Minggu, 01 Juli 2012

Kiblat Elite Daerah, Ya, Perilaku Elte Pusat!


OTONOMI DAERAH
Kiblat Elite Daerah, Ya, Perilaku Elte Pusat!
( Wawancara )
Tri Ratnawati ; Profesor Riset LIPI, Alumnus Flinders University of South Australia
KOMPAS, 30 Juni 2012


Otonomi daerah membawa dua sisi mata pisau. Primordialisme menguat dan elite-elite lokal bermunculan. Di sisi lain, korupsi menggerogoti daerah sehingga tujuan ideal otonomi daerah seperti perbaikan kesejahteraan rakyat, tata kelola pemerintahan yang baik, dan pengembangan demokrasi lokal tidak mewujud.
Namun, semua bukan semata tanggung jawab para elite daerah. Justru sebagian besar tanggung jawab dan faktor utama kebobrokan terus berlangsung terdapat pada pemerintah pusat. Demikian hasil riset Tri Ratnawati, profesor riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Kompas pekan lalu mewawancarai alumnus Universitas Gadjah Mada dan Flinders University of South Australia itu.

Bagaimana awalnya otonomi daerah bergulir di Indonesia?

Otonomi daerah lahir karena reformasi, dalam kondisi darurat. Ketika reformasi, Pak Ryaas (Ryaas Rasyid, Menteri Negara Otonomi Daerah 1999-2000) menyusun otonomi untuk menyelamatkan Indonesia dari disintegrasi. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diakui beraroma federalisme.
Akan tetapi, itu 13 tahun lalu. Secara umum, substansi UU No 32/2004 yang berlaku saat ini cukup bagus, tetapi implementasinya harus diperbaiki. Ketika UU No 22/1999 disahkan, saya memprediksi primordialisme akan menguat. Itu memang terjadi. Akan tetapi, saya dulu belum memperkirakan masalah desentralisasi korupsi. Kini yang terjadi, desentralisasi wewenang dan desentralisasi korupsi.

Soal desentralisasi korupsi, apa penyebabnya?

Kita tidak bisa menyalahkan orang daerah begitu saja. Riset saya jelas menunjukkan orang daerah berkiblat ke pusat. Jangan mengharapkan daerah bagus kalau pusat ribut terus. Artinya, pusat mulai turun kewibawaannya di daerah sebab semua tahu bahwa elite pusat juga tidak beres. Saya tidak bilang bobrok. Tetapi, yang paling jelas, korupsi politik dan korupsi korporasi dibiarkan.

Ada yang menyebut segalanya dipolitisasi. Tapi, saya bilang ini ekonomisasi politik. Politik mengalami degradasi karena faktor-faktor ekonomi. Ini sudah menjadi kritik berpuluh tahun, tetapi tidak ada perbaikan.

Bagaimana penilaian Anda pada revisi UU Pemerintahan Daerah yang dipecah menjadi tiga—Rancangan UU Pemda, RUU Pilkada, dan RUU tentang Desa?

Saya tidak tahu apa alasan mendasar pemisahan aturan itu. Apakah akan lebih baik ketika substansi dan implementasi tidak dibenahi. Yang jelas, pemisahan aturan ini akan mengakibatkan pemborosan anggaran.

Untuk tenaga ahlinya, pembahasan di DPR, apalagi saya tidak melihat revisi ini dilakukan dengan cara akademik dan didahului kajian yang benar-benar dari lapangan. Jadi, saya mempertanyakan kualitas akademik revisi ini.

Menurut saya, DPR dan Kementerian Dalam Negeri terlalu reaktif melihat praktik-praktik di lapangan yang menyimpang. Tapi, tidak langsung ke daerah dan bertanya. Dalam membuat aturan untuk daerah, pemerintah pusat seharusnya tidak menjadi penguasa yang sewenang-wenang membuat aturan.

Pemerintah berdalih UU No 32/2004 tidak ada instrumen sanksi sehingga tidak bisa mengendalikan daerah. Apakah karena itu hubungan pusat-daerah tidak jelas, atau otonomi setengah-setengah?

UU No 22/1999 dan UU No 32/2004 mengatur banyak hal yang sifatnya normatif dan tanpa sanksi. Ini dimanfaatkan. Orang daerah sangat kreatif memanfaatkan celah untuk kepentingan mereka sendiri. Ketegasan membuat sanksi sebenarnya baik. Perlu ada reward dan punishment. Namun, jangan sampai sanksi membuat orang daerah malah tidak bisa bergerak. Dan yang lebih penting, reformasi dulu birokrasi pusat dan perilaku elitenya.

Terkait RUU Desa, semestinya seperti apa pengaturan desa?

Hasil otonomi daerah yang saya lihat masih berhenti di ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan. Desa belum disentuh. Kalau nanti UU Desa disahkan dan kewenangan kepala desa ditambah, justru akan timbul konflik baru antara kepala desa dan bupati. Otonomi daerah itu sendiri yang akan rusak.

Jadi, seharusnya revisi UU Pemda mengatur penambahan kewajiban bupati untuk lebih banyak membangun sampai ke desa-desa. Revisi UU Pemda seharusnya memberikan dukungan otonomi di tingkat kabupaten. Namun, akuntabilitas bupati untuk membangun sampai ke level desa tetap harus dijaga.

Daerah pemekaran baru juga tidak menyejahterakan rakyat dan tidak menyentuh desa. Bupati biasanya sibuk mempercantik ibu kota dan beberapa ibu kota kecamatan saja.

Apa ini tidak langgar otonomi desa? Menurut saya, otonomi desa itu otonomi mengenai budaya dan hak ulayat. Tanah ulayat seharusnya menjadi wewenang desa, kalau tidak malah dikuasai investor.

Pemekaran sekarang ini seakan hanya keinginan elite. Apakah kita masih perlu pemekaran?

Pemekaran penting untuk daerah perbatasan karena wilayah ini sangat penting untuk mendapat perhatian. Tetapi, jangan karena penting, prosesnya hanya membuang uang. Prioritas tetap harus pada masyarakat.

Pemekaran akan menimbulkan batas-batas baru. Ini jangan dianggap remeh sebab tidak hanya terkait sumber daya alam tetapi juga soal SARA. Pemekaran juga seharusnya tidak membatasi agama atau kesukuan tertentu. Ini hanya akan menimbulkan konflik dan guncangan-guncangan. Bhinneka Tunggal Ika nanti hanya jadi jargon.

Ke depan, ke mana seharusnya arah otonomi daerah kita?

Otonomi daerah dan demokrasi sudah menggelinding, jangan ditarik lagi. Tetapi, para pemimpin jangan munafik dan seolah-olah mendukung demokrasi. Mereka yang membuat Indonesia tidak maju-maju.(nina susilo). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar