Rabu, 18 Juli 2012

Merasakan Krisis Ekonomi di Spanyol (1)


Merasakan Krisis Ekonomi di Spanyol (1)
Abdul Rokhim ; Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 18 Juli 2012


PANAS terik langsung menyambut di Plaza de Sol, jantung Kota Madrid, akhir pekan lalu. Dengan sistem transportasi Spanyol yang ditata luar biasa, perjalanan dariairport di pinggir Kota Madrid ke pusat kota yang berjarak 32 km sepenuhnya dilakukan di bawah tanah melalui kereta api cepat Metro. 

Jadi, begitu keluar dari stasiun di tengah plaza (semacam alun-alun), ada sensasi luar biasa. Selain panas dan keramaian orang yang berlalu-lalang, pandangan langsung tertambat ke berbagai aktivitas atraksi akrobat, sulap, musik, dan akhir-akhir ini marak juga demonstrasi. Plaza de Sol betul-betul seperti panggung besar tempat semua orang berekspresi.

Seperti yang dilakukan di Athena dan Roma, kamar berbujet rendah menjadi target pertama untuk didapat di Madrid. Jika ''pos komando (posko)'' itu sudah didapat, aktivitas lain seperti interview dan observasi kota bisa dilakukan dengan tenang. Berbeda dari dua negara sebelumnya, Yunani dan Italia, mengontak kantor perwakilan Indonesia di Spanyol sangat sulit. Seluruh kontak nama yang diberi kolega diplomat di Yunani dan Italia gagal dihubungi. Jadi, kedatangan di Spanyol ini tanpa referensi terbaru. 

Untunglah, kesulitan pada awal itu membawa hikmah. Dengan mencari informasi sendiri terkait dengan kota dan masyarakatnya, potret tentang dampak krisis ekonomi di Spanyol bisa lebih banyak didapat.

Seperti Italia, Spanyol sebelumnya termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Eropa. Setelah masa pemerintahan diktator pada 1980-an, Spanyol berkembang pesat dan mencapai puncaknya pada 1990-an seiring dengan boom binis kontruksi saat itu. Karena itu, saat awal tahun lalu diumumkan bahwa pemerintah sulit membayar utang hingga 65 miliar euro, banyak rakyat Spanyol yang tak percaya. Namun, setelah dua kali kuartal pertumbuhan ekonomi negatif, hari demi hari, rakyat akhirnya bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Jika satu kuartal ini pertumbuhan ekonomi kembali negatif, secara teknis Spanyol telah dilanda resesi dan siap menerima dana talangan seperti Irlandia, Portugal, serta Yunani.

Golongan masyarakat kelas menengah menjadi korban paling telak kinerja ekonomi yang menukik tajam ini. Salah satu di antara mereka adalah Leona Gonzales. Ditemui di tourist information di Plaza de Mayora, Leona yang sedang membagikan brosur informasi tentang tujuan wisata di Spanyol tersebut mengaku hidupnya mulai berubah. ''Misalnya, musim liburan ini kami memutuskan tidak ada liburan dan ini sudah tahun kedua keluarga kami tidak berlibur,'' ungkap Leona yang mengaku umurnya belum lebih dari 40 tahun.

Sebelum 2010, Leona yang tinggal di Fluenlabrada, sebelah selatan Madrid, tersebut mengungkapkan bahwa hidupnya cukup nyaman. Dia mengelola sebuah toko sepatu di kawasan belanja turis di Lacantara, sedangkan suami dan anak laki-lakinya bekerja di bidang konstruksi. Namun, dalam tempo hanya dua tahun, satu per satu sumber pemasukan keluarga itu hilang.

Yang pertama lepas adalah toko sepatu yang dikelola Leona sendiri. Melayani segmen pasar menengah ke atas, penjualan sepatu di toko Leona terus menurun. ''Saya semula tidak khawatir karena suami dan anak-anak masih bekerja. Saya pikir, perlu break sebentar untuk persiapan membidik segmen baru,'' ujarnya. 

Ternyata, Leona salah perhitungan. Upayanya untuk mencari tambahan modal ke berbagai bank ditolak. Tampaknya, pemerintah mulai menerapkan program pengetatan, sehingga bank memilih mengerem kredit daripada membiayai usaha yang berisiko.

Di tengah upaya untuk merombak tokonya itu, datanglah kabar bahwa suami dan anaknya di-PHK. Krisis, rupanya, juga mulai menerpa sektor properti. ''Saat suami saya menyampaikan dua tahun lalu, saya seperti terbangun. Ternyata, kondisi sudah demikian buruk,'' ungkapnya. 

Kondisi itulah yang memaksa dirinya menerima pekerjaan part time sebagai staf tourist information untuk mendapat tambahan penghasilan. ''Setiap bulan saya harus menyediakan minimal dana 500 euro untuk membayar listrik dan tagihan gas. Makan sehari-hari menjadi tanggung jawab suami saya,'' terangnya. 

Leona menyatakan, dirinya juga mendapat sedikit bantuan dari orang tua. ''Keluarga saya selalu siap jika saya mengalami kesulitan. Tapi, adanya skema pensiun baru membuat saya tidak tega untuk meminta kepada mereka lagi,'' katanya.

Keputusan pemerintah Spanyol di bawah pimpinan Mariano Rajoy untuk menghemat hingga 65 miliar euro membuat alokasi dana pensiun harus dipangkas. ''Ibu saya baru telepon kemarin bahwa dana pensiun yang mereka terima dipotong dari semula 2.500 euro, mulai bulan ini tinggal 850 euro,'' cerita Leona.

Mau tidak mau, agar bisa tetap survive hidup di Madrid, keluarga Leona harus mencari tambahan nafkah sebisa-bisanya. Dari menjadi staf badan pariwisata Madrid, dia mendapat 200 euro per bulan. Ditambah pendapatan suaminya yang kini menjadi tenaga kebersihan di taman kota, ada pemasukan 400 euro. ''Jadi, uang kami tersisa hanya 100 euro untuk makan. Jauh dari cukup,'' tegasnya.

Beruntung, anak tertua mereka bersedia menyisihkan sebagian gajinya sebagai teknisi komputer. ''Jadi, kami bertahan dengan kekompakan keluarga serta berhemat seketat mungkin,'' ujarnya.

Leona mengungkapkan, berhitung soal uang setiap hari adalah kebiasaan baru warga Madrid. Sebelumnya, membicarakan uang merupakan hal tabu. ''Sekarang saya dan suami selalu saling memberi tahu berapa sisa simpanan yang kami miliki,'' ungkapnya. 

Leona melihat hal itu juga dilakukan teman-temannya. ''Kami harus belajar ekonomi setiap hari sekarang. Pelajaran sangat sulit namun harus dipahami,'' tegasnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar