Moralitas
Politik Natsir
Muh Kholid AS ; Peneliti dan Alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya
REPUBLIKA,
18 Juli 2012
Pada
17 Juli 2012, salah satu pejuang Indonesia, Moh Natsir, jika masih hidup,
memasuki usia ke-104. Tokoh yang identik dengan kesejarahan Partai Masyumi dan
Dewan Dakwah Islam Indonesia ini pernah tercatat sebagai pejabat publik dalam
mewariskan nilai-nilai demokrasi dan meritokrasi. Keberadaannya dalam
pemerintahan selalu menjadi mercusuar moralitas, patriotisme, dan nasionalisme
yang diabadikan sejarah Indonesia.
Setelah
lama berpulang, 6 Februari 1993, ada sebuah kerinduan yang mendalam akan
hadirnya (reinkarnasi) sosok pemilik nama lengkap Mohammad Natsir Datuk Sinaro
Panjang itu. Ekspektasi semacam itu sangat beralasan karena panggung politik
kontemporer dipenuhi dengan ragam perilaku yang melukai rasa keadilan rakyat.
Dalam
dunia perpolitikan Indonesia, Natsir menjadi pengecualian dari adagium
kekuasaan `tak seorang pun yang mau menyerahkan kekuasaannya dengan sukarela'.
Mengundurkan dari jabatan menteri Penerangan dan perdana menteri tidak membuat
sosok yang dikenal sebagai pencetus lahirnya NKRI lewat “mosi integral“ ini
menyesali diri. Selain pernah mundur dari jabatan perdana menteri pada 1951
atas nama moralitas publik, dia juga pernah enggan ditunjuk sebagai menteri
Penerangan dua tahun sebelumnya.
Dalam
peringatan ulang tahunnya ke-70 yang diselenggarakan pada 1979, Natsir
membeberkan sisi lain alasan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri
pertama setelah Indonesia kembali menjadi NKRI. Sebenarnya, lanjut Natsir, ia
bisa saja meneruskan jabatannya karena memang tidak ada mosi tidak percaya
sebagai penyebab jatuhnya pemerintahan parlementer. Yang menjadi pokok persoalan
adalah sikap pihak oposan yang memboikot berbagai sidang parlemen sambil
menunjukkan sikap-sikap politik yang sama sekali tidak etis.
Dalam
konteks kekinian, teladan moralitas politik Natsir tersebut ibarat sebuah
legenda di alam nyata. Mengundurkan diri secara sukarela dari jabatan politik
karena “gagal“ mengemban amanat sangatlah sulit dicarikan pembenaran. Tampaknya
“budaya malu“ yang dulu begitu identik dengan bangsa ini sudah benar-benar
luntur dimakan perjalanan zaman.
Padahal,
sama halnya dengan bangsa lain, bangsa Indonesia juga sangat merindukan para
legendaris yang mau secara sukarela mundur terhormat jika gagal mengemban
amanat rakyat. Mundur karena ketidakmampuan atau kegagalan menjalankan tugas
bukanlah perbuatan yang nista, melainkan sebuah kehormatan. Adalah sebuah
kehormatan jika seorang pejabat secara sukarela mundur dari jabatannya karena
memang terbukti tidak becus dalam mengatur sirkulasi di negeri ini.
Moralitas
politik yang tidak kalah elok yang diteladankan Natsir juga tergambar dari
sikap asketisnya. Sebagai pejabat publik, Natsir juga dikenal amat konsisten
dan persisten (tegas) dalam memisahkan urusan dinas dan keluarga. Dia tidak
ingin dana publik yang menjadi sumber pembiayaan urusan-urusan dinasnya ikut
terpakai untuk urusan pribadi dan keluarga. Anak-anaknya tetap naik sepeda
angin (onthel) saat pergi ke sekolah
atau antar-jemput dengan mobil rombeng DeSoto
yang dibeli dari saku sendiri.
Tidak
beda dengan pejabat kekinian, Natsir sebagai perdana menteri juga mendapat
fasilitas mobil dinas. Yang membedakan adalah waktu dan peruntukan penggunaan
fasilitas tersebut terbatas sejak pukul 07.00 sampai 17.00. Layaknya khalifah
Umar bin Abdul Azis, fasilitas itu pun benar-benar di gunakan untuk mengurus
negara, tanpa sekalipun digunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga, maupun
kelompoknya.
Sehingga, tidak jarang jika mobil dinasnya itu kerap terparkir di
kantor Istana Presiden, sementara dia pulang ke rumah dibonceng sepeda oleh
sopirnya. Itu pula yang dilakukannya saat dia meletakkan jabatannya sebagai
perdana menteri pada Maret 1951.
Cerita
kesederhanaan Natsir ini dicatat baik oleh George McTurnan Kahin, Indonesianis
asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia.
Dalam pertemuannya yang pertama dengan Natsir sebagai menteri Penerangan,
memang banyak hal yang dibicarakan terkait kondisi Indonesia terbaru. Namun,
yang membuat Kahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri,
berpakaian paling camping di antara semua pejabat di Yogyakarta. Barulah
beberapa minggu kemudian, staf di kantornya berpatungan membelikan sehelai baju
yang lebih pantas untuknya.
Sikap
asketis Natsir itu tentu tidak hanya dilandasi oleh watak demokratis dan problem solver yang tinggi sebagaimana
yang pernah disebut Indonesianis Herbert Feith, melainkan juga pantulan sikap
religiusnya yang tinggi memaknai sebuah jabatan. Jabatan adalah amanah, bukan
sekadar retorika atau bumbu-bumbu menggamit suara.
Kejujuran
dan kesederhanaan Natsir sebagai pejabat publik memang rasanya bagaikan mimpi
yang anakronistis, terletak pada zaman yang salah. Sebuah mimpi yang sepertinya
tidak realistis karena muncul di tengah-tengah ambisi menumpuk pundi-pundi tak
kunjung henti dan semangat aji mumpung yang menghinggapi sebagian besar pejabat
publik Indonesia. Natsir mewariskan teladan bagi generasi bangsa kekinian bahwa
bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan bersahaja itu bukan mustahil
meskipun penuh tantangan dan godaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar