Rabu, 11 Juli 2012

Bonus Demografi yang Galau


Bonus Demografi yang Galau
Dwini Handayani ; Wakil Kepala Lembaga Demografi FEUI,
Ketua Komisi Kependudukan dan KB Koalisi Kependudukan
MEDIA INDONESIA, 11 Juli 2012

PERINGATAN tanggal 11 Juli 2012 menarik untuk berkilas balik ke peringatan Hari Kependudukan Internasional tahun 2011. Saat itu dunia bersiap-siap menyambut kelahiran bayi ketujuh miliar yang konon diproyeksikan lahir pada Oktober 2011.

Di Indonesia sendiri, pada 2011, penduduknya diperkirakan berjumlah 240 juta dengan laju pertambahan penduduk Indonesia tahun 2000-2010 sebesar 1,49% per tahun. Artinya dalam setiap menit, akan lahir delapan bayi atau satu bayi lahir setiap 7,4detik. Terlepas dari kontroversi tentang halhal teknis pelaksanaan sensus penduduk dan penghitungan penduduk, masalah kependudukan perlu kembali menjadi perhatian Indonesia.

Indonesia diperkirakan akan mendapatkan bonus demografi pada 2020-2030. Baby boom yang diikuti penurunan kelahiran menghasilkan bonus demografi tersebut. Bonus demografi ialah keadaan ketika jumlah penduduk produktif yang berusia 1564 tahun akan lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah penduduk muda (15 tahun ke bawah) dan penduduk tua (65 tahun ke atas).

Bonus tersebut merupakan hasil kerja keras Indonesia dalam menurunkan angka kelahiran melalui program keluarga berencana (KB) pada 1970-an. Mengapa kebijakan penurunan angka kelahiran dipilih? Terdapat tiga komponen pengubah jumlah penduduk, yakni kelahiran, kematian, dan migrasi.

Migrasi merupakan hak warga negara dalam upaya mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Maka, migrasi tidak bisa dilarang. Migrasi hanya dapat diarahkan melalui penurunan kesenjangan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan antarwilayah.
Komponen pengubah jumlah penduduk kedua ialah kematian, yang mana kebijakan untuk memperpanjang harapan hidup manusia selalu dipilih. Artinya kematian akan selalu di upayakan turun. Penurunan kelahiran merupakan satu-satunya komponen yang secara logis dipilih dalam upaya menurunkan laju pertumbuhan penduduk.

Bonus demografi tersebut dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang tinggi jika kualitas sumber daya manusia mendukung.

Berdasarkan rangking indeks pembangunan manusia (IPM) 2011, Indonesia menempati urutan 124 di antara 187 negara dunia. Terdapat tiga dimensi dalam IPM, yakni angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan gross national income per capita. Ketiga dimensi IPM, yaitu kesehatan, pendidikan, dan daya beli, merupakan dimensi penting dalam upaya pembentukan kemampuan manusia (the formation of human capability).

Memerlukan Waktu

Dalam pembangunan, kita sering kali lupa bahwa pembangunan manusia merupakan suatu proses yang memerlukan waktu. Mendapat manusia Indonesia yang hidup panjang, sehat, cerdas, dan sejahtera merupakan proses sejak dalam kandungan sampai akhir hayat dikandung badan. Kehilangan salah satu unsur di satu tahap hidup manusia akan mencederai proses pembangunan manusia.

Penduduk ialah penentu pembangunan karena mereka subjek dan objek pembangunan. Retorika itu tampaknya sederhana dan mudah dipahami, tetapi pada kenyataannya sulit untuk diimplementasikan.

Kesulitan tersebut muncul karena kebijakan yang tidak didasarkan pada pandangan dan filosofi bahwa penduduk berkualitas ialah tujuan utama dan komponen pembangunan manusia saling terkait. Untuk mendapatkan tingkat kesehatan yang tinggi, kebutuhan kesehatan seorang manusia harus tercukupi secara fisik dan nonfi sik serta memiliki pengetahuan yang memadai tentang apa yang diperlukan agar sehat. Pendidikan pun merupakan komponen penting karena akan meningkatkan kemampuan manusia, yang selanjutnya akan meningkatkan pula peluang untuk mendapatkan kehidupan yang baik. 

Agar mendapatkan pendidikan, selain butuh akses ke fasilitas pendidikan, perlu ability untuk dapat memahami materi yang diberikan. Agar dapat memenuhi kebutuhan, seseorang harus memiliki pendapatan yang memadai.

Istilah bonus demografi sering kali dipergunakan seolah-olah memberikan kesan bahwa Indonesia akan serta-merta memetik keuntungan akibat perubahan struktur penduduk. Padahal, bonus demografi akan terealisasi jika penduduk produktif tersebut berkualitas.
IPM Indonesia pada 2011, menurut ketiga dimensi IPM, ialah angka harapan hidup yaitu 69,4 tahun, rata-rata lama sekolah 5,8 tahun, serta angka harapan rata-rata bersekolah 13,2 tahun dan gross national income per capita at purchasing power parity (PPP) sebesar US$3.716. Nilai IPM secara absolut selalu meningkat. Namun bila melihat pencapaian tersebut, laju pertumbuhan pembangunan manusia kita tampaknya belum secepat yang diharapkan.

Hal lain yang juga sering dilupakan ialah komposisi jumlah penduduk produktif yang besar bila dibandingkan dengan jumlah penduduk muda dan lanjut usia bergantung pada jumlah kelahiran yang terjadi di masa ini. Prof Srie Moertiningsih Adioetomo, dalam pidato pengukuhan guru besarnya di 2005, menyatakan tingkat fertilitas turun menjadi 1,8 per wanita dan penurunan angka kematian bayi menjadi 18,9 per 1.000 kelahiran pada 2030. Jikalau prasyarat tersebut tercapai, setiap 100 penduduk produktif hanya akan menanggung 44 penduduk muda dan tua.

Jika menilik laju pertumbuhan penduduk yang meningkat, berarti angka kelahiran juga mengalami kenaikan. Perkembangan kependudukan tersebut membuat para pemerhati kependudukan menjadi galau. Bagaimana dengan sinergi kebijakan yang langsung terkait dengan investasi sumber daya manusia? Bagaimana dengan kebijakan di bidang ekonomi? Apakah itu sudah mengacu pada perubahan kependudukan baik secara komposisi, struktur umur, maupun persebarannya? Bagaimana juga dengan pembangunan infrastruktur, pelayanan kemasyarakatan, pangan, dan kebijakan lain?

Memang betul unsur penduduk sudah diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), tetapi bagaimana dengan kebijakan yang lain? Upaya lain dicanangkan untuk meningkatkan ketimpangan pembangunan antarwilayah melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
Bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat tercapai jika tidak terdapat strategi percepatan pembangunan manusia? Penduduk usia produktif besar tetapi tanpa kualitas justru akan menjadi beban.

Bonus demografi akan benar-benar menjadi bonus jika prasyarat terpenuhi. Menggunakan kebijakan pembangunan manusia yang business as usual tidaklah cukup. Perlu putar haluan arah melalui percepatan pembangunan manusia untuk mengejar peluang bonus demografi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar