Minggu, 01 Juli 2012

Hubungan Ikhwan-Militer


Hubungan Ikhwan-Militer
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim Society Jakarta
KOMPAS, 30 Juni 2012


Akhirnya Komisi Pemilihan Umum Mesir resmi mengumumkan hasil pemilihan presiden putaran kedua yang dimenangi oleh Muhammad Mursi, Minggu (24/6).
Walaupun tidak secara otomatis menyelesaikan pelbagai masalah yang melanda Mesir pascarevolusi, pengumuman tersebut setidaknya mendinginkan suhu politik Mesir yang memanas beberapa hari terakhir.

Mesir belakangan memang menjadi ajang adu kuat antara Ikhwan Muslimin (IM) dan kekuatan militer yang mengambil alih kekuasaan negara pasca-lengsernya Hosni Mubarak. Hal ini terlihat jelas dari beberapa peristiwa politik mutakhir yang terjadi di negeri itu, seperti pembubaran parlemen oleh Mahkamah Konstitusi setempat, deklarasi konstitusi penyempurna oleh pihak militer hingga penundaan pengumuman resmi, dan pemilihan presiden putaran final.

Dua Kekuatan

Ikhwan dan militer merupakan dua kekuatan politik raksasa di Mesir. Semenjak didirikan pada 1928 oleh Hasan al-Banna, Ikhwan menjelma sebagai ormas keislaman yang sangat kuat di Mesir. Bahkan, kebesaran IM mampu menyeruak ke negara-negara Arab ataupun negara-negara Islam, termasuk Indonesia.

Kebesaran Ikhwan tidak terlepas dari pelbagai peran yang dijalankan selama ini, mulai dari pemberdayaan sosial, pendidikan keislaman, hingga pengalaman dalam perpolitikan. Bahkan, IM pernah diajak bekerja sama oleh militer untuk menaklukkan kekuasaan Raja Faruk (1952).

Peran dan pengalaman yang tak kalah hebat juga dimiliki oleh pihak militer. Sebagai negeri yang rawan peperangan (khususnya dengan Israel), Mesir sangat mengandalkan kekuatan militer yang akan berada di garis terdepan dalam menghadapi lawan-lawan negara.

Peran vital di atas lebih dari cukup bagi militer untuk menancapkan pengaruh dalam kehidupan masyarakat Mesir. Apalagi, pihak militer berhasil mencitrakan diri sebagai kekuatan yang mampu menjaga kehormatan Mesir dengan memukul mundur musuh, seperti pembebasan Semenanjung Sinai yang sempat dicaplok oleh Israel (1973).

Bahkan, tidak jarang militer Mesir meneguhkan diri sebagai pemilik sesungguhnya dari negara itu. Apa yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir menjadi salah satu bukti, seperti pembubaran parlemen pertama Mesir yang dihasilkan dari proses demokrasi dan deklarasi konstitusi penyempurna.

Saling Mendekati

Beberapa waktu setelah revolusi 25 Januari 2011 berhasil melengserkan Mubarak, Ikhwan-militer sesungguhnya pernah saling melakukan pendekatan. Salah satu peristiwa politik yang bisa menjadi bukti pendekatan tersebut adalah ketika Ikhwan ”pasang badan” membela kebijakan militer sekaligus menentang desakan kelompok revolusi agar pihak militer segera melakukan transisi kekuasaan, lebih cepat daripada jadwal yang ditetapkan pihak militer.

Ikhwan berpandangan bahwa peralihan kekuasaan di luar jadwal yang telah ditetapkan akan membuat Mesir semakin kacau. Bahkan, Ikhwan sempat mengerahkan massa secara besar-besaran untuk menolak gerakan yang mereka sebut sebagai upaya menjebak Mesir ke dalam jurang krisis yang lebih dalam.

Ada banyak hal yang membuat kedua belah pihak melakukan pendekatan. Selain karena masing-masing mengetahui kekuatan sekaligus kekurangannya, juga karena keduanya menghadapi musuh yang sama: kekuatan revolusi yang terdiri atas anak muda kalangan menengah ke atas.

Bagi kelompok Ikhwan, kekuatan revolusi cukup menjadi ancaman dan perlu diwaspadai. Di satu sisi, kelompok ini berhasil menggulingkan Hosni Mubarak yang tak mampu ditaklukkan oleh IM sepanjang sejarahnya di Mesir. Di sisi lain, ideologi dan gaya hidup mereka berseberangan dengan apa yang menjadi keyakinan dan diperjuangkan oleh Ikhwan Muslimin.

Kekhawatiran yang lebih kurang sama juga dirasakan oleh kelompok militer. Selain alasan-alasan di atas, juga karena kekuatan revolusi sangat mungkin mengakhiri rezim militer di Mesir. Apalagi, kelompok revolusi memainkan isu korupsi seperti terhadap Mubarak, sementara di sisi lain kelompok militer dikenal memainkan peranan penting dalam perekonomian Mesir.

Musuh dan kepentingan yang lebih kurang sama sebagaimana di atas membuat hubungan Ikhwan-militer semakin intim. Hal ini terlihat jelas dari pelaksanaan pemilihan legislatif yang berjalan mulus dan dimenangi oleh Ikhwan Muslimin. Bahkan, Ikhwan terus mendekatkan diri ke pihak militer dengan turut serta menjaga keamanan perayaan Natal bagi umat Kristen Koptik di Mesir. Hal ini perlu mengingat konflik sektarian kerap melanda Mesir pascarevolusi.

Komitmen dan janji saling menjaga kepentingan pun terjalin antara Ikhwan Muslimin dan pihak militer. Sebagai contoh, militer berkomitmen untuk menyerahkan kekuasaan kepada kekuatan politik terpilih (baik melalui pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden) yang sejak jauh hari sudah bisa dipastikan akan menjadi milik Ikhwan Muslimin.

Sementara Ikhwan Muslimin berkomitmen tidak akan menggurita kekuasaan Mesir ke depan. Bahkan, setelah menjadi partai pemenang pemilihan legislatif, Ikhwan sempat berjanji tidak akan mendukung siapa pun dalam pemilihan presiden.

Retak

Namun, hubungan Ikhwan-militer dalam beberapa waktu terakhir ternyata layu sebelum berkembang. Kedua belah pihak telah saling mengkhianati satu sama lain. Ikhwan yang berhasil menguasai lembaga legislatif dan sempat menyatakan tidak akan memonopoli kekuasaan justru berambisi menguasai juga lembaga eksekutif. Hal ini terlihat jelas dari beberapa calon presiden (salah satunya Muhammad Mursi) yang didukung Ikhwan Muslimin dalam pemilu putaran pertama pada 23 dan 24 bulan lalu.

Pengkhianatan yang dilakukan oleh kalangan militer tidak kalah besar dibandingkan dengan yang dilakukan Ikhwan Muslimin. Bahkan, militer justru membubarkan parlemen hasil pemilu dengan mengeluarkan konstitusi penyempurna yang dianggap oleh banyak pihak di Timur Tengah sebagai kudeta, termasuk oleh Ikhwan Muslimin.

Di sini dapat dipastikan, masa depan Mesir akan sangat ditentukan oleh dua kekuatan di atas. Jika Ikhwan-militer terus bersitegang dan adu kekuatan seperti sekarang, hampir dipastikan Mesir akan terus mengalami pelbagai macam instabilitas ke depan. Bukan tidak mungkin pelbagai macam proses politik dan demokrasi yang sudah berlangsung dibuang sia-sia (seperti pembubaran parlemen).

Sebaliknya, jika keduanya mencapai kompromi, hal ini akan menjadi pertanda baik bagi penyelesaian pelbagai macam krisis yang melanda Mesir saat ini. Aspirasi masyarakat Mesir dan kepentingan negara yang lebih umum sejatinya harus menjadi ”maskawin” untuk menyatukan semua kekuatan politik di negara itu, khususnya tentu saja Ikhwan dan militer. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar