Rabu, 11 Juli 2012

Merenungi Negara


Merenungi Negara
Max Regus ; Alumnus Pascasarjana Departemen Sosiologi FISIP UI
MEDIA INDONESIA, 11 Juli 2012

KITA sedang memasuki salah satu sesi terkelam dalam sejarah keindonesiaan. Negara tidak menjadi arena yang memunculkan rangkaian argumentasi politik mencerdaskan publik. Di sejumlah titik paling asasi, negara mengalami kekalahan.  Saling sangkal antarpembuat kebijakan publik menjadi pemandangan umum yang mudah ditemukan setiap waktu. Beragam jenis kekacauan seolah menjadi simpul wacana kekuasaan. Bahkan, segera dengan mudah kita menemukan kewibawaan para pemimpin politik yang semakin berkurang secara drastis.

Korupsi yang menjebak semua sisi pengelolaan kehidupan bersama, kemudian kemiskinan yang membuntukan jalan pikir masyarakat kecil, telah memutlakkan kekacauan politik dan sosial yang sulit terbantahkan. Kemiskinan, yang kian mencekik publik paling miskin, telah menjadikan bunuh diri sebagai pilihan paling aman dan nyaman (Media Indonesia, 6 Juli 2012). Korupsi dan kemiskinan merupakan dua variabel paling utama untuk merefleksikan keterbengkelaian pengelolaan negara dan politik kekuasaan di Indonesia saat ini.

Katalisator

Korupsi yang menyerang ruang-ruang yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya memunculkan beberapa persoalan pelik ini. Pertama, apatisme publik terhadap pembongkaran kasus-kasus kejahatan korupsi jelas akan semakin membesar. Selain karena korupsi yang sudah semakin intensif, itu juga disebabkan ekstensifikasi kejahatan korupsi menuai hasil gemilang. Korupsi tidak hanya berbicara tentang satu lembaga negara. Korupsi sudah merujuk lembaga penjaga moralitas politik bangsa.

Kedua, negara yang sedang terpenjara dalam kepentingan-kepentingan segelintir orang menemukan momen tum dan ruang terbaik untuk semakin melancarkan operasi jahat mereka dalam varian-varian korupsi. Ketiga, masa depan perang terhadap korupsi mungkin lebih banyak mengalami kekalahan dan kekecewaan. Mata awam dapat menangkap dengan jelas bagaimana krisis yang menyelubungi kehidupan negara sudah sedemikian menakutkan.

Keretakan yang menyergap ruang-ruang kekuasaan telah melemahkan pendirian-pendirian politik terbaik untuk menunjang kehidupan publik. Negara sedang berada di titik penuh bahaya. Itu terjadi manakala negara kehilangan alasan untuk menjadi muara segala pertanyaan publik dan sumber kepastian yang membesarkan hati rakyat.
Roberto Castadi (2010) memiliki keyakinan tersendiri ketika memaknai krisis ekonomi berkepanjangan yang membekap Eropa hingga sekarang ini. Castadi menyebutkan krisis dengan dua hal. Pertama, krisis merupakan `jendela kesempatan' untuk menemukan kepercayaan politik bahwa sebuah komunitas politik mampu memper baiki banyak hal dalam kehidupan mereka. Kesempatan memperbaiki kesalahan agar tidak menjadi bangsa yang kalah dalam banyak kisah suram mematikan.

Kedua, krisis merupakan `katalisator ' kemunculan framework keputusan politik fundamental negara untuk kepentingan publik. Keputusankeputusan politik kekuasaan akan lebih bernyali sosial ketika berangkat dari pembongkaran yang berani atas sum ber-sumber krisis yang ada. Pada level tersebut, inisiatif dan kualifikasi kepemimpinan politik dari para penguasa menjadi prasyarat mutlak. Negara membutuhkan figur-figur pemimpin yang memiliki daya inisiatif tingkat tinggi dan model kepemimpinan politik yang kuat.

Membaca Indonesia dalam perspektif pemikiran tersebut akan semakin menjelaskan bagaimana krisis menjadi sumber malapetaka ketika kepemimpinan politik masih menjadi ruang kosong dalam kehidupan negara. Kepemimpinan di bidang pendidikan ternyata tidak cukup kuat untuk mengelola suasana umum krisis dan kejahatan korupsi. Kenyataan itu membuktikan ketiadaan kepemimpinan politik dalam banyak aspek kehidupan. Hal tersebut menjelaskan bagaimana korupsi bisa mengalir ke segala arah karena tidak ada benteng kepemimpinan yang cukup kuat untuk menahan itu.

Titik Balik

Kita membutuhkan keberanian merumuskan dan menempuh titik balik radikal guna melawan tendensi-tendensi politik koruptif. Titik balik radikal yang mengandung ikhtiar mendobrak krisis yang menebalkan kebuntuan-kebuntuan politik. Tentu yang perlu kita bicarakan dalam konteks ini bukan lagi negara sebagai sesuatu yang abstrak. Negara, dalam teropong kecemasan itu, ialah para pelaku politik kekuasaan.

Direktur Organization for Economic Co-Operations and Development Richard Carey, dalam buku yang berjudul Concepts and Dilemmas of State Building in Fragile State (2008), menyebutkan kolaborasi dari tiga aspek penting tersebut(?) dalam pengelolaan negara, terutama bagaimana menggerakkan negara dari kawah kerapuhan menuju puncak keberdayaan politik. Tiga aspek itu niscaya saling mengandaikan untuk membentuk postur negara yang mampu melampaui jebakan krisis.

Pertama, kapasitas. Segenap instrumen negara mesti memiliki kapasitas untuk mengerjakan hal-hal paling penting. Di sini, negara membutuhkan tangan-tangan yang tangkas untuk mengurai problem pelik yang mengurung kehidupan bersama.

Kedua, efektivitas. Setiap keputusan politik harus menghasilkan efektivitas untuk mendorong perubahan signifi kan dalam kehidupan bernegara. Politik pembangunan yang hanya mengabdi pada kepentingan sempit merefl eksikan negara yang kehilangan fungsi sosial-politik.

Ketiga, legitimasi. Organ-organ negara harus diisi figur-figur yang memiliki legitimasi tidak tergugat. Legitimasi politik, tetapi terutama legitimasi moral. Mereka yang mampu menjadi panduan moral untuk semua orang. Mereka yang menjadi sumber keteladanan sosial, politik, hukum, dan demokrasi.

Berfungsi

Tiga aspek vital tadi niscaya bekerja dalam diri penguasa politik. Orang-orang yang menduduki jabatan publik pada akhirnya akan menentukan proses politik dan hukum dalam kehidupan kenegaraan. Kita butuh para pemimpin yang berani mereproduksikan keberdayaan negara dalam ruang kehidupan bersama. Kita akan menyentuh cakrawala keadaban politik dalam kerelaan dan tanggung jawab para pemimpin di negeri ini.

Tantangan terberat Indonesia kini, meminjam gagasan V Fritz dan A Rocha Menocal (2007), ialah bagaimana membuat negara berfungsi untuk hal-hal fundamental dalam tataran demokrasi, keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kebebasan sipil.

Ketika bermenung tentang negara pada hari-hari ini, yang menguat ialah kecemasan akan negara yang semakin melemah posisi tawarnya terhadap kejahatan di ruang politik dan kekerasan di lorong sosial. Negara, dalam kondisi semacam ini, memberikan peluang menguatnya keberadaan kelompok-kelompok kepentingan yang berhasrat mendikte kehendak politik tanpa kontrol sosial dan batasan yuridis.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar