Kajian
Islam Pasca Orientalisme
Rofi Uddarojat ; Mahasiswa Universitas
Paramadina, Aktivis Youth Freedom Network
ISLAMLIB.COM,
18 Juli 2012
“Menurut Luthfi, kalau tidak ada orientalisme mungkin umat Islam
tidak secepat ini bisa mengakses kitab-kitab klasik. Pada akhir tahun 80-an
kitab-kitab hadits, tafsir dan fiqh di Arab hampir semuanya di edit (tahqiq)
oleh para orientalis. Baru belakangan ini setelah ada upaya dari pemerintah dan
perguruan tinggi Arab, bermunculanlah pengedit yang berasal dari kalangan Islam
sendiri. Penjelasan akan hal ini, menurut Luthfi karena pada abad 19 tidak ada
muslim yang bisa men-tahqiq buku. Maka orang-orang seperti Goldziher-lah yang
men-tahqiq kitab-kitab klasik. Ada satu orientalis yang sangat berjasa terhadap
khazanah Arab-Islam yaitu Gustaf Flugel. Dia men-tahqiq dan menerbitkan buku
‘Al-Fihris Ibnu Nadim’ yang ditulis pada 3 H. Buku tersebut berisi buku-buku
yang terbit dan yang hilang pada saat itu. Kalo tidak ada jasa-jasa orientalis
seperti Flugel, mungkin akses umat Islam modern terhadap karya klasik akan
terlambat.”
Pasca terbitnya buku
“Orientalism” karya Edward Said, kecurigaan negatif terhadap karya-karya
sarjana barat yang meneliti dunia timur semakin menguat. Kecurigaan terhadap
karya ilmiah barat tidak lagi dipandang sebagai hal yang tulus. Peneliti barat
yang mengkaji timur kini dicurigai membawa agenda terselubung yang akan
merugikan dunia timur. Peneliti barat yang ingin meneliti timur, terutama Islam
harus diperiksa terlebih dulu niatnya, apakah untuk menjelek-jelekkan nama
Islam atau penaklukan kolonialisme. Padahal beberapa orientalis Barat
memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan khazanah timur, terutama
Islam. Orientalis barat dianggap tidak bisa dijadikan representasi dari karya
dan kajian Islam karena bukan dari kalangan Islam sendiri.
Edward Said berhasil menjadikan
kata “orientalisme” sebagai kata yang ditakuti oleh para pengkaji dunia timur.
Setelah beberapa tahun pasca penulisan tersebut, kini berkembang aliran baru
orientalisme yang disebut post-orientalisme. Untuk membahas hal ini, Jaringan
Islam Liberal mengadakan diskusi bulanan yang membahas perihal
post-orientalisme tersebut bersama Muhammad Ali, Asisten Professor di University of California, AS dan Luthfi
Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, Jakarta.
Menurut Muhammad Ali, di barat
ada beberapa jurusan yang mengkaji agama seperti islamic studies dan religious
studies. Namun menariknya pada sebelum tahun 1970-an, Islam tidak
dianggap termasuk dari kedua jurusan tersebut. Kajian islam di Barat memasukkan
Islam di bagian sekte-sekte, karena Islam masih dianggap sebagai sekte dari
Nasrani. Baru pada tahun 70-an, Islam masuk di kajian tersendiri tentang Agama.
Nah, menurut Ali, Edward Said berusaha mencari tahu sebab kenapa Islam tidak
masuk dalam kajian agama-agama. Lalu Said menyimpulkan bahwa kajian tentang
timur, terutama Islam berkaitan dengan kepentingan dalam upaya kolonialisme
barat terhadap dunia timur. Dengan memakai analisa pemikir barat seperti
Foucalt dan Gramsci,
Edward Said menggunakan pemikiran mereka untuk mengkritik barat.
Edward Said menggunakan pemikiran mereka untuk mengkritik barat.
Edward Said adalah seorang
kelahiran Palestina. Pernah belajar di Mesir, tetapi pada usia yang masih belia
sudah pindah ke Amerika Serikat. Sehingga Said bahkan tidak bisa bahasa Arab
sama sekali. Padahal, orientalis yang dikritik oleh Said sangat mahir dalam
berbahasa Arab (arabisist). Namun
menurut Ali, Said tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang Arab. Said
menganggap dirinya hibrid, dan lebih senang mengaku sebagai seorang humanis dan
lepas dari dikotomi timur-barat. Pemikiran Said tidak sedikit mendapatkan
kritikan tajam dari para orientalis. Misalnya Bernard Lewis, seorang orientalis
sejarah Arab dan Islam yang mengkritik Said paling keras. Ada dua poin kritik
Lewis terhadap Said. Pertama, bahwa kritikan Said terhadap Barat sebenarnya
balik mengkritik pemikiran dia sendiri, karena pendekatan yang digunakan oleh
Said adalah pendekatan Barat. Kedua, pendekatan generalisasi bahwa semua
orientalis buruk dan bertujuan untuk kolonialisme sangat tidak masuk akal.
Lewis mencontohkan para orientalis Jerman yang mempunyai banyak kajian tentang
dunia timur, tapi sama sekali bukan negara kolonial. Lewis juga menyayangkan
pendekatan Said yang menyerang struktur daripada hasil dari karya orientalisme.
Nah, menurut Ali gagasan post-orientalisme ingin merespon perdebatan ini.
Post-orientalisme tidak menjadi
antitesa bagi orientalisme, tetapi menjadi bagian atau lanjutan dari
orientalisme. Namun ada beberapa perbedaan antara orientalisme dan post-orientalisme.
Pertama, post-orientalisme menggunakan self-criticism yang cenderung tidak
digunakan oleh para sarjana orientalis. Para penggiat post-orientalisme sadar
bahwa ada beberapa hal yang mereka harus akui dalam mengkaji dunia timur,
misalnya pra-konsepsi, tujuan, dan seterusnya. Kedua, bila orientalisme
cenderung lebih mengutamakan kajian pada bahasa dan teks, maka kajian
post-orientalisme lebih cenderung mengkaji masyarakat Islam (life Islam) atau Islam yang sudah
dipraktekkan.
Oleh karena itu pendekatan yang digunakan adalah social science, seperti antropologi,
ilmu politik, teori kritis, gender
studies, cultural studies, dst. Jadi post-orientalisme lebih dekat dengan
ilmu sosial dan melepas fokus kajian tentang asal usul agama. Ketiga,
pendekatan yang digunakan adalah kosmopolitanisme yakni tidak ada pemisahan dan
pembedaan antar manusia. Sehingga tidak ada lagi dikotomi negara timur-barat,
Islam-non Islam, dst. Keempat, post-orientalisme juga mengkritik pendekatan
pencerahan (enlightment) yang terkesan
universal dan trans-historis. Sehingga dalam hal ini post-orientalisme juga
berperan sebagai post-enlightment.
Ali mencontohkan kritik Talal Asad tentang anggapan bahwa Islam hanya dipahami
sebagai agama (religion), padahal
banyak juga masyarakat Islam yang menganggap bahwa Islam tidak hanya agama
tetapi way of life, syariat, dll.
Sehingga pendekatan era pencerahan yang universal dan trans-historis tidak lagi
relevan, karena tidak lokal dan spesifik.
Luthfi Assyaukanie yang menjadi
pembanding presentasi Ali berbicara sedikit berbeda. Menurut Luthfi istilah
post-orientalisme sebetulnya bisa dipandang lebih positif. Istilah baru ini
bisa diperkenalkan sebagai kajian yang lebih objektif dan bersahabat dengan
dunia timur. Namun Luthfi tidak sepenuhnya setuju apabila penggantian kata
orientalisme menjadi post-orientalisme diakibatkan kritikan Edward Said.
Menurutnya, hal ini biasa saja terkait berkembangnya ilmu pengetahuan. Ada nama
baru dipakai yang lebih baik dari nama sebelumnya.
Kemudian Luthfi menyebutkan salah
satu kritik Said terhadap orientalisme, yaitu bahwa barat mengkritik Islam
berdasarkan pra-konsepsi yang dibuat barat sendiri. Menurut Luthfi awal sejarah
orientalisme bukan dari sejarah tulisan, tetapi sejarah lukisan. Pada saat itu
medium informasi tentang dunia timur di barat hanya lewat lukisan. Baru pada
abad 17 mediumnya berubah menjadi tulisan. Menurut Luthfi, yang dimaksud oleh
Said adalah informasi tentang dunia timur lewat lukisan yang terbatas. Pada
saat itu perjumpaan antara timur-barat memang sangat terbatas. Kalaupun ada
perjumpaan antara dunia barat-timur, maka itupun perjumpaan yang antagonistik,
permusuhan, dan konflik. Kritik lain Said terhadap orientalisme adalah bahwa
orientalisme berkaitan erat dengan kepentingan barat dalam imperialisme, yang
oleh para penganut post-kolonialisme sebagai relasi kekuasaan dan pengetahuan.
Said mengkritik orientalis Inggris dan Prancis yang pada saat itu negaranya
sedang gencar berekspansi ke dunia timur.
Menurut Luthfi banyak sekali
kritikan terhadap Edward Said, bahkan jauh lebih banyak daripada yang
membelanya. Menanggapi kritikan Bernard Lewis tentang Jerman, Said menulis
secara khusus dan menjelaskan bahwa kasus Jerman adalah kasus yang unik. Dan
ini yang menurut Luthfi awal dari keruntuhan tesis Said terhadap orientalisme.
Bahwa cara generalisasi dan esensialis yang dibawa oleh Said sangat lemah.
Kesalahan lain dari Said dengan mengabaikan fakta bahwa orientalisme sudah
terjadi jauh sebelum gagasan kolonialisme itu muncul. Luthfi mencontohkan
misalnya Roger Bacon yang pergi ke Maghribi di Andalusia pada abad 15
menerjemahkan karya-karya disana ke bahasa latin dan prancis. Dan itu sekali
lagi tidak ada hubungannya dengan kolonialisme.
Pada saat itu memang tumbuh
semangat ilmu pengetahuan yang besar di kampus-kampus barat dalam mengkaji
dunia timur. Seperti yang diucapkan oleh Benjamin Desraili, “east is a career.” Kesungguhan mengkaji
dunia timur semata-mata hanya urusan karir akademik mereka, bukan berkaitan
langsung dengan kolonialisme. Kalaupun ada yang dimanfaatkan untuk urusan
kolonial, menurut Luthfi itu wajar saja. Tidak hanya di barat, ilmuwan muslim
pun hampir semuanya dimanfaatkan atau memanfaatkan fasilitas penguasa. Ilmuwan
seperti Al-Biruni dan Al-Mawardi adalah contoh ilmuwan yang ada di sekitar
Istana. Itu juga yang dilakukan oleh Snouck Hugronje. Snouck adalah tipikal
ilmuwan abad 19 seperti Weber dan Marx yang tidak terlalu percaya dengan agama.
Maka menurut Luthfi, itulah yang menjelaskan kenapa dia dengan mudahnya masuk
Islam untuk meneliti Mekkah.
Dan kritik yang paling menohok
terhadap Said adalah kritikan dari Sadik Jalal Al-Azm yaitu orientalisme
terbalik (orientalism in reverse).
Bahwa sikap esensialis Said yang menganggap bahwa orientalis barat itu semuanya
buruk, hal ini sebenarnya berbalik kepada Said sendiri. Said tidak ada bedanya
dengan orientalis yang bersifat esensialis terhadap Islam.
Di akhir diskusi Luthfi berbicara
tentang sumbangan besar para orientalis barat terhadap dunia Islam. Menurut Luthfi,
kalau tidak ada orientalisme mungkin umat Islam tidak secepat ini bisa
mengakses kitab-kitab klasik. Pada akhir tahun 80-an kitab-kitab hadits, tafsir
dan fiqh di Arab hampir semuanya di edit (tahqiq)
oleh para orientalis. Baru belakangan ini setelah ada upaya dari pemerintah dan
perguruan tinggi Arab, bermunculanlah pengedit yang berasal dari kalangan Islam
sendiri. Penjelasan akan hal ini, menurut Luthfi karena pada abad 19 tidak ada
muslim yang bisa men-tahqiq buku. Maka orang-orang seperti Goldziher-lah yang
men-tahqiq kitab-kitab klasik. Ada satu orientalis yang sangat berjasa terhadap
khazanah Arab-Islam yaitu Gustaf Flugel. Dia men-tahqiq dan menerbitkan buku
“Al-Fihris Ibnu Nadim” yang ditulis pada 3 H. Buku tersebut berisi buku-buku
yang terbit dan yang hilang pada saat itu. Kalo tidak ada jasa-jasa orientalis
seperti Flugel, mungkin akses umat Islam modern terhadap karya klasik akan
terlambat.
Selain itu, jasa orientalis
lainnya terhadap Islam adalah mengembangkan studi kritis terhadap Islam.
Sebelumnya studi Islam tidak bisa bersifat kritis karena ada pandangan
konservatif seperti sesat atau kafir. Luthfi mencontohkan orientalis seperti
Arthur Jeffery yang mengkaji Al-Quran terutama Al-Fatihah yang sangat detail.
Hasilnya pun sangat mencengangkan. Jeffery mengkaji kenapa Al-Fatihah tidak
dicantumkan dalam mushaf Ibnu Mas’ud. Kemudian Jeffery mengkaji secara
antropologis dan hasilnya dia menemukan bahwa bacaan sembahyang masyarakat
syiria dulu sangat mirip dengan bacaan Al-Fatihah. Dan cara studi seperti ini
menurut Luthfi sangat sehat untuk umat Islam dalam mengembangkan pengetahuan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar