Parpol
dan Dusta Politik
W Riawan Tjandra ; Direktur
Program Pascasarjana,
Dosen FH
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KOMPAS,
18 Juli 2012
Publik dibuat bingung
melihat aksi saling melempar kesalahan antara Anas Urbaningrum sang Ketua Umum
Partai Demokrat dan Ignatius Mulyono, salah seorang politisi senior anggota DPR
dari unsur Partai Demokrat.
Mana benar dan mana salah
sampai saat ini belum bisa ditentukan. Anggota Komisi II DPR, Ignatius Mulyono,
mengakui tak pernah dapat perintah dari Anas Urbaningrum untuk mengurus
sertifikat tanah Hambalang. Padahal, sebelumnya, dia pernah mengatakan dapat
perintah dari Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum untuk mengurus sertifikat
tanah di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Saat diperiksa KPK, Anas
membantah berperan mengurus sertifikat proyek senilai Rp 1,2 triliun. Anas
membantah pernah menyuruh Ignatius mengurus sertifikat tanah Hambalang yang
kini bermasalah. Bahkan, Anas mengaku tidak tahu apa dan bagaimana proyek
Hambalang. Hal itu berbeda dengan keterangan Ignatius yang menyatakan, dirinya
memang mengurus tanah untuk proyek Hambalang. Namun, dia menyatakan, yang
diurusnya bukanlah sertifikat tanah, melainkan surat keputusan (SK) hak pakai
tanah Hambalang dari Badan Pertanahan Nasional. SK tersebut, menurut Ignatius,
diterima oleh Anas untuk proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Berbagai peristiwa hukum
yang menjerat sederetan tokoh papan atas partai politik selama ini seakan
menguji premis bahwa politik itu dusta. Tanpa dusta tak ada politik. ”Jika syarat
masuk surga itu harus masuk parpol, saya lebih memilih tak mau menjadi anggota
parpol.” Pernyataan Thomas Jefferson itu mendekati sinisme yang berkembang di
Indonesia saat ini, yang memandang parpol dalam konotasi peyoratif. Jose Maria Maraval (2008) menyatakan bahwa bagaimanapun
parpol tetap punya kedudukan sangat penting dalam sistem demokrasi suatu
negara, karena mampu menghubungkan rakyat dengan birokrasi.
Wajah parpol di negeri ini
kini seakan menampakkan ”kebebalan keburukan” (banality of evil). Politik yang seharusnya menjadi arena pertukaran
gagasan bijak, perjuangan aspirasi rakyat, akuntabilitas, dan
pertanggungjawaban publik secara kasatmata seakan-akan terlihat telah
diselewengkan oleh parpol yang menjadikannya sebagai arena penampakan kedangkalan
berpikir, transaksi kepentingan pragmatis, korupsi, pengingkaran, dan
pembohongan publik. Padahal, konstitusi republik ini telah menisbatkan parpol
sebagai pintu utama bagi masuknya politisi ke gedung wakil rakyat atau duduknya
seseorang menjadi kepala eksekutif di pemerintahan pusat dan daerah. Tampilnya
calon-calon independen untuk bisa duduk sebagai kepala eksekutif pada masa lalu
harus melalui perjuangan panjang melalui proses uji materi di Mahkamah
Konstitusi terhadap berbagai produk undang-undang pemilu/pilkada.
Etika Politik Mandul
Etika politik tak lagi sahih
untuk mengatur permainan dan pertukaran arus kekuasaan politik. Hukum kian
menjadi ajang komoditas persaingan politik. Permainan politik di aras kekuasaan
telah menginstrumentasikan hukum sebagai sarana kekuasaan/kepentingan. Daya
ikat salah satu pasal di awal konstitusi yang menegaskan bahwa negara ini
berdasarkan hukum tak lagi punya makna, ketika hukum kehilangan daya kuasanya
di arena transaksi politik.
Aristoteles membedakan
manusia dengan binatang melalui kemampuan masing-masing dalam membedakan yang
baik dan buruk, yang adil dan yang zalim. Hal itu memperoleh puncak ekspresinya
pada negara yang menjadi institusi tertinggi yang dapat membedakan kebaikan
dengan keburukan. Pada titik itulah seharusnya elite partai mestinya mampu
tampil sebagai garda res publica
(urusan publik), bukannya justru menjadi simpul terlemah dari kehidupan negeri
ini.
Kehidupan perpolitikan
seharusnya tak dibangun di atas dusta karena parpol seharusnya menjadi saluran
untuk mengonstruksi akuntabilitas, responsibilitas, dan kejujuran. Perbaikan
tambal sulam terhadap berbagai UU yang mengatur sistem penyelenggaraan pemilu
dan parpol tidak akan membawa pengaruh berarti manakala masih terjadi
mediokritas dan dekadensi kehidupan politik. Kehidupan negara yang miskin etika
politik dan absennya kejujuran dalam kehidupan politik akan membawa pada jurang
kematian demokrasi, karena realitas tersebut dapat membawa apatisme politik
bagi rakyat.
Pemilu tak mampu jadi sarana
untuk memberikan apresiasi kepada kader partai yang jujur, bersih, dan
sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat, dan sebaliknya menghukum kader
partai yang ketika duduk di kursi representasi politik di parlemen ataupun
mengepalai eksekutif ternyata bertindak khianat terhadap kepercayaan konstituen
atau pemilih. Pada saat itulah, pemilu tak lebih sebagai legalisasi sebuah
dusta dari permainan para broker politik dan elite politik yang hanya sibuk
membayar utang-utang politik di kala kampanye dan abai terhadap aspirasi
pemilih yang seharusnya diperjuangkannya.
Politik yang dibangun di
atas dusta telah mengabaikan keselamatan republik dan mempertaruhkan nasib
negeri ini dalam transaksi kekuasaan. Kekuasaan politik yang ditopang oleh
dusta mengingatkan pada filsafat politik Machiavelli dalam bukunya The
Prince yang menyatakan, untuk menjadi penguasa yang cerdik harus tahu
menggunakan cara-cara binatang dan cara-cara manusia untuk bisa berkuasa.
Penguasa bagi Machiavelli tak boleh takut sedikit pun menghadapi tuduhan
melakukan kejahatan, kalau kejahatan itu perlu dilakukan demi keselamatan
negara. Namun, serapih apa pun dusta menopang kekuasaan politik, pepatah klasik
telah mengingatkan: you can fool some of the people all the
time, you can fool all the people some of the time. But you cannot fool all the
people all the time! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar