Rabu, 18 Juli 2012

Keterjangkauan Pendidikan Tinggi


Keterjangkauan Pendidikan Tinggi
Anita Lie ; Guru Besar Unika Widya Mandala, Surabaya
KOMPAS, 18 Juli 2012


Pada tingkat makro, pendidikan tinggi mempunyai peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia demi peradaban manusia.
Secara pragmatis-ekonomis, pendidikan tinggi akan mengembangkan komunitas warga terdidik, terampil, berbudaya, dan berakhlak mulia untuk meningkatkan daya saing bangsa. Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional tidak dapat dilepaskan dari amanat Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945.

Dalam rangka menghadapi perkembangan dunia yang semakin mengutamakan basis ilmu pengetahuan, pendidikan tinggi diharapkan mampu menjalankan peran strategis dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia demi peradaban manusia. Pada tingkat individual, pendidikan tinggi merupakan salah satu rute yang bisa diambil warga masyarakat untuk mempertahankan atau meningkatkan status dan kelas sosial-ekonomi.

Setelah melalui beberapa proses revisi, Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi (RUU PT) direncanakan untuk disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 13 Juli 2012. Bisa dipastikan UU PT yang baru akan menghadapi proses uji materi di Mahkamah Konstitusi karena kalangan akademisi, terutama dari PTN, mencemaskan pengebirian otonomi perguruan tinggi. Penempatan permasalahan dalam perspektif berbagai kepentingan bisa membantu memberikan alternatif solusi bagi kebutuhan otonomi dan keterjangkauan terhadap pendidikan tinggi.

Pusaran Kepentingan

Komplikasi dalam pembuatan dan implementasi kebijakan pendidikan tinggi tampak dalam dinamika pro-kontra yang berakhir pada pembatalan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). DPR dan pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sebagai pemegang kewenangan berupaya melegalisasi kewenangan pengaturan tata kelola pendidikan tinggi dalam UU PT. Rully Chairul Azwar, anggota Komisi X DPR, menyebutkan tiga permasalahan pendidikan tinggi (keterbatasan daya tampung PT bermutu, keterjangkauan biaya, dan kompetensi-relevansi) sebagai alasan pengesahan RUU PT.

Kalangan akademisi mencemaskan UU PT yang baru akan berakhir pada pengebirian otonomi dalam pengelolaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Potensi intervensi pemerintah terhadap perguruan tinggi dikhawatirkan, seperti soal kurikulum, pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian masyarakat, akan menghambat inovasi, kreativitas, dan keunggulan akademik. Bahkan, sebagian kalangan akademisi ini ”merindukan” kembali ke UU No 9/2009 tentang BHP yang dianggap lebih membawa semangat otonomi. Kalangan akademisi juga berupaya menepis kekhawatiran masyarakat bahwa otonomi universitas akan menyebabkan ketiadaan akses bagi masyarakat kurang mampu (Sulistyowati Irianto, 2012).

Sementara itu, kalangan warga masyarakat (mahasiswa dan sebagian akademisi yang lain) mencemaskan implementasi otonomi sebagai pengurangan akses bagi masyarakat miskin. Wacana ”kastanisasi” oleh Darmaningtyas dkk dan penolakan terhadap penyeragaman oleh kalangan PTS menjadi motor dalam proses pembatalan UU tentang BHP. Komisi X DPR memberi tagline yang terdengar populis, MPR (Melindungi Stakeholders, Pro-Rakyat, Relevan) untuk UU PT baru.

Pendanaan 

Pengelolaan perguruan tinggi harus berdasarkan prinsip nirlaba, akuntabilitas, dan transparansi. Negara tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, kehidupan seluruh bangsa Indonesia, bukan segolongan tertentu. Karena itu, banyak pihak yang beranggapan, sudah selayaknya pemerintah bertanggung jawab atas pembiayaan pendidikan tinggi negeri, setidaknya mencegah terjadinya privatisasi dan/atau komersialisasi pendidikan tinggi sehingga calon mahasiswa dari keluarga miskin tidak menjadi terpinggirkan.

Namun, realitas keterbatasan anggaran pemerintah serta komitmen pendidikan dasar untuk semua dan pengalokasian yang lebih besar untuk pendidikan dasar dan menengah menyebabkan pilihan-pilihan yang sulit bagi perguruan tinggi.

Dalam era keterbatasan ini, kompetisi untuk merebut sumber-sumber dana dari masyarakat menjadi makin marak. Pada masa pra-BHMN (badan hukum milik negara), kompetisi hanya terjadi secara kasatmata di kalangan PTS. Namun, kini PTN pun terseret dalam kompetisi ini. Bahkan, beberapa PTN tidak segan-segan membuka cabang di kota lain dengan mengirim dosen terbang. Ketika pendidikan tinggi sudah menjadi komoditas, diskriminasi terhadap kalangan miskin akan terjadi secara sistematis dan legal. Pendidikan tinggi yang prorakyat menjadi sebuah keharusan mengingat salah satu strategi pembangunan nasional yang didengung-dengungkan adalah prorakyat.

Otonomi perguruan tinggi memang menjadi hakikat yang tidak bisa diganggu gugat demi penjaminan mutu dan pencapaian keunggulan. Ini membutuhkan biaya besar. DPR dan pemerintah sudah menunjukkan niat mulia untuk mengatur dan memastikan tiga permasalahan pendidikan tinggi (keterbatasan daya tampung PT bermutu, keterjangkauan biaya, dan kompetensi-relevansi) bisa diatasi. Namun, pasal-pasal dalam UU PT justru berlebihan dalam pengaturan.

Kebebasan dalam pengelolaan akademik maupun non-akademik dalam perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, harus dijamin dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Kekhawatiran terhadap PTS ”kelas ruko” yang dilontarkan oleh kalangan PTN terlalu berlebihan karena seiring dengan berjalannya waktu dan pendewasaan masyarakat, PTS semacam ini pada akhirnya harus mengambil pilihan membenahi dan meningkatkan diri atau tumbang dalam persaingan dengan PTS lain dan PTN.

Alternatif solusi bagi kebutuhan otonomi dan keterjangkauan terhadap pendidikan tinggi adalah alokasi dana beasiswa oleh suatu badan yang terpisah dari PTN. Bisa saja para rektor perguruan tinggi terpilih (negeri ataupun swasta) menjadi bagian dari badan ini, tetapi penyaluran dana tidak seperti block grant yang diberikan langsung kepada PTN.

Mahasiswa dari PTN dan PTS terpilih bisa mengajukan serta mendapat beasiswa atau pinjaman berdasarkan merit dan/atau kebutuhan. Dana disalurkan ke akun mahasiswa di perguruan tinggi dan hanya bisa digunakan untuk biaya pendidikan. Praktik ini dilakukan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Singapura.

Bahkan, beberapa korporasi di Indonesia juga sudah menjalankan program beasiswa ini sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Solusi ini akan membantu sebagian permasalahan keterjangkauan tanpa intervensi terhadap otonomi perguruan tinggi dalam pencapaian keunggulan akademik. Selain itu, solusi ini juga akan menerobos dikotomi PTN-PTS dan menempatkan tanggung jawab pendidikan tinggi secara bersama-sama oleh negeri dan swasta secara adil dan kompetitif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar