Kamis, 19 Juli 2012

Kajian Islam Pasca Orientalisme

Kajian Islam Pasca Orientalisme
Rofi Uddarojat ; Mahasiswa Universitas Paramadina, Aktivis Youth Freedom Network
ISLAMLIB.COM, 18 Juli 2012


Menurut Luthfi, kalau tidak ada orientalisme mungkin umat Islam tidak secepat ini bisa mengakses kitab-kitab klasik. Pada akhir tahun 80-an kitab-kitab hadits, tafsir dan fiqh di Arab hampir semuanya di edit (tahqiq) oleh para orientalis. Baru belakangan ini setelah ada upaya dari pemerintah dan perguruan tinggi Arab, bermunculanlah pengedit yang berasal dari kalangan Islam sendiri. Penjelasan akan hal ini, menurut Luthfi karena pada abad 19 tidak ada muslim yang bisa men-tahqiq buku. Maka orang-orang seperti Goldziher-lah yang men-tahqiq kitab-kitab klasik. Ada satu orientalis yang sangat berjasa terhadap khazanah Arab-Islam yaitu Gustaf Flugel. Dia men-tahqiq dan menerbitkan buku ‘Al-Fihris Ibnu Nadim’ yang ditulis pada 3 H. Buku tersebut berisi buku-buku yang terbit dan yang hilang pada saat itu. Kalo tidak ada jasa-jasa orientalis seperti Flugel, mungkin akses umat Islam modern terhadap karya klasik akan terlambat.”

Pasca terbitnya buku “Orientalism” karya Edward Said, kecurigaan negatif terhadap karya-karya sarjana barat yang meneliti dunia timur semakin menguat. Kecurigaan terhadap karya ilmiah barat tidak lagi dipandang sebagai hal yang tulus. Peneliti barat yang mengkaji timur kini dicurigai membawa agenda terselubung yang akan merugikan dunia timur. Peneliti barat yang ingin meneliti timur, terutama Islam harus diperiksa terlebih dulu niatnya, apakah untuk menjelek-jelekkan nama Islam atau penaklukan kolonialisme. Padahal beberapa orientalis Barat memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan khazanah timur, terutama Islam. Orientalis barat dianggap tidak bisa dijadikan representasi dari karya dan kajian Islam karena bukan dari kalangan Islam sendiri.

Edward Said berhasil menjadikan kata “orientalisme” sebagai kata yang ditakuti oleh para pengkaji dunia timur. Setelah beberapa tahun pasca penulisan tersebut, kini berkembang aliran baru orientalisme yang disebut post-orientalisme. Untuk membahas hal ini, Jaringan Islam Liberal mengadakan diskusi bulanan yang membahas perihal post-orientalisme tersebut bersama Muhammad Ali, Asisten Professor di University of California, AS dan Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, Jakarta.

Menurut Muhammad Ali, di barat ada beberapa jurusan yang mengkaji agama seperti islamic studies dan religious studies.  Namun menariknya pada sebelum tahun 1970-an, Islam tidak dianggap termasuk dari kedua jurusan tersebut. Kajian islam di Barat memasukkan Islam di bagian sekte-sekte, karena Islam masih dianggap sebagai sekte dari Nasrani. Baru pada tahun 70-an, Islam masuk di kajian tersendiri tentang Agama. Nah, menurut Ali, Edward Said berusaha mencari tahu sebab kenapa Islam tidak masuk dalam kajian agama-agama. Lalu Said menyimpulkan bahwa kajian tentang timur, terutama Islam berkaitan dengan kepentingan dalam upaya kolonialisme barat terhadap dunia timur. Dengan memakai analisa pemikir barat seperti Foucalt dan Gramsci, 
Edward Said menggunakan pemikiran mereka untuk mengkritik barat.

Edward Said adalah seorang kelahiran Palestina. Pernah belajar di Mesir, tetapi pada usia yang masih belia sudah pindah ke Amerika Serikat. Sehingga Said bahkan tidak bisa bahasa Arab sama sekali. Padahal, orientalis yang dikritik oleh Said sangat mahir dalam berbahasa Arab (arabisist). Namun menurut Ali, Said tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang Arab. Said menganggap dirinya hibrid, dan lebih senang mengaku sebagai seorang humanis dan lepas dari dikotomi timur-barat. Pemikiran Said tidak sedikit mendapatkan kritikan tajam dari para orientalis. Misalnya Bernard Lewis, seorang orientalis sejarah Arab dan Islam yang mengkritik Said paling keras. Ada dua poin kritik Lewis terhadap Said. Pertama, bahwa kritikan Said terhadap Barat sebenarnya balik mengkritik pemikiran dia sendiri, karena pendekatan yang digunakan oleh Said adalah pendekatan Barat. Kedua, pendekatan generalisasi bahwa semua orientalis buruk dan bertujuan untuk kolonialisme sangat tidak masuk akal. 
 
Lewis mencontohkan para orientalis Jerman yang mempunyai banyak kajian tentang dunia timur, tapi sama sekali bukan negara kolonial. Lewis juga menyayangkan pendekatan Said yang menyerang struktur daripada hasil dari karya orientalisme. Nah, menurut Ali gagasan post-orientalisme ingin merespon perdebatan ini. 

Post-orientalisme tidak menjadi antitesa bagi orientalisme, tetapi menjadi bagian atau lanjutan dari orientalisme. Namun ada beberapa perbedaan antara orientalisme dan post-orientalisme. Pertama, post-orientalisme menggunakan self-criticism yang cenderung tidak digunakan oleh para sarjana orientalis. Para penggiat post-orientalisme sadar bahwa ada beberapa hal yang mereka harus akui dalam mengkaji dunia timur, misalnya pra-konsepsi, tujuan, dan seterusnya. Kedua, bila orientalisme cenderung lebih mengutamakan kajian pada bahasa dan teks, maka kajian post-orientalisme lebih cenderung mengkaji masyarakat Islam (life Islam) atau Islam yang sudah dipraktekkan. 

Oleh karena itu pendekatan yang digunakan adalah social science, seperti antropologi, ilmu politik, teori kritis, gender studies, cultural studies, dst. Jadi post-orientalisme lebih dekat dengan ilmu sosial dan melepas fokus kajian tentang asal usul agama. Ketiga, pendekatan yang digunakan adalah kosmopolitanisme yakni tidak ada pemisahan dan pembedaan antar manusia. Sehingga tidak ada lagi dikotomi negara timur-barat, Islam-non Islam, dst. Keempat, post-orientalisme juga mengkritik pendekatan pencerahan (enlightment) yang terkesan universal dan trans-historis. Sehingga dalam hal ini post-orientalisme juga berperan sebagai post-enlightment. Ali mencontohkan kritik Talal Asad tentang anggapan bahwa Islam hanya dipahami sebagai agama (religion), padahal banyak juga masyarakat Islam yang menganggap bahwa Islam tidak hanya agama tetapi way of life, syariat, dll. Sehingga pendekatan era pencerahan yang universal dan trans-historis tidak lagi relevan, karena tidak lokal dan spesifik.

Luthfi Assyaukanie yang menjadi pembanding presentasi Ali berbicara sedikit berbeda. Menurut Luthfi istilah post-orientalisme sebetulnya bisa dipandang lebih positif. Istilah baru ini bisa diperkenalkan sebagai kajian yang lebih objektif dan bersahabat dengan dunia timur. Namun Luthfi tidak sepenuhnya setuju apabila penggantian kata orientalisme menjadi post-orientalisme diakibatkan kritikan Edward Said. Menurutnya, hal ini biasa saja terkait berkembangnya ilmu pengetahuan. Ada nama baru dipakai yang lebih baik dari nama sebelumnya.

Kemudian Luthfi menyebutkan salah satu kritik Said terhadap orientalisme, yaitu bahwa barat mengkritik Islam berdasarkan pra-konsepsi yang dibuat barat sendiri. Menurut Luthfi awal sejarah orientalisme bukan dari sejarah tulisan, tetapi sejarah lukisan. Pada saat itu medium informasi tentang dunia timur di barat hanya lewat lukisan. Baru pada abad 17 mediumnya berubah menjadi tulisan. Menurut Luthfi, yang dimaksud oleh Said adalah informasi tentang dunia timur lewat lukisan yang terbatas. Pada saat itu perjumpaan antara timur-barat memang sangat terbatas. Kalaupun ada perjumpaan antara dunia barat-timur, maka itupun perjumpaan yang antagonistik, permusuhan, dan konflik. Kritik lain Said terhadap orientalisme adalah bahwa orientalisme berkaitan erat dengan kepentingan barat dalam imperialisme, yang oleh para penganut post-kolonialisme sebagai relasi kekuasaan dan pengetahuan. Said mengkritik orientalis Inggris dan Prancis yang pada saat itu negaranya sedang gencar berekspansi ke dunia timur.

Menurut Luthfi banyak sekali kritikan terhadap Edward Said, bahkan jauh lebih banyak daripada yang membelanya. Menanggapi kritikan Bernard Lewis tentang Jerman, Said menulis secara khusus dan menjelaskan bahwa kasus Jerman adalah kasus yang unik. Dan ini yang menurut Luthfi awal dari keruntuhan tesis Said terhadap orientalisme. Bahwa cara generalisasi dan esensialis yang dibawa oleh Said sangat lemah. Kesalahan lain dari Said dengan mengabaikan fakta bahwa orientalisme sudah terjadi jauh sebelum gagasan kolonialisme itu muncul. Luthfi mencontohkan misalnya Roger Bacon yang pergi ke Maghribi di Andalusia pada abad 15 menerjemahkan karya-karya disana ke bahasa latin dan prancis. Dan itu sekali lagi tidak ada hubungannya dengan kolonialisme.

Pada saat itu memang tumbuh semangat ilmu pengetahuan yang besar di kampus-kampus barat dalam mengkaji dunia timur. Seperti yang diucapkan oleh Benjamin Desraili, “east is a career.” Kesungguhan mengkaji dunia timur semata-mata hanya urusan karir akademik mereka, bukan berkaitan langsung dengan kolonialisme. Kalaupun ada yang dimanfaatkan untuk urusan kolonial, menurut Luthfi itu wajar saja. Tidak hanya di barat, ilmuwan muslim pun hampir semuanya dimanfaatkan atau memanfaatkan fasilitas penguasa. Ilmuwan seperti Al-Biruni dan Al-Mawardi adalah contoh ilmuwan yang ada di sekitar Istana. Itu juga yang dilakukan oleh Snouck Hugronje. Snouck adalah tipikal ilmuwan abad 19 seperti Weber dan Marx yang tidak terlalu percaya dengan agama. Maka menurut Luthfi, itulah yang menjelaskan kenapa dia dengan mudahnya masuk Islam untuk meneliti Mekkah.

Dan kritik yang paling menohok terhadap Said adalah kritikan dari Sadik Jalal Al-Azm yaitu orientalisme terbalik (orientalism in reverse). Bahwa sikap esensialis Said yang menganggap bahwa orientalis barat itu semuanya buruk, hal ini sebenarnya berbalik kepada Said sendiri. Said tidak ada bedanya dengan orientalis yang bersifat esensialis terhadap Islam.

Di akhir diskusi Luthfi berbicara tentang sumbangan besar para orientalis barat terhadap dunia Islam. Menurut Luthfi, kalau tidak ada orientalisme mungkin umat Islam tidak secepat ini bisa mengakses kitab-kitab klasik. Pada akhir tahun 80-an kitab-kitab hadits, tafsir dan fiqh di Arab hampir semuanya di edit (tahqiq) oleh para orientalis. Baru belakangan ini setelah ada upaya dari pemerintah dan perguruan tinggi Arab, bermunculanlah pengedit yang berasal dari kalangan Islam sendiri. Penjelasan akan hal ini, menurut Luthfi karena pada abad 19 tidak ada muslim yang bisa men-tahqiq buku. Maka orang-orang seperti Goldziher-lah yang men-tahqiq kitab-kitab klasik. Ada satu orientalis yang sangat berjasa terhadap khazanah Arab-Islam yaitu Gustaf Flugel. Dia men-tahqiq dan menerbitkan buku “Al-Fihris Ibnu Nadim” yang ditulis pada 3 H. Buku tersebut berisi buku-buku yang terbit dan yang hilang pada saat itu. Kalo tidak ada jasa-jasa orientalis seperti Flugel, mungkin akses umat Islam modern terhadap karya klasik akan terlambat.

Selain itu, jasa orientalis lainnya terhadap Islam adalah mengembangkan studi kritis terhadap Islam. Sebelumnya studi Islam tidak bisa bersifat kritis karena ada pandangan konservatif seperti sesat atau kafir. Luthfi mencontohkan orientalis seperti Arthur Jeffery yang mengkaji Al-Quran terutama Al-Fatihah yang sangat detail. Hasilnya pun sangat mencengangkan. Jeffery mengkaji kenapa Al-Fatihah tidak dicantumkan dalam mushaf Ibnu Mas’ud. Kemudian Jeffery mengkaji secara antropologis dan hasilnya dia menemukan bahwa bacaan sembahyang masyarakat syiria dulu sangat mirip dengan bacaan Al-Fatihah. Dan cara studi seperti ini menurut Luthfi sangat sehat untuk umat Islam dalam mengembangkan pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar