai peng-aku-an yang identik secara eksistensial dengan orang lain
(peng-kamu-an).
Artinya, secara primordial kita
adalah manusia yang sangat sadar dan mengakui bahwa “aku ada karena kamu ada”.
Aku, sebagai pribadi, komunitas atau bangsa “ada” karena adanya kamu. Inilah
dasar integrasi paling asal (primordial) dari bangsa Indonesia. Realitas
eksistensial yang kemudian menciptakan kesatuan sosial, naluri bermasyarakat
atau insting kegotongroyongan di antara rakyat negeri ini.
Karakteristik itulah yang membuat
tidak ada etnik atau suku bangsa mana pun di negeri ini yang bisa mengklaim
dirinya sebagai suatu identitas yang unik atau orisinal. Karena ternyata kita
semua, entah orang Banjar, Bali, Sunda, Batak, Jawa, atau Ternate dan Papua itu
dibentuk oleh sebuah pergaulan yang dilandasi oleh praksis kebudayaan di atas.
Praksis kebudayaan yang
sebenarnya juga meniscayakan bangsa kita menjadi bangsa yang demokratis secara
substansial. Memberi kita semua sebuah perasaan yang mengikat secara kuat bahwa
kita adalah bangsa besar, di dalam keanekarupaan atau kebinekaan etnik, tradisi
dan adatnya.
Ikatan yang tidak terlalu kita
sadari hingga saat ini, menjadi faktor utama dalam melahirkan sebuah bangsa
bernama Indonesia. Maka cobalah periksa sejarah perjuangan republik modern
bangsa ini, yang pada mulanya diisi oleh tokoh-tokoh yang masih sangat kental
kesadaran etniknya (katakanlah dengan munculnya berbagai organisasi kedaerahan
seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, dll), tapi ternyata mereka
berhasil mengatasi sentimen lokalnya dengan mengutamakan sentimen yang lebih
kuat: sentimen kesatuan, sentimen kebangsaan.
Mungkin ada benarnya ketika
sentimen itu diformulasi dalam pengertian atau terminologi politik sebagai
nasionalisme.
Namun pengertian yang sangat muda
itu tidaklah didasari oleh satu spirit yang jauh lebih kuat, luhur, dan
primordial, yaitu spirit kemasyarakatan atau kesatuan yang sudah tertanam
sekian masa dalam insting dan naluri kebudayaan kita. Insting dan naluri yang
telah terbukti tetap mempertahankan rakyat kita menjadi satu bangsa, betapa pun
pada saat yang sama rakyat itu mengalami ketertindasan secara ekonomi, militer,
agama, hingga politik.
Akar Krisis Bangsa
Saya kira inilah argumen utama
dan pertama saya untuk menjelaskan akar muasal dari persoalan-persoalan kritis
negeri. Bahkan bisa jadi ini adalah kunci untuk mengatasi persoalan-persoalan
tersebut.
Asal muasal dari persoalan itu
sebenarnya tidak lain dari sebuah keadaan
baru (modern) yang membuat
sebagian dari kita terpaksa atau tidak, sadar atau tidak, telah mengkhianati
bahkan melawan eksistensi kita (sebagai manusia, suku dan bangsa). Keadaan
baru/modern itu tentu saja, kita tahu, berawal dari masa kolonialistik di waktu
lalu.
Masa yang secara kultural menjadi
proses pertemuan kebudayaan atau akulturasi yang sesungguhnya secara alamiah
sudah menjadi karakter pergaulan dari bangsa ini dalam menerima keberadaan dan
keikutsertaan budaya-budaya lain dalam proses pengembangan dirinya.
Namun di masa kekuasaan
kolonialistik terjadi pergaulan kebudayaan yang sangat tidak sehat bahkan
jahat, ketika kebudayaan asing dibawa oleh pemerintah kolonial bersama
sekutunya dengan represif menciptakan dominasi sampai memusnahkan adat
setempat.
Pola penaklukan kolonialis yang
sebelumnya termaktub dalam slogan “gold, gospel, and glory” sebagai dasar moral
gerak penjelajahan dan penaklukan bangsa Eropa terhadap bangsa non-Eropa, yang
kemudian berkembang menjadi lebih filosofis, politis, dan akhirnya menjadi
penaklukan kultural. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar